🍃JUARA 2🍃
AninditaNamaku Andini Cahya Ningrum. Aku tinggal di Bandung bersama kedua orang tuaku. Aku adalah anak tunggal. Aku sekolah di daerah Lembang, dan duduk di kelas 2 SMA. Aku akan menceritakan pengalamanku beberapa minggu yang lalu.
Pukul 12.00 bel berbunyi, menandakan istirahat kedua. "Lo mau jajan atau salat dulu, Din?" tanya Rita, sahabatku.
"Hmm ... gimana, ya? Gue ngikut lo aja, deh," kataku sambil merapikan buku di atas meja.
Rita menepuk jidatnya. "Gue belum ngasih tau lo, ya?"
Dahiku mengernyit. "Apaan?" sahutku cepat.
"Gue lagi gak salat, jadi lo sendirian deh," katanya cengegesan.
"Mana ada sendirian, banyak kali yang salat bukan cuma kita doang."
Rita terkekeh. "Awas ketemu penjaganya."
Aku dan Rita tertawa bersamaan. Memang tidak ada yang lucu, tapi yang membuat kami tertawa adalah karena kami tidak percaya dengan apa yang dibicarakan oleh murid-murid lainnya tentang penjaga musala lantai bawah. Penjaga di sini maksudnya makhluk astral atau setan yang memakai baju batik khas SMAN 2 Lembang.
Dari awal aku menjadi murid baru, cerita ini dianggap cerita lama yang tidak pernah ada kebenarannya. Tapi semenjak menduduki bangku kelas 2, cerita ini menjadi pembicaraan hangat para siswa lantaran ada beberapa orang yang melihat Cika, si penjaga musala. Entahlah, benar atau tidak. Selagi aku tidak menggangunya, dia pasti tidak akan mengganguku.
Setelah mendiskusikan antara ke kantin atau ke mushola, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kantin dulu, sebab setelah ini ada ulangan fisika. Jadi, kalaupun aku terlambat masuk kelas, aku tidak akan dimarahi. Lagipula, setiap ulangan fisika biasanya murid Ipa-3 akan betah berlama-lama di musala, bahkan sengaja telat masuk kelas.
Setelah makan dan ngobrol di kantin, kini waktunya aku pergi ke musala untuk menunaikan salat zuhur. Rita sudah pergi duluan ke kelas, kini aku berjalan sendiri menuju musala lantai bawah. Aku memilih musala lantai bawah, karena tempatnya lebih luas dari pada musala lantai atas dekat kelasku.
Aku melepas sepatu beserta kaos kaki, dan menaruhnya di rak sepatu musala. Setelah itu, aku menuju ke tepat wudhu wanita.
Tumben sepi, batinku.
Saat sedang membasuh muka, aku mendengar ada yang memutar keran. Aku bersyukur bahwa aku tidak sendirian di sini. Setelah selesai, aku memutar badan ke belakang, ingin tahu siapa yang akan salat bersamaku nanti.
Aku melongo, dan yang membuatku melongo setelah memutar badan adalah tidak ada siapa-siapa di belakangku. Padahal barusan aku masih merasakan ada orang di belakangku. Bahkan air kera nya pun menyala. Lima detik aku memandangi keran air itu, masa iya ada orang jahil yang ingin mengerjaiku?
Setelah menutup keran, aku bergegas keluar dari tempat wudhu dan tidak mendapati siapa pun di luar. Bulu kudukku berdiri, aku mengusap tengkuk dan secepat kilat menuju mushola. Saat membuka pintu musala, hawa dingin langsung menyambutku. Padahal yang kutahu, AC sedang rusak.
Kini pikiranku melayang-layang, teringat cerita yang akhir-akhir ini hangat diperbincangkan murid-murid SMAN 2. Aku menepis pikiran itu dan memilih mukena mana yang akan kupakai.
Ceklek
Suara pintu terbuka reflek membuatku langsung menengok ke belakang. "Astaga, Din, gue kira siapa ya ampun," ucap Fani teman sekelasku yang sama kagetnya denganku.
Aku mengehembuskan nafas gusar. "Aduh gue juga kaget tau." Fani berjalan ke arah kaca dan mengambil peniti yang tertinggal. Sambil memakai peniti dikerudungnya, Fani menatap ke arahku. "Lo ngapain?" tanyanya.
Pertanyaan macam apa itu. "Ya ... gue mau salatlah."
Fani menyarankan agar aku salat di musala atas saja, tapi aku menolaknya karena alasan sempit. Setelah berdebat tentang salat di atas dan di bawah, Fani membiarkan aku salat di sini, setelahnya ia bergegas pergi ke kelas dan aku mulai melaksanakan salat.
Rakaat pertama berjalan baik. Saat rakaat kedua kurasakan pundak sebelah kanan terasa berat, aku tetap melanjutkan rakaat selanjutnya dan berharap bisa fokus seperti rakaat pertama tadi. Rakaat kedua sampai keempat kulalui dengan pundak yang masih terasa berat. Hawa dingin yang menyeruak tiba-tiba, persis seperti awal aku masuk musala ini.
Setelah selesai salat, aku memegang pundak sebelah kanan yang terasa berat. Semilir bau amis melewati hidungku. Aku sangat mual dan tanpa sadar aku keluar musala masih memakai mukena. Kulihat koridor tampak sepi, mungkin karena bel sudah berbunyi. Aku melepas mukena di pintu depan musala, dan menaruhnya ke tempat semula dengan tergesa.
Ada yang tidak beres di sini, batinku.
Aku memegang pundak kembali sambil membawa sepatu di tangan kananku. Bibirku mulai merapalkan doa. Walaupun ini siang, aku ketakutan. Saat sampai depan tangga, mataku berkunang dan pundakku makin berat. Aku kehilangan keseimbangan saat melihat dari belakang ada sosok bayangan perempuan menaiki tangga tersebut secara perlahan. Napasku tercekat, aku menyaksikan itu dengan kesadaran penuh.
Hawa dingin dan bau amis menyerangku lagi. Aku tetap memperhatikan bayangan itu dan ia menerobos tembok. Nafasku terengah, mataku semakin berkunang dan perutku mual. Aku tidak tahu apa yang terjadi, karena setelah itu semuanya gelap.
Aku berada di UKS saat terbangun. Bu Indah, wali kelas ku yang pertama kali aku lihat. Bu Indah menjelaskan bahwa aku pingsan saat hendak menaiki tangga. Aku mencoba mengingat kejadian beberapa saat yang lalu dan itu membuatku merinding. "Udah gak usah dijelasin. Ibu tahu kok kamu ketemu Cika," ucap bu Indah yang membuatku terkejut.
"Lain kali minta antar saja sama temenmu. Jangan sendirian lagi ya." Aku hanya menangguk mengiyakan.
Kini aku percaya dengan penjaga musala yang diperbincangkan oleh beberapa murid.

KAMU SEDANG MEMBACA
Event; Kumcer
De TodoEvent cerpen yang telah dilakukan oleh member Feedback Squad. 𝙋𝙚𝙢𝙗𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙩𝙪𝙡𝙖𝙣. 𝙄𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙙𝙞𝙘𝙖𝙧𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙢𝙖𝙠 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙠𝙪�...