15. What He Wants

6.6K 1K 111
                                    

Aku menatap kosong surat yang ada di atas meja kerjaku. Tanpa aku bukapun, aku tahu apa isinya.

Hasil tes DNA.

Aku menatap malas pada oknum yang memberikanku surat laknat itu.

"Buka suratnya" Titahnya "Aku rasa lulusan University of Waikato pasti mudah memahami isi surat itu"

Aku membaca surat itu dalam hati dengan perasaan tak tenang.

"Hasil uji laboratorium Hallym University Medical Center Hospital dengan sample darah atas nama Na Jaemin dan Na Jena menunjukan bahwa DNA dari dua anak cocok dengan DNA atas nama Jung Jaehyun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas terduga ayah sebagai ayah biologis dari anak adalah 99,99%, oleh karena itu terduga ayah tidak dapat disingkirkan dari kemungkinan sebagai ayah biologis"

Aku tercenung setelah membaca isinya. Darah? Anak-anakku? Bagaimana bisa ia mendapatkannya?

"Darimana Anda mendapatkan sample darah mereka?" Aku marah. Dia tidak meminta izin untuk melakukan tes itu. Dia tidak menghargai posisiku sebagai Ibu dari Jaemin dan Jena.

"Dua minggu yang lalu, Jena terluka karna Jaemin tidak sengaja mendorongnya terlalu keras. Aku membawa mereka ke rumah sakit dan mengobatinya. Dan aku rasa, tidak ada salahnya mencoba melakukan tes DNA"

Pantas saja saat itu tangan kanan mereka terdapat plester. Dan mereka tidak cerita apapun tentang luka itu, yang aku asumsikan sebagai luka ringan.

"Seharusnya Anda menghubungi saya dan membiarkan saya mengobati mereka"

"Dan melewatkan kesempatan emas itu? Kau sangat tahu aku cerdik melihat peluang sekecil apapun"

"Jangan lupa aku Ayah biologis mereka. Sudah kewajibanku untuk merawat dan menjaga mereka"

Aku mendecih mendengarnya. Kewajiban dia bilang? Haha. Basi.

"Anda bayar berapa?" Tanyaku dengan menyilang kedua tanganku.

"Apa?"

"Anda berani bayar berapa mereka untuk memalsukan hasil tes DNA?" Aku belum menyerah. Aku harus bisa melawan bukti itu. Walaupun, itu sia-sia.

Rahangnya mengeras dan kedua tangannya mengepal, terlihat jelas dia sedang menahan amarahnya. "Aku tidak selicik itu, Hyomin"

"Tapi Anda orangnya sekeji itu"

Ia mengusap wajahnya frustasi. "Kau tidak bisa mengelak lagi, Hyomin. Kaupun tahu, dokter disana tidak bisa disuap. Mereka profesional dan dibawah sumpah hukum"

Aku membuang napasku kasar. Kali ini, aku kalah. "Lalu? Apa mau Anda?"

"Aku menginginkan mereka"

"Pardon?"

"Aku menginginkan mereka, untuk tinggal bersamaku, dibawah asuhanku"

Aku menatapnya tajam. Keterlaluan. "Mudah sekali Anda berbicara seperti itu hanya karna Anda 'Ayah biologis' anakku" Ujarku dengan mengutip kedua tanganku.

"Anda tidak berhak membawa mereka"

"Aku berhak. Aku Papa mereka"

"Cih. Mereka tidak akan sudi punya Papa pecundang seperti Anda"

"Kau egois, Hyomin" Aku membelalak mataku. "Apa maksud Anda berbicara seperti itu?"

"Kau egois, kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Harusnya kau tahu, mereka butuh seorang Papa. Kau tak berhak memisahkanku dari mereka" Aku geram mendengarnya, dia bertingkah seolah dia korban disini.

"Aku berhak. Aku Mamanya. Aku yang melahirkan dan membesarkan mereka. Sendiri. Tanpa didampingi seseorang yang mereka sebut 'Papa'"

Masa bodoh aku dicap tidak profesional, karna mengabungkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Aku tidak peduli dicap karyawan pemberontak. Jika menyangkut buah hatiku, aku tidak segan-segan memberontak dan melawan, tidak peduli siapa dihadapanku.

"Dan satu lagi" Aku mengacungkan jariku kearahnya "Hakmu sudah lenyap ketika menolak kehadiran mereka"

"Kau sudah tidak memiliki hak sedikitpun tentang anak-anakku. Termasuk berhak untuk menemui mereka lagi, Jung"

.

.

.


"Jadi Jaemin dan Jena adalah anak biologis Jaehyun hyung?" Ingin rasanya aku memukul kepala Woojin saking gemasnya. Dia sudah bertanya sebanyak 7 kali dengan pertanyaan yang sama. Dan dia masih bertanya lagi? Maunya dia apa sih?

"Jadi noona meminta kami untuk membawa Jaemin dan Jena pergi dari apartemenmu kemanapun, sampai noona pulang?" Aku mengangguk singkat sebagai jawabannya. Setidaknya Jihoon tidak cerewet seperti Woojin. Untuk hari ini, dia kalem.

"Apa tidak apa kami membawa mereka selama itu?" Aku terdiam mendengar pertanyaan dari Woojin. Seharusnya tidak apa. Seharusnya.

"Tidak apa. Selama kalian bisa membuat mereka nyaman dan tidak membiarkan mereka memikirkan dan membicarakan orang itu, mereka akan baik-baik saja" Ucapku yakin. Aku harus yakin dengan keputusanku.

Aku sangat berterimakasih pada keluarga Park. Setidaknya, aku merasa tenang menitipkan buah hatiku pada mereka.

Dan aku sangat bersyukur mereka memahami posisiku dan mendukung keputusanku.

Dari awal, seharusnya aku tidak membiarkan orang itu datang ke apartemenku. Seharusnya aku tidak membiarkan orang itu datang kembali ke kehidupanku.

Dan seharusnya, aku tidak usah kembali.

"Noona?" Aku terkesiap ketika badanku diguncang oleh Woojin. "Jangan melamun noona" Aku mengusap wajahku perlahan. Aku banyak pikiran akhir-akhir ini, dan aku sangat cemas hari ini.

"Istirahatlah noona, noona terlihat lelah sekali. Lihat, bahkan wajah noona pucat sekali" Dengan cepat aku meraih ponselku dan menggunakan kamera depan sebagai cermin.

Jihoon tidak bohong. Aku terlihat lesu. Aku bahkan melewatkan makan siang dan makan malamku tadi saking stresnya aku. Napsu makanku menghilang.

Untung buah hatiku sudah tidur. Kalau mereka melihat kondisiku seperti ini, mereka pasti akan panik.

Aku mengangguk dan membereskan beberapa gelas dan menutup toples kukis buatanku. Aku berjalan menuju dapur dengan langkah gontai.

"Kalian akan tidur dimana?" Aku membersihkan gelas bekas minuman susu vanila kesukaan kami. Biasanya sehabis minum susu, tidurku bisa nyenyak. Kuharap masih bisa bekerja.

"Disini. Boleh ya noona?" Aktivitas mengelap tanganku terhenti mendengarnya. Kok tumben?

"Kami tidak tega melihat noona secemas ini. Setidaknya biarkan kami menjaga noona" Aku terharu mendengarnya. Biarpun mereka suka jahil, nakal, manja, rusuh, dan suka makan. Mereka selalu memperlakukanku dengan manis.

Mereka tidak bercanda ketika mereka memintaku sebagai noona kandungnya saat pertama kali kami bertemu. Makanya aku tidak kaget ketika mereka melakukan skinship, seperti selalu mengecup pipiku atau memelukku ketika hendak tidur. Salam 'selamat tidur' ala Bunssodan, kata mereka.

"Ne. Ingat bilang sama eomma, kalian tidur disini" Woojin menunjuk isi chatnya dengan eomma kepadaku.

Aku mengangguk dan membiarkan mereka mengecup pipiku dan berjalan menuju kamarku.

Apartemenku hanya memiliki dua kamar. Dan jika mereka menginap, otomatis aku akan tidur di kamar si kembar.

Aku berbaring disebelah Jena, dan memeluk buah hatiku. Berusaha mencari ketenangan dengan memeluk mereka.

Aku berharap, keputusan kali ini tidak salah.








Keputusan untuk menjauhkan buah hatiku, dari seorang Jung Jaehyun.

Preserve | Jung Jaehyun [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang