Season 2 30.Menyesalkah?

377 59 41
                                    

Setelah peristiwa itu, Mira dan Vidi tidak pernah saling bertemu meski mereka 1 rumah.

Mira selalu menghabiskan waktu di kantor sepanjang hari sampai malam tiba. Sebagai Dirut Twins TV dia punya banyak kuasa untuk mengatur segalanya

Intinya dia menyibukkan diri untuk tidak larut merasa hampa dan kehilangan orang yang selama ini dia sayangi.

Bukan hal mudah bagi Mira yang selalu bergantung pada Vidi, sebagai suami yang bisa diajak bercanda layaknya teman biasa tanpa canggung. Semua berakhir dengan saling melukai hati dan perasaan yang terdalam.

Beban pikiran Mira bukan hanya itu saja. Bagaimana dengan anaknya jika sudah lahir nanti.

Apakah Vidi akan membencinya dan tidak mau memberikan nama pada anaknya.

Mira bukan lagi menantu keluarga Rasyid secara agama maka anaknya pun tidak pantas menyandang nama itu, meski darah si anak masih terikat kuat turunan Rasyid.

"Mir, udah malam loh ... pulang, Pak ustadz gak marah apa?"

Sebagai Dirut dia tidak ingin dipanggil ibu atau bos dan sebagainya, Mira merasa semua karyawannya adalah teman temannya dulu maka tidak ada formalitas untuk itu.

"Tanggung mbak, gak apa kok. Aku sudah izin, " bohongnya, tidak mungkin mengatakan bahwa si ustadz itu tidak peduli dirinya pulang atau tidak.

Mira bertahan di rumah itu hanya karena putranya dan putri Vidi juga, mereka butuh sentuhan tangan seorang ibu ... seperti memilihkan pakaian dan juga masalah perempuan yang tidak pria ketahui.

Anak perempuan tidak mungkin menceritakan dan berkeluh kesah tentang masa masa pertumbuhan mereka.

Pasti malu jika memberitahukan sang papah kalau bagian dadanya sakit karena pertumbuhan payudara yang membesar sejalan pertambahan umur atau masalah tamu bulanan yang nanti akan mereka hadapi.

Mira tidak bisa membenci Vidi meskipun tingkah Vidi sekarang sangat bukan Vidi yang dia kenal. Vidi yang sekarang acuh, tatapannya tajam tanpa raut senyum sedikit pun. Vidi seperti bunglon, seakan rumah adalah neraka baginya.

Mira selalu melihat tayangan ceramah Vidi dari balik layar. Vidi tersenyum dengan semua orang, tata bahasanya baik dan ramah tapi saat melihatnya wajah itu kembali bengis seperti hewan buas yang ingin menerkam mangsanya.

Tak terasa sudah 8 bulan lamanya mereka tidak saling berinteraksi. Mira masih sabar dan menganggap itu adalah hukuman yang pantas untuknya tapi entah sampai kapan.

Tanpa Mira tahu ternyata,

"Ibu sudah makan? "

"Belum pak dari pagi sampai siang beliau rapat. "

"Antarkan nasi padang dan letakkan diatas meja beliau juga teh manisnya. "

" Baik Pak. "

Vidi selalu mengecek apa yang dilakukan Mira di kantor, lewat cctv yang telah dia pasang bertahun tahun yang lalu bahkan bukan hanya di kantor.

"Ningsih, kamu tunggu ibu pulang, bantu dia naik tangga sampai ke kamar. "

"Iya Pak. "

Vidi belum bisa tidur jika suara deru mobil Mira belum sampai ditelinganya. Vidi hanya melihat Mira lewat cctv rumah dan memastikan bahwa Mira pulang dalam keadaan yang baik.

Belum bisa bertatap muka secara personal meski ingin, ingin sekali menyapa tapi entah kenapa gestur tubuh mendadak kaku ketika saling menatap sekelebat yang terlihat.

Dalam relung hatinya yang terdalam tak bisa dia pungkiri bahwa hanya Mira yang mengisinya ... teman hidup terindah untuknya.

Menyesalkah ?

Terlambat.

Ketika bibir terucap tanpa berpikir matang. Ketika cemburu telah merajai ke dasar otak, benci dan benci terus mengaung dan menggema hingga otak merespon bibir untuk berucap kata itu.

TALAK

Sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan terjadi begitu saja. Yang ada dirinya hanya bisa meneruskan apa yang telah terjadi, berusaha menampakkan wajah untuk membenci Mira.

Tapi yang ia kesalkan, Mira selalu tersenyum jika mereka tak sengaja saling pandang. Batinnya terpukul seolah ia menjadi sosok pria yang paling jahat ... seolah dia adalah tersangka yang menyakiti.

Saat malam pun dirinya masih terjaga meski Mira sudah berada di dalam kamar. Mengingat betapa cerewetnya Hilda saat hamil dulu, sakit diperut, minta dielus, atau pun pegal dia area pinggang.

Vidi menutup paksa matanya berharap kilasan itu pudar dan dia tidak ingin memikirkan tentang apa yang Mira rasa.

Terserah, itu salahnya.

Tapi lagi ... lagi ... batinnya terketuk untuk memantau. Bangun dari pembaringannya dan berjalan naik ke arah tangga, perlahan langkah itu berhenti tepat di depan pintu yang di depannya tertulis

MOM and DAD Area

Tangannya menggenggam knop pintu namun tak mampu untuk menekannya ke bawah.

Terdiam, hanya menempelkan keningnya di daun pintu. Tidak ada nyali untuk masuk dan bertanya tentang apa yang dirasakan Mira, apa yang dibutuhkan wanita itu.

Vidi mengurungkan niatnya dan berbalik arah, masuk kembali ke dalam kamar dan tetap saja dia tidak bisa tidur.

Besok adalah weekend, waktunya untuk keluarga tetapi Mira ... demi menjauhinya tetap saja pergi kerja.

Matahari mulai terbit perlahan, Vidi menuntaskan ibadah sunahnya dan amalan amalan yang dia lakukan semalaman karena tidak bisa tidur.

Rindu dengan bentakkan Mira yang selalu saja melarangnya untuk menjaga pola makan.

Rindu akan canda tawanya jika mereka saling bergurau dan duduk di taman halaman belakang rumah mereka.

"Kita sampai tua pasti begini begini aja dan loe teman yang paling nyebelin!"

"Tapi bikin loe puas di ranjang kan sampai, aakkhhh ... Vidiiiiii."

Kaki Vidi berhenti menapaki jalan menuju kolam renang ... ketika bayangan dia dan Mira melintas di area taman yang sedang bergurau dan tertawa.

Dia berjalan kembali lalu terjun dan menenggelamkan diri untuk berapa detik di dasar kolam.

"Pah, minum jus atau teh?"

Vidi langsung menyembulkan kepala dan mengapung di atas air lalu berkata, "Teh ... teh bund."

Seketika itu raut wajah Vidi kembali murung karena semua hanya kenangan, yang mungkin tidak bisa lagi terulang.

Matanya melirik ke arah balkon kamarnya dulu, berharap gorden itu terbuka dan Mira membuka pintu itu dengan seulas senyum tulusnya yang selalu diberikan untuknya.

Melambai atau memberikan kiss bye dari jarak jauh ... seperti biasa jika dia baru bangun dan belum menemaninya berenang.

Semenit,

Hingga belasan menit Vidi masih mematung dengan posisi semula dan suara sang anak menginterupsinya.

"Pah ... pah."

"Iya, Sayang .... "

Sayang ... bukanlah ditujukan untuk sang anak tetapi untuk kesayangannya yang disana yang tidak bisa lagi ia rengkuh.

Vidi membasuh wajahnya ketika bulir air mata menetes begitu saja, tidak ingin sang anak melihat kesedihan dan keterpurukkannya, sampai kapan dia menahan rasa ini.

🌠🌟🌠
NEXT
🔜








Double V SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang