64. Proven

2.9K 563 85
                                    

Aku berani bertaruh, tidak ada satupun orang tua yang senang melihat anaknya sakit. Kutegaskan sekali lagi, tidak ada satupun.

"Mereka hanya demam tifoid. Jika mereka rutin minum obat dan makan dengan teratur, mereka pasti sembuh kok"

Kalimat dokter Vernon masih terngiang jelas di kepalaku, meski dia bilang sakit anakku masih tergolong ringan, tetap saja aku tidak bisa berhenti kepikiran. Mau deman tifoid atau tidak, intinya mereka sedang sakit.

Tanganku mengusap telapak tangan Jaemin hati-hati, rasanya sakit melihat tangan mungilnya harus tertusuk jarum infus, mereka masih muda, terlalu muda untuk merasakan sakitnya sebuah jarum. Kalau bisa, aku ingin bertukar posisi. Aku rela.

Kau Mama yang payah. Urus dua anak saja tidak becus. Bodoh sekali kau, Hyomin.

Suara pintu terbuka mengalihkan fokusku, menatap seseorang yang tengah menghampiriku dengan satu tangan menenteng kantong belanja, tanpa ada ekspresi disana.

"Aku membawakanmu makanan" Datar, datar sekali, selain raut wajahnya yang datar, suaranya pun tak kalah datar. Tapi dari matanya aku tahu, dia khawatir.

"Aku tidak lapar"

Tanpa aba-aba darinya, tanganku ditarik sedikit kencang, mendudukkanku diatas sofa seraya meletakan sekotak makanan. "Sudah cukup mereka sakit, aku tidak mau kau selanjutnya"

Pandangan kosong kulayangkan pada makanan yang masih tersegel, suhu hangatnya menandakan makanan ini baru matang.

Serius, aku tidak lapar. Nafsu makanku lenyap begitu melihat wajah pucat buah hatiku. Aku tidak bisa tenang bahkan untuk sekedar makan.

Mendengus kesal, Hendery kembali meraih kotak makan lalu membukanya, kini sebuah sendok berada tepat didepan bibirku. "Kau itu malas sekali. Punya tangan sehat tapi tidak pernah menggerakannya" Dumelnya dengan masih setia menyodorkanku sendok yang penuh dengan nasi dan lauk.

"Setidaknya hargai usahaku mencari sarapan dari jam 4 pagi untuk orang dengan hebatnya tidak mau makan sejak kemarin pagi, tidak sadar diri punya sakit lambung. Sudah tahu jam segini hanya restoran cepat saji yang buka" Ujung sendok mengenai bibirku. "Cepat buka mulutmu, nyonya Huang"

Dengan terpaksa, aku membuka mulutku sedikit, menerima suapannya dan mengunyah pelan. Setelah menelan makananku, tanganku meraih kotak makan ditangannya. "Aku masih bisa makan sendiri" Dia tidak mencegahku begitu kotak makan itu berpindah tangan.

Satu, dua, tujuh, lima belas suapan sudah masuk kedalam mulutku, masih ada setengah porsi lagi dan aku sudah kenyang. "Aku selesai"

Hendery hanya melirik sekilas isi kotak makanku dan kembali fokus dengan ponsel. "Habiskan"

"Tapi-"

"Habiskan, Hyomin" Perintahnya telaknya membuatku mau tidak mau mengikutinya. Baru tahu kalau dia bisa seseram itu kalau sedang marah.

Aku kembali melanjutkan aktivitas makan yang sempat terhenti. Menghabiskannya tanpa sisa sesuai permintaan dari lelaki disampingku.

"Aku selesai" Akhirnya aku bisa bernapas lega begitu makananku habis. Lelaki itu melirik kotak makanku dan secara perlahan kedua sudut bibirnya terangkat. Dia memberiku segelas air minum bersamaan mengambil kotak makanku, membungkusnya lagi di kantong belanjannya.

"Xièxiè"

"Hn"

Selanjutnya tidak ada satupun dari kami mengeluarkan suara. Ini bukan aku masih merasa canggung dengannya karena 'lamaran gila'nya bulan lalu, memang aku tidak tahu harus membahas topik apa. Lagipula, otakku sedang malas untuk diajak berpikir, mengingat aku belum tidur sejak tadi.

Preserve | Jung Jaehyun [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang