Tes kerja yang harus Omar jalani pagi ini berjalan lancar. Berhubung tadi pagi dia meminjam sepeda motor kakak ipar, ia sempatkan diri mampir ke tempat Galih biasa mengajak ketemuan. Rumah asri di pinggiran Jakarta Selatan itu hanya dihuni empat orang saja, termasuk Galih yang numpang hidup. Maklum pemuda itu perantauan dari Banyuwangi, jadi ya begitulah.
Waktu Omar hanya satu minggu. Setelah enam tahun bekerja tanpa mengambil cuti di pabrik pupuk ternak di wilayah Jawa Timur, dia ingin mengambil kesempatan bekerja di perusahaan yang lebih besar lagi yang terletak di Kalimantan Timur dengan mengikuti tes rekruitmen terbuka. Latar belakang pendidikan Sarjana Peternakan memang benar-benar dimanfaatkan. Tidak rugi ia sekolah sampai jenjang pasca sarjana, ilmunya terpakai.
"Umurmu udah mau kepala tiga, Mar. Mau nunggu apalagi sih?"
Ibu Umairoh menaruh pohong rebus di atas meja. Melihat hidangan favoritnya, Omar segera menyambar tanpa menunggu untuk ditawari. "Tehnya mantap, Bu." Pujinya pada wanita tua itu.
"Halah ngeles."
Omar cuek, dia paling menghindar kalau ditanya soal kapan nikah. Sebenarnya dia sudah ada incaran sih, tapi jauh. Dan lagi, media yang menghubungkan dirinya dengan si gadis terhambat. Ponselnya hilang dicuri orang saat jumatan di Masjid Raya Kota Batu, padahal semua nomer ada di sana. Omar tidak terlalu gaptek sih, dia bisa saja mengaktifkan nomernya lewat lapor ke provider, tapi sayangnya kontak di dalam ponsel tidak akan kembali.
"Omar udah punya incaran, Budhe." Galih mencomot pohong rebus, mulutnya langsung terbuka megap-megap bersamaan dengan asap yang mengepul keluar dari mulutnya.
"Udah tau panas langsung dimakan." Omar masih dalam mode mendinginkan jajanan favoritnya tersebut.
Bu Umairoh tertawa kecil melihat dua pemuda yang sering bantah-bantahan tersebut. "Memang siapa yang diincer? Orang mana?"
"Ada tuh, tapi belum kenal." Galih memasang wajah mengejek.
"Loh belum kenal kok sudah ngincer?"
"Dibisa-bisain, Budhe. Namanya juga usaha." Omar berkelit.
"Usahanya sudah sampai mana?"
"Nol!" Galih tertawa geli. "Kasihan sekali karibku ini."
Omar tidak menampik, jujur akhir-akhir ini ia bersemangat untuk mengetahui lebih jauh perempuan yang ia ingin kenal. Tapi sayangnya itu tadi, medianya tidak mendukung. Nasib. Yang kini ia lakukan mungkin akan melupakan saja idenya. Awalnya semangat yang seratus persen berkurang menjadi lima puluh persen. Lama-lama pupus betulan kalau semesta tidak mendukung.
Sudah tanya Galihpun juga percuma, laki-laki itu dulu hanya mengantar rombongan turis. Parahnya lagi dia tidak menyimpan nomer Tia –orang yang menyewa. Padahal kan bisa jadi Tia tahu nomer yang menghubungkan Omar dengan pria tua tersebut yang akan menjadi kunci untuk berkenalan. Intinya bakalan panjang dan lama, kemungkinannya sangat kecil untuk bertemu.
"Yang sudah ya sudah, gak usah nyesel." Galih menepuk pundak Omar.
"Eh, Gal."
"Hem?"
"Lu tau gak kenapa nyesel datengnya belakangan?"
"Ya kalo gak dateng belakangan namanya bukan nyesel."
"Tapi?"
"Kondangan."
Omar melongo, namun tak lama ia memberengut, "sialan!"
------
Hujan lagi.
Ibu Kota sepertinya akan sering diguyur hujan akhir-akhir ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Them - A Short Stories
Fanfiction[Tamat] Ini adalah kumpulan kisah tentang mereka yang mencinta. - Them | Mereka -