Awal dari Akhir

21 14 0
                                    

🍯 Karya : Sekar Setyaningrum 🍯

A

ku menatap ke luar jendela kamarku sembari mengemas beberapa barang milikku ke dalam ransel. Ini adalah hari terakhirku berada di rumah ini   – rumah yang sudah kutempati lebih dari delapan belas tahun terakhir.

Aku tersenyum getir menatap Vania yang sedang tertawa besama seorang pria di halaman depan rumah kami. Lihatlah, gadis yang beberapa jam lalu menangis saat mendengar keputusanku untuk meninggalkan rumah dan mulai hidup sendiri, pagi ini, sudah kembali ceria, ia sudah melupakan segalanya.
Vania sudah seperti keluarga bagiku. Tidak. Bahkan lebih dari itu. Sejak kedua orang tuaku meninggal dunia 18 tahun silam, Tante Nindi – Mamanya Vania – memintaku untuk tinggal bersama mereka di rumah ini. Aku tidak bisa menolak, terlebih lagi, aku yang saat itu masih berusia 12 tahun sangat senang karena bisa tinggal bersama sahabat baikku.
Hingga tiga bulan yang lalu, saat aku menonton salah satu serial favoritku di ruang keluarga, Vania menghampiriku. Ia duduk di sampingku dan merebahkan kepalanya di bahu kananku. Aku mengelus puncak kepalanya sesaat.
“Jav, gue mutusin buat pacaran sama Tama.” Dan kalimat pertama yang Vania sampaikan berhasil membuat gerakan tanganku terhenti. Tiba-tiba saja, aku merasakan serbuan sesak yang menghujam dadaku. Mataku terasa panas. Aku tahu Tama. Dia adalah sahabat baikku selain Vania.
“Lo seneng?” aku asal bertanya. Hanya itu pertanyaan yang terlintas dalam pikiranku.
Vania mengangguk dan aku menemukan seulas senyum menghiasi wajahnya ketika tatapan kami akhirnya bertemu. Lalu, detik berikutnya, aku kembali terluka. Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya debaran asing yang menyenangkan ini mulai hadir mengisi kekosongan hatiku, tapi satu yang pasti aku tidak ingin Vania tahu.

Cukup adil karena sebenarnya, aku tidak ingin gadis itu tahu perasaan yang kumiliki untuknya. Alasannya sederhana, aku tidak pernah memiliki cukup keberanian untuk menyatakan perasaanku dan membuat hubungan kami yang selama ini baik-baik saja menjadi canggung. Lagi pula, Vania tidak pernah menunjukan maksud ke arah yang kuharapkan.
Seperti hari itu, dia mengatakan jika dirinya baru saja memulai sebuah hubungan dengan Tama. Dan itu sudah sangat cukup untuk membuat asumsiku – yang menyatakan jika Vania tidak memiliki sedikitpun perasaan yang sama untukku – semakin kuat.
Aku kembali sibuk dengan kotak-kotak dan ransel yang ada didepanku saat suara Vania membuyarkan lamunanku.
“Jav,”
Aku menoleh ke arah sumber suara. Vania terlihat lebih ceria dari sebelumnya. Aku menepuk bantaan sofa  yang ada di kamar. “Sini,”
Vania menghampiriku sambil terus mengulas senyum yang menghiasi wajah orientalnya, rambut sebahunya bergerak-gerak seirama dengan gerakan tubuhnya. Ia duduk di sampingku dan seperti biasa, dia mejadikan bahuku sebagai bantalan kepala. Aku tidak menyangka jika aku sudah mengambil keputusan untuk mulai mengambil jarak dengan Vania dengan meninggalkan rumah ini.
“Gue nggak tahu harus ngomongin ini sama lo sekarang atau nanti. Gue ngerasa nggak pantas ngerasa bahagia saat gue juga sedih harus kehilangan lo di rumah ini,”
Aku tersenyum menatap Vania sambil terus meyakinkan diri jika aku akan baik-baik saja dengan apapun yang akan dia tuturkan selama itu bukan rencana pernikahnnya dengan Tama. “Just let me know.”
“Tama ngelamar gue, Jav. Kami memutuskan untuk segera menikah,”

***
Duniaku serasa runtuh hari itu. Hal yang tidak pernah ingin kudengar justru adalah hal pertama yang keluar dari mulut Vania. Tama mengajaknya menikah di usia hubungan yang baru menginjak bulan ke tiga. Meskipun sebenarnya, aku sudah siap dengan segala konsekwensi karena tidak memiliki cukup keberanian untuk menyatakan perasaanku kepada Vania.
Aku menemani Vania mencari wedding organizer, memilih undangan, menyewa gedung, catering bahkan gaun pernikahan. Aku selalu bertanya-tanya kenapa Tama selalu beralasan ketika Vania mengajaknya mengurus segalanya bersama-sama dengan mengatakan jika dirinya sedang sibuk dan say sorry after all. Herannya, Vania selalu berbesar hati untuk memaafkan Tama dan menerima segala alasan – yang menurutku terkesan dibuat-buat – yang Tama berikan.
Sedangkan aku? aku dengan senang hati melakukan itu semua untuk Vania meskipun itu berarti aku harus membunuh perasaan yang kumiliki untuknya setiap waktu, sepanjang hari yang kuhabiskan bersamanya.
Itu  berat dan itu sangat menyiksa.
Seperti hari ini, aku bahkan rela tidak pulang agar bisa menjadi orang pertama yang ada di ruang pesta. Menemani Nimas, meredakan setiap debar gugupnya, menggenggam tangannya yang mulai basah dan terus membisikkan mantra ajaib untuknya. “Everything gonna be okay, Van.”
Aku mencoba menghubungi nomor telepon Tama sekali lagi. Nihil. Aku lalu memutuskan untuk menghampiri Tante Nindi yang sejak tadi terlihat sangat gusar.
“Tama nggak bisa dihubungi, Tante.”
“Javier,” Samar-samar, aku mendengar suara Vania memanggilku di tengah alunan irama jazz dan riuh suara tamu undangan yang sudah memenuhi ball room hotel tempat akan dilangsungkannya acara hari ini.
Aku menghampirinya di pelaminan. Menatap manik hitamnya yang mulai mengembun. “Gue masih nyoba ngubungin Tama.”
Vania meremas jemarinya yang sudah basah. Seharusnya, Akad sudah dilaksanakan tadi pagi sebelum para tamu undangan tiba. Namun lelaki yang seharusnya sudah sah menjadi suami Vania justru tidak menampakkan batang hidungnya. Vania terdengar berkali-kali menghela napas dalam. Seandainya dia tahu jika aku merasakkan sesak yang sama.

Satu jam berlalu, Tama belum juga tiba. Beberapa dari tamu undangan yang hadir bahkan sudah mulai saling melempar bisik; di manakah sang pengantin pria? Kenapa Nimas duduk sendiri di pelaminan?. Beberapa yang lain sudah meninggalkan tempat pesta.
Dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai  indah, Vania berjalan melewati beberapa tamu menuju sebuah ruangan yang digunakan sebagai ruang ganti pengantin dengan seulas senyum lembut yang terus menghiasi wajah orientalnya. Aku mengikutinya di belakang.=, takut jika sesuatu yang buruk mungkin terjadi.
Kami saling bertatapan sesaat. Senyum yang sejak pagi tadi tak luput menghiasi wajah cantik Vania, perlahan memudar.
Vania tersenyum getir menatap cermin yang melukis pantulan wajahnya. Vania berusaha melepas hiasan mahkota yang ada di puncak kepalanya lalu mulai menghapus riasan yang menempel di wajahnya. Tanpa air mata dan masih tak bersuara.
Aku menghentikan gerakan tangannya, mengambil telepon genggam dari dalam saku lalu mencoba memastikan sekali lagi.  “Lo nggak usah khawatir. Lo akan nikah hari ini.”
Demi mendengar kalimat yang kuucapkan dengan penuh keyakinan, Vabia mendongak. Vania menatap wajahku dengan ekspresi terkejut sekaligus bahagia yang sangat sulit diartikan. . “Tama udah dateng?”
Aku menatap nanar wajah Vania yang sedang meminta penjelasan dari kalimatku. Aku menggeleng pelan. Aku tidak yakin akan mengatakan hal ini kepada Vania – sahabat sekaligus satu-satunya gadis yang berhasil menempati podium tertinggi di hatiku – yang saat ini sedang menanggung kecewa kerana ketidakhadiran Tama di pesta pernikahan mereka.
Aku menggenggam jemari tangan Vania dan menuntunnya keluar dari ruang ganti yang tiba-tiba saja terasa sangat pengap. Sementara Vania memutuskan untuk mengikuti langkahku tanpa bertanya apa-apa lagi.
“Mana Tama?”
“Bukan Tama.”
“Lalu?”
“Kamu akan menikah denganku.”

***

Event; KumcerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang