Season 2 32. Permohonan

345 60 36
                                    

DELMIRA

Aku berharap mati syahid saat melahirkan tapi ternyata lagi ... lagi ... aku diberi kesempatan untuk menjalani hidup kembali.

Bukannya tidak sayang pada anakku tetapi aku bingung ... bingung ... bagaimana aku akan memberitahu jika mereka menanyakan siapa ayahnya.

Vidi tidak mau tahu ... tidak pernah mencari tahu anak siapa yang aku kandung ini.

"Jadi anak soleh ya nak ... putra bunda ... sayangnya bunda. "

Aku gak bisa lagi menahan tetesan air mata in .i.. si kecil mungil ini tidak berdosa ... tetapi sudah dibenci oleh papahnya sendiri.

"Mir ... kamu yakin pulang ke rumah bunda? "

Aku mengangguk cepat tanpa harus berpikir lama.

"Iya bund rumah Vidi bertingkat, aku capek turun naik, ya Allah bund ... pinggang pegel banget, berbulan bulan bawa si kembar turun naik --- gak ...."

Aku langsung berhenti ngomong ... karena bunda pasti mananyakan kenapa Vidi gak pijitin.

"Emangnya Vidi gak pijitin atau dielus elus aja gitu. "

Benarkan .. wajah bunda mulai curiga dan aku harus meyakinkan, "Ya, pijit sih bund tetapi kan ...."

"Assalamualaikum."

Aku kaget saat dia masuk tanpa mengetuk pintu, wajahnya terlihat tegang dan canggung

"Waalaikumsalam, sudah sembuh Di' kata Mira tadi kamu sakit perut. "

"Iya bund, sedikit udah mendingan, alhamdulilah."

"Syukurlah alhamdulilah, ya sudah bunda tinggal dulu. Nih gendong anak kamu yang cewek, si abang lagi nyusu. "

Aku jadi gak enak karena harus menutupi bagian tubuhku di depannya, baru ini kami saling bertemu dan satu ruangan.

Rasanya udara di ruangan ini terlalu sedikit, membuatku sesak dan ingin segera keluar menghirup oksigen di alam bebas.

Aku gak mau lihat dia, aku gak mau ngomong sama dia, tetapi aku juga gak bisa benci sama dia.

"Terima kasih .. terima kasih telah melahirkan anak saya, maaf ... saya terlambat untuk mengetahuinya, maaf."

Vidi menangis sambil memeluk putri kami ... bagaimana aku bisa membencinya ... melihatnya sedih seperti ini membuatku tidak tega.

Seandainya ada 1 saja kesalahan Vidi yang membuat aku membencinya tetapi sayangnya tidak ada, malah aku yang banyak salah padanya.

"Pulang ke rumah ya ... please ... jangan kemana - mana, itu rumah anak kamu juga ... rumah mereka. "

Bibirnya bergetar, matanya memerah karena menangis, wajah itu terlihat memohon penuh dengan penyesalan.

Kenapa harus seperti ini ... aku ingin menenangkan diri ... ingin tenang tanpa harus menghadapi hal - hal canggung diantara kami.

"Kalau kamu capek turun naik, aku akan buat lift secepatnya atau kamu pegal, aku sediakan ahli pijat yang terbaik setiap hari untuk melayani kamu."

"Alvidi."

"Please ... aku melewatkan moment saat Ikhsan dan Akhsan lahir, sekarang aku melewatkan proses perkembangan mereka dalam rahim jadi ... izinkan aku untuk selalu ada disamping mereka ... izinkan aku menebus semuanya untuk mereka. "

Untuk mereka ... yah untuk mereka, anak anaknya. Haruskah aku menjatuhkan egoku kembali demi dia. Menyebalkan ... ini benar - benar menyebalkan.

***

3 tahun kemudian

ALVIDO

Semakin besar, anakku ini semakin tampan dan menyaingi diriku yang berkurang ketampanan karena semakin tua berarti keriput - keriput ini harus aku laser supaya masih segar dan dianggap abang dan adik kalau jalan dengan Afi.

Kepintaran yang dia miliki gak tanggung tanggung. Di umurnya yang ke 16 tahun dia sudah menjajal pendidikan ke universitas.

Bukan hal yang mudah untuk bisa bersaing jenjang pendidikkan di universitas dengan umur yang masih sangat muda dan ini pun harus menunda 1 tahun sebenarnya di umur Afi yang ke 15 tahun dia sudah tamat Senior High School.

"Yah, katanya Inka ada di Indonesia. "

Aku menyipitkan mata, jangan bilang anakku bucin dengan anaknya Sandra, cukup aku saja dulu.

"Hmm, terus kamu stalking dia. "

"Gak sih ... ya dikasi tau saja."

Dia duduk di depanku terus mengotak atik ponsel lalu, "What's up Bro, how are you?"

"Very well, where is bunda ... i called her but she never answer."

Aku mengerutkan dahi menanyakan siapa yang ditelponnya dan dilihatkannya layar ponsel itu tertera huruf I berarti Ikhsan.

Aku diam saja mendengar percakapan mereka, kadang pakai bahasa Indonesia, semi Inggris, suka suka mereka lah, toh bukan untuk pamer, mereka juga besar di Singapura jadi wajar kalau bahasa itu masih melekat jika untuk bahasa ibu.

Sampai pada suatu cerita membuat aku mengernyitkan dahi

"Loh, kenapa? Bukannya bunda dan papah itu mesra, kok jadi saling menjaga jarak terus gak mau jalan bareng."

"Gak tahu Bro, yang jelas kalau ada papah, bunda lari jadi gak pernah lama sama - sama ... mungkin sejak saat itu, euhmm ... pernah bunda mau bunuh diri. "

Mataku dan mata Afi saling beradu mendengar kegugupan Ikhsan memberi tahu sesuatu yang benar - benar tidak kusangka.

Apa Vidi tahu atau Mira keceplosan tentang Skandal kami.

"Stupid! Why didn't you told me!"

"Sorry Bro, it's so fast and ...."

Aku harus lurusin ini semua ... jika sampai Mira mau bunuh diri berarti rumah tangga mereka gak sehat.

Kalau Mira dalam tekanan lebih baik aku paksa Vidi ceraikan dia, aku selalu siap nampung meski Mira udah menapouse sekalipun.

Bukan sex yang aku inginkan tetapi kebersamaan hidup berdua dengannya sampai ajal menjemput seperti Romeo dan Juliet.

"Yah, kita ...."

"Kita pulang nak ... ini gak sehat, urus kepindahan kamu ke Indonesia. "

🌠🌟🌠
NEXT
SIAP..SIAP
🔜

Double V SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang