"Lasih, wajahmu sangat jelita, Nak. Kau mewarisi trah, atau silsilah keturunan tertentu," ujar Nyai Sirih sungguh-sungguh, lalu menyambung dengan nada mendesak, "Tapi Nenek mempunyai firasat, parasmu ini bisa menimbulkan masalah, terutama jika dilihat oleh sembarang orang."
Alis Lasih berkerut.
"Saya tidak mengerti, Nek."
"Untuk saat ini kau memang belum mengerti. Tapi Nenek minta mulai sekarang kenakanlah penutup wajah. Segenap wajahmu akan tertutup sehelai kain kecil. Yang akan terlihat darimu hanya mata, telinga, dan rambut panjangmu. Nah, kau bersedia melakukannya bukan?"
Alis Lasih berkerut semakin dalam.
Meskipun Lasih baru berusia sepuluh tahun, anak perempuan itu sudah bisa memahami bahwa permintaan neneknya kali ini harus dilaksanakan. Ia hanya heran, karena selama ini neneknya tak pernah memaksanya melakukan hal apapun.
"Tak usah terlalu kaupikirkan, Nak, karena ini hanya untuk sementara," bujuk Nyai Sirih. "Ya, hanya sementara, sampai... sampai kau tiba di tangan yang tepat."
Kalimat terakhir Nyai Sirih terdengar mengambang, melayang perlahan seperti kabut yang berarak.
Dan beberapa waktu kemudian, di suatu pagi yang dingin dan suram, kabut tipis turun menyelimuti sebuah istana bernuansa putih kelabu. Namanya Istana Hinggiloka, sebuah istana megah di puncak sebuah bukit. Jika dilihat dari angkasa, bangunan utamanya berupa tembok benteng persegi enam. Tiap-tiap sudutnya berdiri sebuah menara beratap runcing. Ukurannya besar dan tampak kokoh. Itulah enam menara utama.
Tampak sebidang taman di dalam benteng istana itu. Rumputnya hijau menghampar, dengan sebuah kolam berair bening, bangku-bangku dari batu, pepohonan, serta berbagai jenis pethetan, atau tanaman hias. Semuanya tampak terpelihara rapi dan enak dipandang. Sayangnya, pagi itu istana berselimut kabut sehingga taman itu pun nyaris kehilangan pesonanya.
Seorang anak perempuan memandangi taman itu dari sebuah jendela di salah satu bagian istana. Wajahnya sangat cantik. Matanya lebar, dengan bulu mata amat lentik, dan pipinya nduren sajuring, elok seperti sesisir durian. Umurnya sekitar sepuluh tahun. Dia Lasih.
Sorot mata anak itu menerawang seperti sedang melamun. Dan Lasih memang sedang melamun, tepatnya melamun tentang keberadaan dirinya di Istana Hinggiloka, istana Kerajaan Sanggabuana ini.
Lamunan membawanya kembali ke desa kecil bernama Larang Dubang. Sebuah desa terpencil yang lembab karena sering turun hujan. Di sana ia tinggal berdua dengan neneknya. Dan anak itu sedang teringat akan hari-hari terakhirnya bersama neneknya tersebut.
"Lasih, cucuku, dengarlah baik-baik apa kata Nenekmu ini," kata Nyai Sirih, Sang Nenek, malam itu.
Perlahan Nyai Sirih menurunkan kerudung, lalu menatap si anak perempuan lekat-lekat.
Lasih membalas tatapan itu. Ia memerhatikan wajah neneknya, sebentuk wajah yang, bagi kebanyakan orang, tidak nyaman untuk dipandang. Diterangi nyala senthir, sejenis pelita kecil, tampak alis di wajah Nyai Sirih cuma satu. Salah satu matanya berwarna putih keruh, tampaknya mata itu buta. Pipinya penuh bekas luka dan bibirnya tidak utuh lagi. Dua giginya patah meski tidak sampai ompong. Jadi barangkali, sebutan yang singkat untuk menggambarkan wajah Nyai Sirih adalah: buruk rupa!
Namun Lasih tidak terlihat keberatan akan wajah buruk tersebut. Ia bahkan menatap wajah itu dengan lembut.
"Nah, kau siap mendengarnya?" ujar Nyai Sirih lagi. Ucapannya terdengar agak cadel.
"Iya, Nenek. Katakanlah," sahut Lasih.
"Sejak kecil kau telah hidup bersama Nenek, Lasih. Kau tahu, Nenek sangat menyayangimu lebih dari apapun. Tapi...," Nyai Sirih berhenti sebentar, terlihat ragu, lalu berkata, "tapi ternyata itu tidak bisa untuk seterusnya, Nak. Karena kita... kita harus berpisah...."
Ucapan Nyai Sirih terdengar tersendat.
"Kita... harus berpisah? Apa maksud Nenek? Saya tidak paham..."
Nyai Sirih memegang kedua bahu Lasih dengan lembut.
"Ya, kita harus berpisah, Nak," kata Nyai Sirih lirih. "Tetapi, sebelum hal itu terjadi, tutupilah wajahmu seperti yang kukatakan tadi."
Nyai Sirih meraih sisir, menyisiri rambut panjang Lasih, lalu mengikatnya bentuk ekor kuda. Setelah itu ia memasang sehelai kain halus bertali menutupi wajah anak perempuan itu.
"Nah, beginilah maksudku," kata Nyai Sirih.
Lasih masih merenung sehingga ia menurut saja didandani seperti itu.
"Ingat, Nak, sejak saat ini tutupilah wajahmu seperti ini. Dan jangan dilepas sembarangan. Kau dengar?"
Lasih mengangguk samar.
Nyai Sirih kemudian mengenakan kembali kerudungnya, menaungi wajahnya yang buruk rupa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...