Your Lie In October

18 13 0
                                    

🍯 Karya : Asharayya 🍯

Jika tau endingnya akan seperti ini, bolehkah aku memilih tak mengenalmu sama sekali? Sekali lagi, aku akan menutup hatiku rapat-rapat. Tak akan pernah kubuka kembali, karena kuncinya telah hilang – bersamaan dengan dirimu yang tak akan pernah kembali.

Ranya Rembulan. Gadis berkulit pucat itu kini tengah duduk sendirian sembari menikmati alunan musik dari earphone yang sudah melekat di kedua telinganya. Tak ada yang menemaninya sama sekali. Tidak masalah... sendiri adalah hidupnya.
Matanya terangkat malas ketika Bu Rahma – wali kelasnya datang bersamaan dengan seorang cowok cengengesan yang ada di belakangnya. Nampak asing, namun Ranya tak peduli. Ia memejamkan matanya kembali.
Sapaan Bu Dayu membuat teman-temannya yang semula ramai, kini menjadi sepi. Perhatian mereka mulai tertuju pada dua sosok di depan kelas, terutama cowok yang sedari semenit yang lalu dibicarakan akan ketampanannya.
“Jadi hari ini membawa teman baru untuk kalian. Silahkan memperkenalkan dirimu, Nak,” perintah bu Rahma yang mendapat anggukan patuh.
“Halo Gaes!” Sapaan yang unik dari cowok itu berhasi membuat seisi kelas tertawa terbahak-bahak. Lucu saja jika melihat anak baru sudah se-percaya diri itu.
“Lah kok ketawa sih,” Cowok tadi menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali sebelum melanjutkan, “Kenalin aku namanya Arka. Panjangnya Arkaaaaaaaaa.” Untuk kedua kalinya, seisi kelas kembali terbahak. Ranya memicingkan matanya. Ia benar-benar merasa tidak nyaman. Entah mengapa ia sama sekali tak menyukai keramaian.
Bu Rahma menghela nafasnya pelan. Ia memerintah Arka untuk mencari tempat duduk.
“Arka, kamu bisa mencari bangku kosong. Em.. disa-“ Bu Rahma tak lagi melanjutkan ucapannya. Tak mungkin sekali jika ia menyuruh si murid baru duduk dengan Ranya. Hal itu pasti hanya akan membuatnya tak nyaman.
“Disana ya, Bu?” tanya Arka tanpa memedulikan tatapan teman-temannya yang aneh. Ia berjalan santai ke arah gadis yang bahkan sampai sekarang pun belum menatapnya.
“Arka, kamu yakin?” tanya Bu Rahma masih tak percaya. Kabar mengenai Ranya yang anti-sosial tak mungkin ia belum mendengarnya.
“Yakin, dong, Bu!” Arka menyeru heboh. Hal itu menyebabkan gadis di sampingnya terusik – hingga mau membuka mata.
“Ya sudah. Ibu kembali ke ruangan,” ucap wanita paruh baya itu sebelum akhirnya melenggang ke luar kelas.
“Hai kamu! Iya kamu, yang kulitnya putih sebening mutiara Korea!” sapa Arka yang mendapat dua ekspresi yang berbeda dari dua kubu yang pasti berbeda. Kubu pertama, teman-teman sekelasnya. Mereka menatap Arka tak percaya. Kubu yang kedua, yaitu orang yang bersangkutan – Ranya. Gadis itu justru membuang wajahnya malas tanpa berniat menanggapi sapaan alay dari pemuda asing di sampingnya.
“Lah, Nweng! Kok Abang dicuekin, sih?” tanya Arka bingung.
“Udahlah, Ka. Mendingan lo duduk sini aja sementara bertiga sama kita. Lo nggak akan dianggap sama manusia satu itu,” saran Fero – cowok yang duduk di pojokkan kelas. Fero pasti tak tega melihat Arka yang tak dianggap keberadaannya.
“Biarin aja,” ucap Arka sambil tersenyum simpul.
“Oh ya Nweng, nama kamu siapa?” tanya Arka kembali. Bukan namanya Arkano Geraldo jika mudah menyerah.
Hening. Tak ada jawaban. Seharusnya Arka tau bahwa usahanya mengajak bicara gadis berkulit putih itu adalah hal terbodoh dalam hidupnya. Namun entah mengapa, jiwanya merasa tertantang akan hal ini. Tak tahu dalam hal apa.
Tanpa sengaja, Arka melirk sebuah sampul buku yang berada di depan Ranya. Ia tersenyum kecil. Akhirnya membuahkan hasilnya juga.
“Oke, Ranya Rembulan. Nama yang bagus.”
Tangan Ranya terkepal kuat. Ia merasa kesal – bahkan benci dengan pemuda tengil yang tadi sempat menyebutkan namanya sekilas.
“Bisa nggak sih, lo nggak usah duduk di bangku gue. Cari bangku lain sana!” bentak Ranya yang jelas tersirat kalimat pengusiran disana.
“Nggak bisa! Pertama, di kelas XI Bahasa 4 ini cuma disini bangku yang kosong. Kedua, tadi bilang apa? Ini bangku kamu? Yakin, kamu yang beli bangku ini? Bukannya sekolah, ya?” Arka menarik ujung bibirnya ketika ia lihat jari-jari Ranya yang sudah memutih akibat kepalan tangannya yang terlampau kuat.



Arka membuka kaca helm fullface-nya ketika melihat sosok gadis yang sedari tadi mencuri perhatiannya tengah terduduk di bawah rindangnya pohon mangga. Lagi-lagi ia sendirian tanpa ada seorang pun di sekitarnya.
Tanpa basa-basi lagi, Arka mulai mulai melajukan motornya mendekati Ranya. “Nweng, butuh tumpangan?” kata Arka sebelum ia tertawa terbahak-bahak. Sedangkan yang ditanya hanya diam saja tanpa berniat memberi respon sedikit pun.
“Pulang sama siapa?”
Hening.
“Naik apa?”
Senyap.
“Bareng gue, yuk!”
“Nggak!” Kalimat penolakan itu langsung terlontar begitu saja dari mulut Ranya. Arka hanya tersenyum tipis. Ia sudah menduga penolakan ini akan terjadi.
“Bareng gue atau gue teriak di sini. Mumpung lagi rame.” Seringaian Arka langsung muncul ketika melihat urat-urat Ranya yang menonjol. Gadis itu pasti sedang menahan emosinya mati-matian.
“Oke.” Tak ada pilihan lain selain menurut. Ranya tak bisa menjadi pusat perhatian. Hal itu hanya akan memperburuk hidupnya yang sudah buruk.
Setelah Ranya menyebutkan singkat alamat rumah, akhirnya kini motor KLX hijau milik Arka sudah melaju di tengah padatnya ibu kota.
Sinar matahari yang kini masih terasa panas, walaupun sudah bersinggasana di barat seakan turut mengompori emosi Ranya yang sedari tadi ia tahan. Cukup sekali ini saja ia berurusan dengan cowok menyebalkan itu. Besok-besok jangan. Tapi mungkinkah? Mengingat mulai hari ini ia harus mau membagi tempat duduknya dengan Arka. Ahh ia benar-benar pusing.
“Rumah lo yang mana?” tanya Arka ketika motornya sudah memasuki daerah sekitar pasar burung – yang tadi Ranya katakan padanya.
“Turunin gue disini.” Ucapan Ranya barusan seperti angin lalu bagi Arka. Sama sekali tak ia anggap.
“Atau gue loncat dari motor ini.”
Citttt
Suara derit motor yang mengerem mendadak kentara terdengar. Entah mengapa Arka sedikit takut jika Ranya benar-benar akan melakukan ucapan gilanya.
Tanpa basa-basi dan ucapan terimakasih, Ranya segera turun dari motor sial itu. Langkah kakinya ia buat besar-besar. Entah apa maksudnya. Yang jelas, Ranya ingin segera sampai ke rumah.
Arka tak tau, setan gila apa yang membisiki pikirannya. Tiba-tiba saja, ia menjadi penasaran dimana letak rumah gadis judes itu. Motornya perlahan ia dorong menuju ke arah kemana Ranya berjalan tadi.
Dari kejauhan, ia masih bisa melihat punggung Ranya yang berjalan ke arah berlawanan dengannya. Hingga akhirnya punggung itu tak lagi nampak karena Ranya yang sudah membelokkan diri.
Semakin kuat ia mendorong motornya. Dengan nafas yang terengah-engah akhirnya ia bisa melihat rumah Ranya. Dari luar, penampilan rumah Ranya nampak biasa-biasa saja. Bahkan lebih ke arah tak layak huni. Walaupun sebenarnya bersih, namun hal itu tak bisa mencegah cat-cat tembok yang sudah mengelupas – memberi kesan yang sedikit menyeramkan.
Pandangan Arka terpaku pada sosok Ranya yang kini tengah berbicara padai gadis kecil yang duduk di kursi roda. Sekali lihat, Arka langsung bisa menyimpulkan kalau gadis kecil itu adalah adik Ranya – mengingat wajah mereka yang sangat mirip.
Tanpa disuruh, tubuh Arka langsung memberikan aksinya. Ia mulai turun dari motor yang selalu dibangga-banggakan itu. Kakinya menyeret agar ia masuk ke halaman, lalu ruang tamu.
“Kak, itu siapa?” Ranya yang awalnnya tak sadar ada orang yang memasuki rumahnya, kini melotot garang.
“Ngapain lo kesini? Pergi sana!” usir Ranya terang-terangan. Semenjak bertemu dengan pemuda itu, entah mengapa Ranya merasa ada yang berbeda.
Arka menulikan pendengarannya. Ia berjalan ke arah adik Ranya, lalu berjongkok di hadapan gadis berkepala botak itu.
“Hei Manis! Nama kamu siapa?”
“Kanya, Kak,” jawabnya malu-malu sambil sedikit menutup-nutupi kepalanya.
“Kamu malu?” tanya Arka yang diangguki oleh Kanya.
Ranya yang merasa Arka akan membahas hal sensitif, kini tak segan menendang pantatnya kasar-kasar. Namun, Arka justru terkekeh.
“Lihat? Kasar sekali dia. Jangan untuk ditiru!” Kanya tak bisa lagi menahan tawa. Gadis kecil berusia kira-kira lima tahun itu menampilkan deretan gigi depannya yang rapi.
“Kan, dia cantik, ya? Tapi sayang galak.” Kanya mengangguk antusias – pertanda ia sangat setuju dengan ucapan Arka barusan. Ranya hanya mendengus sebal. Entah hal gila apalagi yang akan Arka lakukan kepada adik kesayangannya itu. Tapi awas aja kalau macam-macam! Tongkat kayu di pojok ruangan sudah menunggu!
“Satu lagi, Manis, jangan malu. Kamu akan selalu manis, bagaimanapun rupamu. Yang pasti, jangan bosen buat sembuh. Stay strong! Kakak yakin kamu kuat.”
Tanpa disadari, senyum Ranya perlahan terukir. Senyuman semanis madu yang selama ini jarang ia perlihatkan kepada dunia yang begitu pahit.



Karena kejadian hari itu, dimana secara terang-terangan Arka memberi semangatnya kepada Kanya – adiknya, entah mengapa rasanya hati Ranya sedikit tergerak membukakan pintu yang sudah lama tergembok rapat. Baru kali ini Ranya mempunyai teman bicara yang setia – setelah keberadaannya di SMA ini yang sudah hampir memasuki tahun ke dua.
Seperti saat ini, kedua orang yang memiliki sifat bertolak belakang itu tengah berjalan beriringan menuju kantin. Tentu saja, dengan berbagai ide cemerlang Arka yang terus saja melontarkan gombalan recehnya. Beberapa kali tadi, Ranya sempat memasang ekspresi ingin muntah.
“Ra.. tau tau enggak persamaan narkoba sama kamu?” tanya Arka iseng untuk yang kesekian kalinya.
“Gak! Plis, Ka, lo nggak bisa apa diem bentar aja?” Ranya sudah benar-benar kesal mendengarnya. Paling jawaban Arka tak akan jauh-jauh dari kalimat gombalan yang bisa dicari dengan mudah di google.
“Apa?! Pengin tau?” Ranya melengos kesal sebelum Arka melanjutkan bicaranya. “Kalian itu sama-sama  membuat candu.” Arka cengengesan sebentar melihat wajah Ranya yang nampak memerah. Entah karena malu, blushing, marah, atau apa. Arka akan tetap menganggapnya sebagai ungkapan hati Ranya yang menghangat.
“Ka..” panggil Ranya iseng.
“Hmm?”
“Kenapa lo mau temenan sama gue, disaat orang lain bahkan nggak menganggap keberadaan gue? Lo sama sekali nggak malu temenan sama gue. Padahal gue ini malu-maluin, loh.” Ucapan Ranya barusan berhasil membuat Arka tersenyum. Pertanyaan yang selama ini ia tunggu-tunggu akhirnya terdengar.
“Apa?! Kamu cuma anggep aku temen, Ra?!” Arka berteriak dramatis, seolah-olah ingin merajuk. Namun tenang saja, Ranya tahu itu hanya bercanda – walaupun sebenarnya ada ungkapan tersirat di dalam perkataan Arka.
“Gue nggak peduli ucapan orang. Mau mereka bilang apa, yang penting gue nyaman, mereka bisa apa? Hidup ini cuma sekali, Ra. Cari kebahagiaan sebanyak mungkin. Nggak ada waktu lagi buat dengerin omongan mereka yang nggak mutu itu. Come on! Lihat sekeliling. Banyak hal menakjubkan yang menanti buat kita cari!”
Ranya menghela nafasnya gusar. “Lo bener, Ka. Tapi sayang. Di mata gue semuanya terlihat sama. Enggak ada yang tulus, enggak ada yang setia. Bahkan, Ayah gue sendiri yang buat semua ini ada. Dia mengenalkan gue tentang betapa mengerikannya hidup ini – enggak mirip sedikit pun dengan cerita-cerita dongeng pengantar tidur yang selalu Bunda bacakan dulu sebelum gue tidur.”
“Oke. Dari sini aku tau, kamu hanya terlalu takut untuk ditinggalkan. Tapi, Ra... aku Arka, bukan Ayahmu itu. Aku tak akan meninggalkanmu seperti mereka. Hanya orang-orang bodoh yang rela meninggalkan gadis semanis kamu. Sampai disini... kamu belum menerimaku?”
Hening.
“Oke, nanti kujemput jam empat sore.”
“Hmm.”



Pukul empat sore. Seperti janjinya tadi, Ranya sudah siap dengan pakaian seadanya. Celana jeans selutut beserta kaos kusam bergambar karakter spongebob itu sudah cukup membuatnya cantik, walaupun ia sendiri tak mau mengakuinya.
Beberapa kali ia mengecek ponsel tuanya – berharap ada suatu pesan yang memberi alasan tentang Arka datang terlambat. Jarang sekali Arka molor seperti ini. Biasanya saja janjian pukul tiga, datangnya pukul satu.
Ranya membuka pintu kamar tidur. Ia menghela nafasnya pelan. Di sana, nampak seorang gadis kecil yang masih terlelap dengan damainya – seakan tak adaa satu pun masalah yang mengganggu pikirannya.
Ranya memutuskan untuk duduk kembali. Menunggu itu sudah melelahkan, apalagi jika ditambah sambil berdiri. Double!
Karena tak tahan untuk menunggu, Ranya memilih keluar rumah. Dilihatnya ke arah kemungkinan Arka akan datang. Namun hingga saat ini belum membuahkan hasil – padahal jam di ponselnya sudah hampir menunjuk pukul lima.
Entah mengapa firasatnya buruk.
Hingga akhirnya, teriakan seorang tetangganya menjawab itu semua.
“Mbak Ranya! Temennya Mbak yang suka dateng kesini kecelakaan di depan! Dia lagi sekarat, Mbak.”
Deg
Jantung Ranya seakan berhenti bekerja. Dunianya bagaikan dihentikan oleh kalimat singkat tadi.
Ranya berlari kencang. Tak ia pedulikan kakinya yang terasa nyeri akibat beberapa kali menginjak kerikil tajam. Kegelisahan ini membuatnya lupa akan segala. Tapi itu tidak penting! Yang terpenting sekarang adalah bagaimana keadaan Arka.
Dari kejauhan, Ranya bisa melihat sejumlah warga yang bergerumbul. Ranya yakin Arka-lah yang menjadi pusat perhatian itu. Ranya jadi terkekeh miris. Arka selalu menjadi sorotan. Dimana pun ia berada, bahkan di situasi seperti sekarang ini.
Ranya menabrak gerumbulan bapak-bapak itu. Meski bahunya sakit, hal itu tak sebanding dengan hatinya yang seakan mati rasa.
Betapa terkejutnya Ranya yang melihat keadaan Arka saat ini. Banyak sekali darah yang mengalir dari tubuh kokoh Arka. Ranya segera menyandarkan tubuh Arka padanya. Tak ia pedulikan sama sekali pakaianna yang sudah tertular berwarna merah oleh darah.
“Raa...” Ucapan Arka yang tersengal-sengal membuat Ranya memejamkan matanya kuat.
“Ra.. aku mau mati.” Ranya menampar pipi Arka keras – berharap dengan itu ia bisa menyadarkan Arka yang semakin melantur.
“Ra.. maafin aku. Aku laki-laki pengecut. Maafin aku meninggalkan kamu. Maafin aku yang udah lancang membuka pintu hati kamu tanpa ada bukti untuk membahagiakanmu. Maafkan aku sudah membuka luka lama-mu. Maaf, maaf, maafkan aku. Tapi, Ra, aku Arka, bukan Ayahmu. I love you.” Arka menangis. Tak ada isakan dalamnya. Hanya air mata saja yang menunjukkan lara.
Bahu Ranya bergetar hebat melihat mata Arka yang mulai menutup. Satu hal yang Ranya percaya. Arka meninggalkan senyum untuk dirinya yang terluka kembali.


Hari ini..kau meninggalkanku dengan sejuta kesedihan. 
Mengapa kebahagiaan selalu berjalan begitu cepat? Sedangkan lara? Ia terlalu nyaman berada di dekatku.
Selamat tinggal Arka... dengan ini aku nyatakan aku mencintaimu.

Event; KumcerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang