Crazy Boy

16 5 0
                                    

🌻 Karya : Fitya Anahdi Sabilla 🌻

Dimalam hari tepatnya di kota Birmingham, Inggris terdapat seorang gadis yang sedang  berjalan gontai mengikuti langkahnya mengiringi sinar sang rembulan merah yang menerangi bumi. Penerangan yang minim karena waktu sudah hampir tengah malam membuatnya harus over waspada, takut jikalau ada seseorang yang menculiknya karena hot news akhir-akhir ini adalah maraknya seorang penculik. Gadis belia itu berjalan sendirian menuju tempat tinggalnya. Lembur di kantor membuatnya merelakan waktu untuk sekedar rebahan dan menerima resiko pulang malam demi seperak uang untuk memenuhi kebutuhannya.
Dia yatim piatu semenjak dirinya menginjak umur limabelas tahun. Disaat itulah ia mulai hidup sendiri dengan dampingan secuil harta warisan peninggalan orang tuanya. Tetapi ia tahu kalau harta warisan itu tidak akan bertahan lama sampai ia tua nanti, maka dari itu ia memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan terkenal di kotanya. Namanya Vega Auriga Lacerta, biasa dipanggil Vega. Umur 23 tahun, hobby berenang dan suka makan mie ayam. Oh, jangan lupakan satu lagi kalau Vega juga suka mendengarkan musik. Dia mempunyai postur tubuh yang tinggi, rambut pendek, hidung mancung, senyum manis, kulitnya putih bersih, dan tubuhnya yang berisi di setiap inci membuatnya menambah kesan tersendiri.
Vega menengok ke belakang karena merasa ada seseorang yang membuntutinya semenjak ia keluar dari sebuah tempat pembelanjaan. Vega memang sempat pergi ke Mall karena ia harus membeli beberapa kebutuhan sehari-hari. Setelah merasa tidak ada yang membuntutinya Vega melanjutkan langkahnya kembali.
Mphh
Vega dibekap seseorang dari belakang. Ia berusaha meronta. Namun naas, hanya itu yang Vega rasakan sebelum ia merasa dunianya sudah gelap gulita.
Beberapa jam kemudian
Vega menyipitkan matanya, pundaknya terasa nyeri, tubuhnya terasa berat. Nyawanya belum terkumpul sempurna. Ia berusaha mencari pasokkan cahaya agar ia bisa melihat. Shit. Vega sempat terkejut karena dia sudah berada di apartement-nya. Padahal, ia merasa tadi sedang berjalan untuk pulang. Oh, Vega baru ingat kalau tadi ada seseorang yang membekapnya. Bayangan seorang penculik mulai menguasai fikirannya. Ia takut nyawanya dipegang oleh penculik itu. Ia masih punya masa depan panjang. Ia masih ingin hidup.
Vega melirik ke arah perutnya yang terasa berat. Matanya terbelalak ketika mendapatkan sebuah tangan kekar sedang menyampir di perutnya. Oh, sial. Apakah ini? Fyuh, Vega bernafas lega karena ia masih mengenakan baju yang sama saat di kantor tadi. Ia bergerak perlahan untuk mengetahui siapa pemilik tangan kekar itu.
Eunghh
Seseorang di belakang Vega merasa terganggu. Vega menghentikan pergerakannya sebentar sebelum orang itu bangun. Ia akan kembali berusaha setelah dirasa orang itu tidak sadar lalu ia akan kabur dari sini. Mata Vega sempurna melotot ketika melihat pemilik tangan kekar itu. Seorang lelaki tampan sedang tidur di dekatnya. Vega merasa bingung harus melakukan apa. Ia tidak bisa berkutik lagi ketika lelaki itu membuka matanya dan mengeratkan pelukannya pada dirinya.
"K—kau si—"
"Altair. Namaku Altair Chamaeleon Pavo." potong lelaki itu.
Altair bisa merasakan kalau gadis di depannya ketakutan. Ia bisa melihat dari sorot matanya. Vega, ia sudah tau gadis di depannya bernama Vega karena ia bisa membaca biodata seseorang ketika ia menatap orang itu dalam kurun waktu lima detik saja. Altair adalah seorang vampire berdarah murni keturunan dari raja Cygnus yang tak lain adalah kakeknya. Ia bisa berada di bumi karena orang tuanya sepakat mengasingkan-nya agar terhindar dari  gadis jahat yang terobsesi pada dirinya . Orang tuanya juga memasang perisai pelindung agar gadis jahat itu tidak mampu memukan keberadaanya sampai kapanpun. Tujuannya berada di bumi juga karena ia merasa mate-nya berada di sana. Ia merasakannya. Namun sudah hampir dua tahun ia mencari mate-nya tetapi tidak kunjung ditemukan sama sekali. Saat Altair keluar dari sebuah tempat pembelanjaan, dadanya terasa sakit, tenggorokannya terasa sangat panas, dan matanya memerah. Sudah lama padahal ia tidak merasakan ini semua. Astaga, Altair baru ingat perkataan kakeknya. Ia akan merasakan ini semua jika mate-nya tidak jauh keberadaannya darinya dan Ia akan sembuh jika ia meminum darah mate-nya. Saat itu Altair mencium aroma darah segar.  Altair baru bisa mencium darah yang se-segar ini. Ia mengikuti arah aroma darah itu hingga ia menemukam Vega. Ya, Altairlah yang menculik Vega hingga membawanya ke apartemen gadis itu setelah ia mengetahui alamatnya yang tertera di dalam dompet Vega.
Tidak salah lagi, rasa nyeri dan haus yang Altair rasakan semakin menggerogot. Ia menatap Vega intens. Tatapannya beralih ke arah leher jenjang gadis itu.  "Kau milikku." cetus Altair sebelum ia menancapkan giginya ke arah leher Vega dan menyeruput darah segar itu sampai gadis itu terkesiap.
Arghh
Shsss
Arghh
Vega terus memberontak, namun dengan kemampuan Altair, ia tidak bisa bergerak. Altair telah menghentikkan pergerakan Vega dengan kekuatannya dalam satu kali kedipan mata.
"Argh, a—apa yang kau lakukan. Shhs, siapa sebenarnya kau?" tanya Vega terbata. Ia cukup terkejut ketika Altair menerkamnya dengan buas dan menjilati darahnya tanpa merasa jijik. Vega semakin merasakan nyeri di lehernya. Jika saja tubuhnya bisa ia gerakan, ia akan menendang lelaki yang sama sekali tidak ia kenal ini sampai ke ujung dunia kalau bisa.
Altair menyudahi kegiatannya. Ia bangun dari tidurnya. Dalam satu kali kedipan mata, Vega kembali bisa bergerak.
Plak
Sebuah tangan indah mendarat mulus di pipi Altair hingga kepala sang pemilik pipi ikut terbawa arah tamparan itu. Altair membersihkan sudut bibirnya yang masih dipenuhi darah karena menyeruput darah Vega tadi. Ia menatap Vega yang sedang memegang lehernya karena kesakitan. Gadis itu menangis, matanya sembap, hidungnya kembang-kempis seperti menahan amarah. Bagaimana tidak marah kalau ada seseorang yang Vega tidak kenal lalu tiba-tiba orang itu menculiknya dan membawanya ke apartementnya. Ya, walaupun ini apartementnya tetapi lelaki itu sudah berani menyusup tanpa izinnya. Bahkan, dengan gilanya lelaki itu tidur bersamanya dan menerkam lehernya sampai menyeruput darahnya. Vega bergidik sendiri, Ia merasa jijik. Bagaimana ada orang seperti ini di dunia. Vega fikir orang seperti itu hanya ada di sebuah film yang dulu pernah ia tonton, seperti Twilight. Namun, sekarang Vega bisa melihat ini secara live bahkan merasakannya.
Vega menatap manik mata Altair. Ia ketakutan. Mata lelaki di depannya sempurna menyala berwarna merah. Vega memundurkan tubuhnya agar tidak terlalu dekat dengan Altair.  "Pergi. Pergi dari sini." usir Vega.
Altair tersenyum licik. Sampai kapanpun ia tidak akan meninggalkan Vega. Dia mate-nya. Kalau sampai Altair meninggalkan Vega, ia tidak mampu menahan panas dan perih yang ia rasakan. "Tidak akan. Kau milikku." kata Altair.
"GILA." bentak Vega. Bagaimana bisa ia terima kalau ada seseorang yang tiba-tiba mengklaim dirinya menjadi miliknya.
"Aku cukup waras, Vega. Mau lihat kewarasanku?"
Vega mengerutkan kedua alisnya. Ia bingung, kenapa lelaki di depannya bisa mengenalnya. Padahal, ia sama sekali belum pernah bertemu dengannya.
"Argh... Shhs... K—kau gila." bentak bela ditengah desisannya. Altair kembali menancapkan gigi taringnya ke lehernya dan menyeruput darahnya tanpa ampun. Vega terus meronta. Kakinya ia tendangkan ke arah kaki Altair agar lelaki itu terusik.
Arghh
Shss
Vega semakin mengerang kesakitan ketika Altair menancapkan giginga lebih dalam. Air matanya sudah menetes karena tak mampu menahan rasa sakit itu. Melihat Vega yang menangis, Altair menyudahi kegiatannya. Ia membersihkan sudut bibirnya sebelum mencium dahi Vega. Dengan satu kali jentikkan jari, Vega sudah tertidur pulas dalam dekapan Altair.
Keesokkan harinya, Vega sudah terbangun. Kepalanya sakit mengingat kejadian semalam. Vega bernafas lega ketika tak mendapati Altair disisinya. Ini lebih baik, sehingga ia bisa bebas. Vega mempunyai rencana untuk pindah kota saja kalau begini. Daripada bertemu lelaki aneh itu, Vega memilih pergi.
Vega beranjak dari kasurnya, ia berjalan menuju kamar mandi. Saat bertemu dengan cermin, matanya terbelalak sempurna. Vega fikir bekas gigitan Altair semalam akan membekas. Namun, nyatanya tidak. Bahkan lehernya mulus tanpa ada bekas gigitan sedikitpun. Argh, siapa sebenarnya Altair?
Setelah menyelesaikan ritual mandinya, Vega keluar dari kamar mandi. Hari ini pekerjaannya libur karena mengingat hari ini hari sabtu.
"Hai, Vega." sapa seseorang di depan sana.
Vega terkejut. "B—bagaimana bisa kamu ada disini? Pergi!"
Vega samakin terkejut ketika Altair sudah ada di depannga persis. Bahkan jarak wajahnga hanya beberapa cm saja. Vega meneguk ludahnya susah payah. Ia memundurkan tubuhnya hingga punggungnya terbentur tembok. Ah, sial. Kenapa harus ada tembok besar disini?!
"Mau kemana?" bisik Altair tepat di telinga Vega. Bulu kuduk Vega sampai meremang.
"Kamu pergi dari sini!" usir Vega.
"Tidak akan." geram Altair. Ia sedang berusaha mengontrol emosinya. Sampai kapanpun ia tidak akan meninggalkan mate-nya yang sudah ia cari bertahun-tahun lamanya.
"Apa maumu?"
"Mauku?" tanya Altair balik, ia seolah-olah sedang memikirkan sebuah jawaban yang pas. "Kau harus hidup denganku." pintanya.
"Gila. Tidak mau dan tidak akan pernah mau."
"Baiklah." jawab Altair. Jari tangannya bergerak membentuk lingkaran abstrak di leher Vega hingga muncullah sebuah kalung berwarna putih dengan bandul mutiara berwarna biru.
Vega tersentak ketika Altair tiba-tiba menggendongnya dan mendudukinya dengan mulus di atas kasurnya.
"Aku akan pergi. Kalung itu sebagai tanda kalau kamu  sudah menjadi milikku seutuhnya. Kalau kamu membuang kalung itu, kamu akan merasakan sakit yang menyiksa, Vega." ucap Altair seraya menyibakkan anak rambut Vega ke belakang telinga wanita itu.
Mata Vega mengendar ke segala arah mencari sosok Altair yang tiba-tiba menghilang. Lelaki itu sudah tidak ada. Vega menatap bayangannya di cermin dan mengelus kalung itu dengan tangannya. Bibirnya tertarik ke atas tanpa ia sadari. Bagus, kalung itu sangat bagus.
Di seberang sana Altair menggeram marah. Baru beberapa jam ia bertemu dengan Vega dan baru beberapa jam ia meninggalkan wanita itu, malapetaka sudah menghampirinya. Kedua orang tuanya mengabarinya kalau gadis jahat yang terobsesi padanya sudah bisa mengetahui keberadaannya karena telah memecahkan perisai itu. Altair semakin geram ketika tahu kalau gadis jahat yang tak lain namanya adalah Medusa akan menculik mate-nya.
Altair yang sedang meeting pun harus menunda dulu meeting-nya sampai minggu depan. Ya, Altair memang menjadi CEO sekarang. Setelah memastikan tidak ada seseorang di ruang meeting-nya, Altair berteleportasi menuju Apartement Vega. Altair merasa panik karena tidak mendapati Vega di apartementnya. Beruntung saja ia sudah memberikan Vega sebuah kalung warisan dari kakeknya yang bisa melacak keberadaan mate-nya
Black Cloud.
Ya, sekarang Altair bisa melihat kalau Vega berada di sana. Di alam kejahatan milik Medusa. Vega dalam bahaya, ia harus segera ke sana sebelum terlambat. Kalau sampai ia terlambat ia tidak akan mampu kehilangan mate-nya. Altair kembali berteleportasi ke tempat tujuan.
Saat sampai ia bisa melihat disana Vega sedang berdiri kaku dan tidak bisa bergerak sama sekali. Sama seperti saat ia melakukan itu kepada Vega waktu ia menyuruput darah wanita itu. Di depan Vega persis ada Medusa yang sedang ancang-ancang untuk memanah Vega, tepatnya di jantung. Kelemahan Vega memang hanya di jantung dan Medusa sudah mengetahui itu.
Akhh
Teriak Vega sambil menutup mata ketika panah itu sudah mendekat ke arahnya.
Jleb
Bruk
Vega membuka matanya perlahan, ia tidak merasakan apa-apa. Ia cukup terkejut ketika mendapati Altair sudah bersimpuh di atas tanah dengan darah yang sudah bercucuran dimana-mana. Lelaki itu terkulai lemas. Beruntung Altair masih bisa menggunakan kemampuanya untuk mengembalikkan keadaan Vega seperti semula dengan kedipan mata.
"Altair," teriak Vega menghampiri lelaki itu. Vega menangis. Ia fikir Altair lelaki yang jahat, tetapi nyatanya lelaki itu malah menolongnya dari maut bahaya.
Altair tersenyum ketika Vega memanggil namanya untuk pertama kalinga. "K—kamu tidak apa-apa?" tanya Altair terbata. Tangannya menyentuh dadanya yang terpanah. Ia berusaha menahan rasa sakit itu di depan Vega.
"Altair, makasih. Maaf, karenaku kamu harus seperti ini hiks," Vega menggenggam tangan Altair dengan erat, seperti menyalurkam kehangatan. Entah kenapa hatinya ikut merasakan sesak ketika melihat Altair kesakitan seperti ini.
Altair masih setia tersenyum. "Cium aku sebelum aku pergi." pintanya.
Mata Vega terbelalak. Ia menyeka air matanya ketika mendengar permintaan lelaki ini. Vega menyesal telah memuji Altair. Nyatanya lelaki ini memang gila.
Argh
Altair mengerang kesakitan ketika rasa sakitnya semakin mencekam. Vega yang melihatnya semakin tidak tega melihat raut wajah Altair yang sudah pucat pasi, tidak seperti saat kemarin waktu awal bertemu. Tanpa aba-aba Vega sudah mencium dahi Altair lebih dulu, membuat Altair tidak merasakan sakitnya kembali. Tidak hanya dahi, Vega juga mencium kedua pipi Altair.
Setelah selesai dengan ciumannya, Vega memundurkan wajahnya dan betapa terkejutnya ketika ia mendapati Altair sudah tidak sadarkan diri.
"Altair... Altair... Lelaki gila... Woy... Bangun!" teriak Vega tepat di telinga Altair. Tangannya bergerak menggoyang-goyangkan tubuh lelaki itu. Namun nihil, Altair tidak menunjukkan gerak-geriknya untuk bangun sama sekali. Mata lelaki itu masih setia terpejam.
"Altair, hiks, bangun!"
"Hahaha... Sudahlah. Percuma saja jika kamu membangunkannya. Anak panah itu jika sudah menancap di tubuh seseorang, maka orang itu tidak akan pernah bangun sampai sedia kala. Itu anak panah pembawa maut." kata Medusa. Wanita itu masih setia berdiri  di depan sana.
Vega menatap Medusa dengan marah. Ia tidak tahu kenapa wanita ini menculiknya saat ia sedang menonton TV dan membawanya ke tempat yang sama sekali ia tidak pernah lihat.
"Altair," panggil dua orang yang tiba-tiba muncul dan bersimpuh di dekat Altair. Vega memandang kedua orang itu bingung, berbeda dengan Medusa yang malah ketakutan ketika kedua orang itu datang. Terbukti ketika Medusa memundurkan tubuhnya sedikit menjauh dari tempatnya.
Kedua orang itu menatap Vega. Vega yang ditatap hanya merasa gelisah karena ia tidak mengenal orang itu. Ia takut kalau orang itu adalah orang jahat yang sama seperti Medusa. Di depannya ada seorang lelaki yang wajahnya hampir mirip dengan Altair, hanya saja di dagu  lelaki itu sudah ditumbubi jambang tipis. Ada juga wanita yang sangat cantik di depannya, benar-benar cantik seperti ratu  hingga mulut Vega ternganga sempurna.
"Sayang, kami kedua orang tua Altair. Aku Vynasa, ibunya Altair dan ini Chan, ayahnya Altair." ucap wanita cantik itu seraya memperkenalkan dirinya dan suaminya.
"Vega, saya sudah tau tentangmu. Kamu adalah mate-nya Altair. Saya tau kamu belum bisa mempercayai ini dengan sepenuhnya. Tetapi ini nyata. Suatu hari nanti kamu harus hidup bersama anakku." ucap Chan. "Ini, tancapkan belati biru ini ke arah bekas tancapan anak panah tadi. Tolong, bantu kami agar anak kami hidup kembali." lanjutnya seraya menyerahkan belati biru itu ke tangan Vega. Vega menerimanya dengan kikuk. Menancapkan? Apa kedua orang tua Altair waras?
Tetapi entah kenapa, Vega malah menuruti perintah kedua orang itu ketika melihat raut wajah penuh belas kasihan mereka. Vega juga manusiawi. Ia tidak egois. Itung-itung ini juga balas budi karena tadi Altair sudah menyelamatkan nyawanya.
Vega mencabut anak panah itu dengan perlahan, kemudian menancapkan belati biru yang sudah menyala ke arah bekas tancapan anak panah tadi. Berhasil, beberapa detik kemudian mata Altair perlahan membuka.
"Vega, gigitlah tanganmu sampai mengeluarkan darah berwarna biru. Itu darah suci antara hubunganmu dengan Altair. Lalu, oleskan darah itu ke bekas tancapan ini. " perintah Vynasa lagi.
"APA?" Vega terkejut. Gila. Permintaan macam apa itu?!
Arghh
Vega mengerang kesakitan ketika Chan tiba-tiba menggigitnya tanpa aba-aba. Darah biru itu sudah mengalir sempurna. Chan menarik belati biru itu dari tubuh Altair dan menarik tangan Vega yang sudah berlumuran darah untuk mengusapkannya ke arah bekas tancapan itu. Berhasil, bekas luka tancapan itu menghilang. Darah merah yang merembas di baju Altair juga menghilang. Altair sudah sepenuhnya membuka matanya.  Vega masih membisu. Ia masih terkejut. Tatapannya kosong. Tolong, sadarkan Vega kalau ini semua hanya mimpi di siang bolong.
"Vega, terimakasih. Kamu sudah menyelamatkan anak kami. Maaf, kami harus membunuh wanita jahat tadi agar hidup kalian nanti tidak terganggu." pamit Chan. Ia sudah menghilang bersama dengan istrinya untuk membunuh Medusa. Ia tidak mau kalau kehidupan anaknya terusik lagi.
"Vega," panggil Altair membuyarkan Vega yang dari tadi membisu ketika tangan kekar lelaki itu menyentuh tangan Vega. "Terimakasih sudah menyelamatkanku." Lanjutnya.
Vega hanya tersenyum simpul. Lidahnya masih kelu untuk sekedar mengucapkan sepatah dua kata. Ajaibnya tangannya tidak sakit dan tidak meninggalkan luka sama sekali saat Chan menggigitnya tadi.
"Aku mencintaimu. Kau milikku." ucap Altair tiba-tiba mampu membuat jantung Vega berdetak dua kali lipat.  "Kau tidak akan bisa pergi kemana-mana setelah darah sucimu mengalir di tubuhku, Vega. Besok kita menikah." Lanjutnya. Memang benar, jika darah biru itu sudah mengalir di tubuh seseorang, maka orang itu tidak akan bisa pergi jauh-jauh dari sang penerima darah itu. Atau tidak sang pemilik darah akan merasakan sakit yang sangat menyiksa.
"APA?!"  mata bela hampir saja terlepas dari kelopaknya karena saking terkejutnya. Oh, ini semua memang gila. Berbeda dengan Altair yang malah tersenyum menang seperti mendapatkan diskonan baju besar-besaran.

Event; KumcerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang