My King is My Husband

24 4 0
                                    

🌻 Karya : Dhea Amelya Saputri 🌻

"Alice," perempuan yang tengah mengelus-elus dombanya itu spontan mengalihkan pandangannya ke arah sang ibu yang sedang melambaikan tangan ke arahnya sambil membawa rantang. Alice langsung berlari ke arah ibunya dan meninggalkan domba yang sedang makan itu.
"Makan dulu sayang," Alice tersenyum senang. Ia langsung berbinar melihat masakan kesukaannya itu.
"Ibu, gak makan?"
"Udah tadi di rumah," Alice mengangguk, ia dengan lahap memakan makanannya itu.
"Jangan terlalu ngurus domba aja, masih ada ayah juga kok yang ngurusin mereka."
"Iya, Bu, Alice cuma berniat bantuin aja kok."
"Jangan lupa nanti kamu masuk siang loh, jam sepuluh sudah harus sampai rumah."
"Tenang aja, Bu."
"Besok masuk siang atau pagi?"
"Pagi, jadi besok Alice gak bisa ngasih sarapan untuk para embek," ibunya tersenyum geli, anak gadisnya ini terlalu suka untuk bermain dengan domba-domba mereka.
Alice Natasya Norin, putri sulung dari pasangan Nata Norin dan Rasya Norin. Anak dari seorang pemilik peternakan domba yang terkenal di wilayah barat kerajaan Partheylos. Gadis cantik yang masih berusia 16 tahun, memiliki wajah imut, dengan mata bulat yang memiliki iris biru, hidung kecil, pipi chubby, dan bibir tipis yang berwarna pink alami. Walaupun sering memberi makan domba tetapi tidak membuat kulitnya menghitam.
Gadis cantik yang sebentar lagi kehidupannya akan berubah berkat sebuah lukisan yang dibuatnya untuk tugas sekolahnya.
***
"Tuan," Shahzad menatap orang kepercayaannya ini. Ia mengangkat sebelah alisnya.
"Hari ini jadwal kita untuk mengecek sekolah yang ada di wilayah bagian barat," Shahzad mengangguk. Ia menutup album foto itu, album foto yang berisikan masa kecil dirinya dan tentu saja ada kedua orangtuanya. Ia rindu masa itu, masa saat masih ada kedua orangtuanya.
"Jam berapa?" suara berat itu akhirnya keluar.
"Jam 11.00 tuan, sekitar setengah jam lagi," Shahzad mengangguk lagi. Tidak berapa lama lagi ia menatap orang Renold, orang kepercayaan itu.
"Setelah itu?"
"Jadwal Tuan hari ini tidak sibuk, hanya mengecek sekolah saja.”
"Ya sudah kamu boleh keluar, saya lima belas menit lagi akan keluar."
Shahzad Adeera Royce, lelaki berumur 22 tahun. Memiliki tubuh tegap dan tinggi, mata hijaunya seakan menghipnotis orang yang melihatnya, rahang yang tegas, rambut kecoklatan, hidung mancung dan bibirnya yang tidak terlalu tebal tetapi merah itu. Semua rakyat akan tunduk kepadanya karena ia adalah seorang lelaki yang sudah menjadi raja di usia mudanya itu. Badan boleh tegap tetapi tidak dengan hatinya. Hati Shahzad terlalu rapuh sebagai seorang raja, sejak berumur 15 tahun ia sudah ditinggalkan oleh orangtuanya dan kakak perempuan satu-satunya. Peperangan itu menyebabkan keluarganya meninggal dan hanya menyisakan dirinya sendiri.
Shahzad menghembuskan nafas kasar, ia berdiri dari singgasananya dan berjalan ke arah luar istananya. Di luar kereta kuda sudah siap, sudah siap mengantarnya ke sekolah menengah atas tangan dan di bagian barat wilayahnya.
Semua orang menunduk melihat raja muda itu. Shahzad berjalan dengan wajah datarnya dan langsung dibukakan pintu kereta kuda itu. Tanpa berlama-lama lagi kereta kuda itu akhirnya meninggalkan istana megah yang sayangnya terlalu sepi.
***
"Alice, kamu tau tidak kalau hari ini raja akan datang?" Alice mengangkat bahunya tidak peduli, mau raja datang atau tidak ia akan tetap fokus kepada buku novelnya yang ia pinjam dari perpustakaan tadi.
"Gimana sih kamu ini kok cuek banget? Ini raja loh Lice, raja bukan cuma orang cuma orang kepercayaan raja," Alice menatap sebal sahabatnya ini. Ia menutup buku novelnya dengan kasar dan menatap tajam sahabatnya ini.
"Kalaupun raja yang datang akan ada perubahan apa untuk aku? Raja hanya akan melihat-lihat sekolah bukan melihat-lihat kita."
"Ya, tapikan siapa tau raja sekalian akan mencari pasangan hidup gitu," Alice memutar bola matanya malas. Apakah mungkin seorang raja akan mencari pasangannya dari orang biasa seperti mereka? Ditambah lagi mereka masih siswi murid sekolah menengah atas.
"Kalaupun ada kamu aja sana yang nyalonin diri, aku gak terlalu simpatik banget sama yang kayak gitu."
"Awas aja ya kamu nanti ikutan kalau ada yang kayak gitu," Alice mengangguk mantap. Lagipula ini ingin mencari pasangan bukan dari kalangan kerajaan, ia ingin mencari pasangan pengusaha.
"Lice tau g-"
"Raja udah datang!" teriakan itu menghentikan perkataan Ririn, teman Alice tadi. Teman-teman sekelas Alice langsung saja mengerubungi jendela kelas hanya untuk melihat seorang raja itu sedangkan Alice lebih memilih untuk melanjutkan bacaan novelnya tadi.
Bisik-bisik kekaguman mulai terdengar di telinga Alice. Apalagi diantara suara itu suara sahabatnya yang paling keras. Alice menggelengkan kepalanya, bagaimana caranya dulu aku punya sahabat kayak dia?
"Lice, gak nengok raja?" Alice tersenyum ramah ke arah Reynold. Reynold mengangguk-anggukkan kepalanya melihat itu, ia kemudian duduk di samping Alice.
"Baca novel apa sih kayaknya seru banget?" Alice menunjukkan sampul novelnya yang membuat Reynold membulatkan matanya.
"Ihhh, aku juga suka banget novel ini. Aku aja udah baca seri terbaru yang kemaren terbit," mata Alice langsung berbinar.
"Boleh aku minjem?" Reynold dengan cepat mengangguk.
"Besok aku ba-"
"Lice, raja membawa hasil lukisanmu!" teriakan itu langsung mengalihkan dunia Alice. Raja membawa lukisannya? Untuk apa?
Alice berlari dan mengintip di jendela, memang benar itu lukisannya dan dibawa oleh kepercayaan raja. Tapi yang masih jadi pertanyaan untuk apa lukisan itu?
Tidak lama pintu kelas terbuka menampilkan guru seni budaya mereka dan langsung menyebutkan nama Alice untuk ikut dengannya. Degup jantung Alice kencang, untuk apa aku dipanggil? Apakah di lukisanku itu mengandung kesalahan?
***
Alice berdiri kaku di hadapan orang-orang kerajaan ini. Semua mata seakan-akan menelanjangi dirinya. Apalagi tatapan raja Shahzad yang paling tajam menatap dirinya.
Suara berat raja Shahzad terdengar, "Kamu yang bernama Alice Natasya Norin?"
Alice dengan susah payah menelan ludahnya, saat ini ia menundukkan pandangannya dan tidak berani melihat raja Shahzad, "Iya, raja."
"Besok kamu keluar dari sekolah ini," perkataan itu membuat Alice langsung menatap raja, apakah kesalahannya begitu fatal sampai membuatnya dikeluarkan dari sekolah ini?
"Dan besok kamu mulai pindah ke kerajaan," mata Alice tambah membulat. Alice menelan ludahnya dahulu sebelum bertanya.
"Untuk apa raja?"
"Kamu pindah sekolah ke sekolah seni yang ada di kerajaan. Setelah ini kamu akan dipulangkan untuk bersiap-siap dan nanti malam kamu langsung pindah ke asrama kerajaan."
"Tapi-"
"Saya tidak punya banyak waktu! Kalau mau jawab mau kalau tidak keluargamu akan terancam!" Alice menelan ludahnya susah. Mengapa keluarganya ikut dalam permasalahan ini? Memang, kalau raja akan berlaku seenaknya.
"Iya, nanti malam saya akan pindah ke asrama," Shahzad tersenyum senang. Sedari tadi hanya ini yang ia mau.
***
"Ibu, Ayah, Alice berangkat dulu ya," kedua orangtuanya mengangguk. Mereka tidak bisa menolak permintaan raja, meskipun harus merelakan putri satu-satunya untuk tinggal di asrama kerajaan.
"Kalau ada libur pulang ya sayang," Alice mengangguk. Alice langsung memeluk kedua orangtuanya ini.
"Semoga Alice disana betah, sayang."
"Semoga saja Bu, disana gak ada embek," orangtuanya terkekeh pelan mendengar itu. Apakah pemikiran anaknya hanya ada embek?
"Bye, Bu, Yah, Alice pergi dulu."
"Hati-hati sayang."
***
"Tuan, siswi kemarin sudah sampai."
"Bawa dia kesini," Harry dengan cepat mengangguk.
"Ya sudah, saya permisi dulu, Tuan," Shahzad mengangguk. Perlahan senyum tipisnya terbentuk, ia senang sendiri memikirkan akhirnya ada yang membuatnya semangat untuk menjalani hari yang akan datang nanti.
Tidak lama pintu ruangnya terbuka dan langsung menampilkan gadis cantik dengan dress selutut berwarna maroon. Memang bukan dress mahal, tapi entah kenapa sangat cocok di pakai oleh gadis cantik itu.
Gadis itu membungkukkan sebagian badannya, "Raja, ada apa memanggil saya?"
"Berdirilah, jangan seperti itu terus," Alice mengangguk. Ia kemudian berdiri seperti posisi semula dan menatap raja itu. Dan baru kali ini Alice benar-benar dapat memperhatikan wajah yang bisa dibilang sempurna untuk seorang manusia. Tetapi, seketika Alice merasakan wajah itu tidak asing. Seperti dulu ia pernah melihat wajah itu tetapi entah dimana.
"Alice," Alice mengerjapkan matanya. Ia tersenyum kikuk.
"Maaf, raja," Shahzad mengangguk.
"Kamu besok akan masuk ke kelas A, dan sekarang asrama kamu berada di ruang Edelweis," Alice membulatkan matanya, gila! Itu ruangan dan kelas paling bagus di kerajaan ini.
"Tetapi saya kan baru masuk kenapa saya diletakkan disana?"
"Saya melihat lukisan yang kamu buat terlalu bagus."
"Teta-"
"Sudah saya tidak ingin mendengar bantahan!" Alice dengan cepat mengangguk.
"Kamu sudah boleh keluar. Besok jangan melupakan jadwal kamu yang nanti akan diberikan oleh Harry. Jangan sampai terlambat dan melakukan kesalahan karena itu bisa saja berakibat pada keluarga kamu."
"Baik, raja, terima kasih banyak. Saya permisi dulu," Shahzad mengangguk dan membiarkan gadis cantik itu keluar dari ruangannya.
"Tidak lama lagi kamu akan menjadi milikku gadis kecilku!"
***
"Harry!" Harry dengan cepat langsung membuka pintu ruangan rajanya itu. Ia langsung membungkukkan badan dan menatap bingung Shahzad.
"Carikan saya info tentang gadis tadi, terutama alamat dan keluarganya."
"Baik, tuan, satu jam lagi data itu akan siap."
"Saya tidak butuh datanya, kalau sudah ditemukan alamatnya kita langsung berangkat ke rumahnya."
"Tapi untuk apa ya, tuan?"
"Kerjakan apa yang saya suruh. Minimal lima belas menit lagi kamu harus sudah siapkan kereta dan kita langsung menuju ke rumahnya."
"Baik," Harry membungkuk sekali lagi dan langsung keluar dari ruangan itu. Sepeninggalan Harry, Shahzad membuka album masa kecilnya, masa kecilnya yang penuh dengan canda tawa karena kehadiran gadis cantik itu. Dan tiba-tiba saja gadis itu hilang seperti di telan bumi. Shahzad menangis meraung-raung melihat rumah gadisnya yang tidak ada orang lagi dan sudah meminta kedua orangtuanya untuk mencari gadisnya itu tetapi orang tuanya berkata bahwa gadis itu dan keluarganya tidak pernah ditemukan. Dengan berat hati akhirnya Shahzad melupakan gadis itu, cinta pertama. Mungkin sebagian orang menganggapnya cinta monyet, tetapi tidak dengan Shahzad. Shahzad merasa bawa gadis itulah yang akan menjadi ratunya kelak.
Sibuk dengan pemikirannya pintu ruangan Shahzad terbuka dan menampilkan Harry.
"Kita tinggal berangkat, Tuan," Shahzad mengembuskan nafas panjang dan berdiri dari kursinya.
***
Rasya dan Nata bingung melihat kereta kuda kerajaan yang ada di depan rumahnya. Mereka berdua panik, apakah anaknya melakukan kesalahan sampai sang raja sendiri yang harus turun tangan?
Mereka berdua dengan kompak membungkuk. Shahzad yang melihat itu tidak enak.
"Berdiri biasa saja, Bu, Pak. Bisa saya bicara didalam?"
"Silahkan raja, maaf rumah kamu hanya seperti ini," Shahzad tersenyum. Harry yang melihat itu tercengang, bagaimana dia bisa tersenyum semanis itu?
"Kedatangan saya kali ini mungkin tiba-tiba, ibu dan bapak tidak perlu khawatir, Alice disana baik-baik saja," mereka berdua mengangguk. Merasakan senggolan di lengannya Nata menatap suaminya, melalui gerakan bibir Nata sudah bisa menebak apa yang diucapkan suaminya. Nata menepuk keningnya.
"Raja ingin minum apa?"
"Tidak usah repot-repot, saya kesini hanya ingin menyampaikan bahwa saya akan melamar Alice Natasya Norin," kedua orang itu memasang wajah heran, kalau memang ini mimpi jadikanlah kenyataan ya Tuhan.
"Pak, kita mimpi ya ini?"
"Kayaknya iya, Bu," Shahzad terkekeh geli. Ia berdehem untuk menyadarkan kedua orang tua Alice itu.
"Pak, tapi disini ada suara raja beneran loh."
"Iya, Bu, jangan-jangan di mimpi kita juga ada raja," Shahzad semakin terkekeh mendengar itu.
"Pak, Bu, saya disini beneran. Ini bukan mimpi ini nyata," kedua orang tua Alice itu tersentak. Mereka sama-sama memasang wajah syok.
"Saya serius, saya ingin meminang Alice Natasya Norin. Saya sudah kenal Alice dari kecil, apakah ibu ingat Azad teman masa kecil Alice? Itu saya, Bu, saya Shahzad Adeera Royce," wajah mereka semakin syok. Darimana bisa seorang Azad yang dahulu teman Alice hanya anak dari peternak domba dan tiba-tiba sekarang menjadi raja di kerajaan besar seperti Partheylos. Memang dahulu mereka tinggal di Utara wilayah kerajaan ini dan setelah itu mereka pergi ke luar kerajaan selama 5 tahun karena mengurus nenek Alice, setelah itu mereka pindah rumah ke bagian barat wilayah ini.
"Bagaimana, Bu, Pak, apakah saya diizinkan untuk meminang putri kalian? Kalau tidak diterima tidak apa-apa, tidak akan terjadi apa-apa pada keluarga kalian," pertanyaan itu menyentak pikiran Rasya dan Nata. Rasya berdehem, bagaimanapun disini ia berperan sebagai kepala keluarga dan orangtua seorang gadis yang akan dipinang oleh seorang pria.
"Kalau kami terserah Alice, keputusan Alice adalah keputusan kami. Kami bisa menerima pinangan raja tetapi kalau Alice tidak mau kalah lebih memerhatikan Alice dan kami tidak mau. Raja silahkan bertanya sendiri kepada Alice, kami disini menerima apa saja keputusan Alice."
***
"Besok buatkan acara di aula dan undang seluruh rakyat. Nanti antarkan saya ke butik untuk memilih gaun dan jangan lupa berikan gaun itu nanti ke Alice," Harry hanya bisa mengangguk, pemikirannya masih bercabang. Sang raja tiba-tiba meminang gadis dan melaksanakan acara pertunangan besok bahkan belum tau apakah sang gadis menerima lamarannya atau tidak.
Setelah memilih-milih gaun di butik akhirnya sekarang tugas Harry hanyalah untuk mengantarkan gaun ini ke gadis cantik itu.
"Alice," Alice yang baru selesai mandi langsung membukakan pintu kamarnya itu.
"Pak Harry ada apa?" Harry memberikan sebuah kotak yang berisi gaun itu. Alice membukanya dan mengernyitkan dahinya.
"Gaun? Bapak gak salah ngirim? Untuk apa saya memakai gaun, Pak?"
"Besok malam akan datang perias wajah dan jangan lupa pakailah gaun itu. Nanti kamu keluar kalau sudah ada arahan saya," Alice belum bisa mencerna kata-kata Pak Harry. Pak Harry tersenyum gemas, gadis ini memang imut apalagi dilihat dari dekat seperti ini pantas saja sang raja suka.
"Jangan lupa besok malam, usahakan hari ini kamu jangan banyak pikirin dan tidurlah dengan nyenyak. Selamat malam Alice."
"Ehhh, malam, Pak."
***
Alice menatap dirinya, apakah benar yang di cermin itu dirinya? Apakah gadis cantik nan manis di cermin itu dirinya? Ia menatap pintu kamarnya sedaritadi, mengapa pak Harry belum mengetuk pintu kamarnya agar menyuruh ia keluar? Dan sebenarnya malam ini ada acara apa sampai ia diberikan sebuah gaun cantik ini, gaun putih yang lebih mirip seperti gaun orang yang bertunangan atau lebih ke menikah. Apakah ia akan dipinang? Atau ia akan dinikahkan? Pemikiran itu langsung ditepis Alice, mana mungkin ada orang yang mau meminang aku.
Suara ketukan pintu terdengar dan Alice dengan cepat membukanya, ia membulatkan matanya melihat sang ibu dan ayahnya di depan pintu.
"Ibu, Ayah, ngapain disini?" sang ibu langsung memeluknya dan mengucapkan kalimat yang membuat tubuhnya menegang.
"Kamu akan dipinang oleh raja."
"Udah gak usah lama-lama, ayah gak enak sama raja. Gak usah dipikirin, kalau kamu gak mau kamu tolak aja. Tapi sebelum itu kamu harus tau kalau raja itu adalah Azad, teman masa kecil kamu."
"Bagaimana bisa?"
"Kamu tanyakan sendiri saja nanti kepada orangnya, sekarang saatnya kita kebawah, sayang," Alice hanya bisa mengangguk. Ia mengikuti langkah kedua orangtuanya dan langsung disuguhkan ke aula kerjaan yang penuh dengan rakyat dan tentunya di tengah sana ada seorang raja yang memandang kagum ke arahnya. Alice di dorong sang ibu agar menghampiri Shahzad.
"Kamu sangat cantik malam ini," pipi Alice bersemu merah dan menundukkan pandangannya. Ia tau pandangan semua orang akan tertuju padanya.
"Tidak usah membuang waktu lama saya akan mengumumkan mengapa kalian semua dikumpulkan disini. Saat ini saya akan meminang gadis yang kelak akan menjadi ratu kalian maupun ratu hati saya. Alice Natasya Norin maukah kamu menjadi pasangan hidup, tambatan hati, dan menemaniku hari-hariku selamanya?" Alice dibuat terpaku di tempatnya, lidahnya kamu untuk menjawab pertanyaan itu. Genggaman di tangannya membuat ia tersentak, ia menatap Shahzad dan tidak ada kebohongan di matanya. Alice mengembuskan nafas panjangan kemudian ia mengangguk.
Shahzad yang melihat itu langsung memeluk Alice, "Hai Ais, akhirnya kita benar-benar dihubungkan dengan ikatan hubungan yang serius. I love you my Ais," Alice tersenyum senang. Yang memanggilnya dengan sebutan Ais hanyalah Azad, teman kecilnya dulu.
"I love you too, Azad."
***
"Alice," Alice menatap kikuk dan menatap Ririn yang menatap bingung dirinya.
"Kok kamu bisa jadi tunangan raja? Katanya kemarin tidak minat sama orang kerajaan."
"Shahzad sahabat kecil aku, Rin. Aku gak tau kok bisa gitu dia tiba-tiba ngajak aku tunangan. Maafin aku ya, Rin."
"Lah, kenapa kamu minta maaf? Kamu gak salah apa-apa, jodoh ada di tangan Tuhan jadi aku gak bisa memaksakan," Alice memeluk sahabatnya ini.
"Selamat bentar lagi kamu udah mau jadi ratu aja."
Alice melepas pelukannya dan menatap sebal sahabatnya, "Jangan ngomongin itu dulu deh, aku malu tau."
"Jadi ratu kok malu, aneh-aneh aja kamu ini."
"Lice, selamat ya," Alice tersenyum manis ke arah Reynold, ia mengangguk dan menjabat tangan Reynold.
"Aku suka sama kamu."
"Ehhh,"
"Aku beneran, tapi karena sebentar lagi kamu udah jadi ratu kerajaan aku relakan perasaan itu."
Alice tersenyum tidak enak, "Maafin aku ya Rey."
"Santai aja, Bu Ratu."
"Jangan gitu ihh, aku malu!"
***
"Kok bisa kamu ngenalin aku sedangkan aku gak ingat sama sekali sama kamu," Shahzad mengacak rambut gadisnya ini. Akhirnya janji mereka berdua saat kecil dulu terwujud untuk saat ini.
"Aku gak percaya janji abal-abal kita dulu akhirnya jadi kenyataan, 'Azad kita janji ya becok kalau kita udah besal kita bakalan belsama telus, Azad gak boleh tiba-tiba pergi ninggalin Ais. Ais sayang sama Azad.' kamu dulu ngomong gitu kan?" Alice terkekeh ia menyembunyikan kepalanya di dada bidang Shahzad. Shahzad terlihat imut saat mengucapkan kata-kata yang dulu pernah ia ucapkan.
"Kamu juga pernah bilang, 'Azad gak mungkin ninggalin Ais kok, kan Ais itu princess nya Azad dan Azad nanti akan jadi prince Ais.' iyakan?"
"Gemes deh sama kamu jadi pengen cium," Alice melotot, ia mencubit perut Shahzad.
"Cium, cium, enak aja kamu ngomong. Jadi aku masih boleh sekolah kan?"
Shahzad mencubit gemas hidung Alice, "Ya boleh dong sayang, tapi jangan pernah deket-deket sama cowok manapun."
"Lagipula nanti yang bakalan berkawan sama aku paling cuma anak bangsawan karena yang lainnya udah gak berani berteman sama tunangan raja."
"Kamu gak ada teman aku yang nemanin kamu."
Alice menggelengkan kepalanya heran, "Ada-ada aja kamu."
"Kita nikah setelah kamu lulus sekolah! Gak ada bantahan apalagi penolakan!"
"Shahzad gila!"

Event; KumcerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang