The Dream

11 6 0
                                    

🌻 Karya : Ilsya Alfira 🌻

“AWASS!!!” Pekik seseorang sembari menunjuk cahaya merah yang menuju ke arahku. Sedikit lagi, jika saja aku terlambat untuk menunduk, maka aku pastikan wajahku sudah terbakar seperti tumpukan jerami yang terletak tepat di belakangku.
Mataku mendelik kesal, tatkala dalang dibalik kekacauan ini hanya tersenyum lugu seolah hal itu bukanlah salahnya.
“Kau kurang berlatih dengan api kecilmu itu, Nald.” Sinisku sembari mengacak rambutnya gemas.
“Hei! Jaga bicaramu itu! Aku lebih baik ketimbang kau yang tidak punya kekuatan.” Ejeknya lalu menjulurkan lidah.
“Tajam sekali perkataanmu itu, hatiku langsung koyak setelah mendengarnya,” ujarku melebih-lebihkan.
Nald hanya menatapku sinis, aku balas menatapnya dengan remeh. Dia hanya seorang pangeran kecil dengan sikap angkuh serta ego yang tinggi, dan sayangnya dia adalah adikku.
Aku memutuskan  untuk kembali berkeliling istana, dari pada meladeni keangkuhan sang pangeran kecil itu. Langkah kaki menuntunku hingga tiba di dapur istana, disini semua orang terlihat sangat sibuk, pasti karna sebentar lagi jam makan siang akan segera berlangsung.
“Salam putri, maafkan saya yang terlambat menyadari kehadiran anda.” Ucap kepala pelayan sembari menunduk hormat lantas kembali tegak seperti semula.
“Salam madam, apakah hari ini ada menu spesial?” tanyaku padanya. Dia tersenyum misterius, lantas menggelangkan kepalanya pelan. Tujuanku datang kemari memang hanya untuk ini, aku sudah terbiasa melakukannya setiap hari.
“Tapi akan ada tamu spesial,” ujarnya yang lagi-lagi disertai senyum misterius. Aku menoleh ke arahnya, “Siapa?” tanyaku penasaran. “Anda akan tau nanti putri.” Jawabnya terkikik geli.
Aku mengangkat alis bingung, tapi itu tidaklah penting, aku bukan orang yang suka penasaran, aku akan tau jika waktunya sudah tiba nanti. Lebih baik aku pergi ke kamar sekarang.


Duduk di depan jendela, memandang keindahan taman istana, menulis beberapa kata dengan tinta berwarna ungu, ditemani segelas coklat hangat, itu semua kegiatan rutinku menjelang tengah hari yang terik ini.
“Ratu Geish datang!” seru salah satu prajurit dari luar kamar. Aku bangkit, lantas bergegas membuka pintu.
“Salam ratu,” aku sedikit membungkukkan badanku. “Salam.” Ujarnya lalu memegang bahuku. “Bolehkah aku masuk?” tanyanya tersenyum. Aku menganggukkan kepala dan menyingkir dari pintu.
Ratu Geish, ibuku, langsung menutup pintu ketika dia sudah masuk ke kamar milikku ini. Dia menuntunku untuk duduk di atas ranjang, raut wajahnya memperlihatkan binar  kebahagiaan yang membuat wajah cantiknya semakin bersinar.
“Ada apa ibunda?” tanyaku bingung. Dia tersenyum sangat manis, lantas mengusap rambutku dengan perlahan, “Berdandanlah untuk makan siang kali ini, aku akan membantumu memilihkan gaun yang cocok.” Ujarnya sembari berdiri dan berjalan menuju lemari pakaianku. Ia terlihat sangat serius saat memilah  gaun yang indah untukku pakai nanti.
Cukup lama memang, namun akhirnya ia memilih sebuah gaun yang amat sederhana namun terlihat elegan. Gaun berwarna violet, dengan beberapa taburan kilau di bagian dada dan renda di bagian bawahnya, serta rajutan berwarna emas di sekitar lengan gaun itu, sangat menaggumkan.
“Bergegaslah, sebentar lagi waktu makan siang dimulai.” Titahnya lantas berlalu begitu saja.
Beberapa menit telah berlalu, aku sudah siap dengan gaun yang dipilihkan ibunda ratu tadi, aku mungkin tampak sangat menawan sekarang. Ku putuskan untuk segera ke ruang makan, mereka pasti sudah menunggu disana.
“Sebentar lagi dia pasti datang,” ucap seseorang dengan suaranya yang lembut, itu suara ratu Geish.
Ada sekitar  6 orang dimeja makan, 3 diantaranya adalah keluargaku, dan 3 lainnya aku belum mengetahiu siapa mereka, mungkin mereka adalah tamu spesial yang dimaksudkan.
“Salam, selamat siang,” sapaku ramah kepada semua orang yang ada dimeja makan. “Salam, siang kembali,” ujar mereka hampir bersamaan. Aku tersenyum lantas duduk disebelah pangeran kecilku, Nald.
“Kau terlihat anggun dengan gaun itu, Beth,” puji Nald tulus, yang hanya ku tanggapi dengan senyum.
Kami semua makan dalam keheningan, itu adab makan yang sangat tepat disini. Mataku melihat kearah orang-orang yang ada di meja makan, pandanganku terpaku pada rupa seseorang yang ada di hadapanku. Dia terlihat sangat tampan dan dingin, aku bisa merasakan auranya yang begitu pekat. Dia menarik.
“Bolehkah saya mengelilingi istana ini, raja?” tanya orang yang duduk dihadapanku itu. raja Nand, ayahku, mengangguk lantas melirik kearahku. “Kau bersedia menemaninya?” ucap raja padaku, aku hanya tersenyum lalu mengangguk.
Kulihat dia bangkit dari kursi, mungin dia ingin berkeliling sekarang, aku ikut berdiri dan memberinya tahunya untuk mengikutiku melalui tatapan mata.
“Anda ingin kemana pangeran?” tanyaku diperjalanan. Namun yang ditanya hanya diam tak berkutik, aku menunggunya mengatakan sesuatu, namun sudah jalan beberapa langkah, mulutnya tidak juga mengeluarkan suara sedikit pun. Yasudahlah mungkin dia malas bicara, aku hanya mengikuti kemana kakinya melangkah saja.
Dia berhenti ditaman belakang istana, lantas duduk di ayunan yang terletak tepat di depan hamparan bunga. Sedangkan diriku, hanya berdiri kikuk di sebelahnya sembari memandang bunga-bunga yang segar. Aku sangat ingin berbicara, aku tidak tahan akan suasana seperti ini, namun aku bingung harus memulai dari mana, jadi kuputuskan untuk diam.
“Kau Anthabeth?” tanyanya tanpa melihat kearahku. Aku mengangguk, lantas sadar akan kebodohanku, dia tidak melihat kearahku, bagaimana dia tahu aku mengangguk.
“Iya,” jawabku singkat, sungguh aku bingung harus menjawab apa, dan berbicara apa.
“Kau Si Sempurna yang Cacat itu?” dia bertanya lagi, namun kali ini aku sedikit tersinggung dengan pertanyaanya itu.
“Iya,” jawabku mungkin terdengar sinis. Dia terlihat mengangguk, lalu menoleh kearahku. “Arden, pangeran Herolion,” ujarnya memperkenalkan diri.
“Senang berkenalan dengan anda, pangeran Arden.” Ucapku mengalihkan pandangan darinya, biar saja aku dianggap tidak sopan, aku kurang menyukai sikapnya.
“Bertarunglah denganku,” pintanya menatapku dingin. Aku merasakan aura yang menguar pekat dari dalam dirinya, angin seolah hilang, disini terasa dingin dan... beku?
“Apa maksudmu?” tanyaku agak menantang. Dia mengangkat bahunya acuh, lantas berbalik badan membelakangiku.
“Kau pasti mengerti apa maksudku,” jawabnya diiringi kekehan sinis. Aku makin tidak menyukainya.
“Maaf pangeran, aku tidak membuang tenagaku untuk hal tidak berguna.” Ujarku lantang, lantas berbalik meninggalkannya.
Namun langkahku mendadak sangat berat, kakiku membeku, tubuhku terasa menggigil. Sial! Umpatku dalam hati. Dia orang yang licik, arogan, otoriter, dan... dingin.
“Kau terlalu lancang, putri Anth,” sinisnya terkekeh kecil. Aku membenci suaranya itu.
Dia berdiri dihadapanku yang tidak bisa melakukan apa-apa, tubuhku dikunci dengan kekuatan es miliknya. Aku memang terlalu lancang kepadanya, tapi aku tidak menyesalinya, dia memang pantas mendapatkannya, dia itu sangat angkuh, angkuhnya melebihi Nald.
“Lepaskan aku!” seruku geram. Dia hanya memperlihatkan seringainya, yang membuatnya terlihat seperti iblis di hutan terlarang. Argghh!! Aku benci ini! Andai aku punya kekuatan, sudah aku hancurkan pria sombong dihadapanku ini. Ujarku dalam hati, aku malas berbicara dengannya.
“Bagaimana, Anth?” tanyanya lagi, kali ini terdengar nada mengejek dalam ucapannya. Aku diam, lebih baik menghadapi keangkuhan dan ketengilan Nald daripada Sang pengeran Herolion ini.
“Baiklah, jika kau tak bersedia, tak mengapa.” Ujarnya sembari melangkah meninggalkan ku yang masih dalam kuncian es sialannya itu.
“Hei!!! Lepaskan aku!!” jeritku kesal. Dia menghentikan langkahnya, lantas berbalik menghampiriku.
“Aku lupa,” ujarnya terkekeh. Aku kesal dengannya, sangat kesal.
“Aku ingin memberi tahu sesuatu,” ujarnya dengan nada yang amat serius. Aku mengangkat alis, pertanda bertanya apa yang akan dia katakan.
Dia mencondongkan tubuhnya kearahku, wajahnya begitu dekat, aku tidak bisa menghindar karna masih dalam kunciannya. Deru nafasnya menyapu wajahku, aku memejamkan mata secara tidak sadar. “Kau akan menikah denganku,” bisiknya ditelingaku.
“TIDAKK!!!”
Aku bangun dengan keringat dingin dan nafas tersenggal. Ternyata hanya mimpi, syukurlah, tapi seluruh tubuhku terasa sangat dingin, dan sedikit pegal, mungkin aku salah posisi saat tidur.
Untung saja semua itu hanya mimpi, aku tidak bisa membayangkan akan menikah dengan seorang pengeran yang memiliki sifat antagonis. Mataku mendelik kaget ketika milihat jam menunjukkan pukul 08.43am, aku bisa telat jika begini.
Setelah melakukan semuanya dengan terburu-buru, aku langsung mengendarai mobil milikku untuk menuju kampus, beberapa menit lagi jam kuliahku akan dimulai, bisa gawat jika aku terlambat masuk kelas.
Aku berlarian dikoridor, menabrak semua orang yang menghalangi jalanku, terdengar beberapa umpatan  saat aku menabrak mereka, aku tidak peduli akan hal tersebut, yang terpenting aku harus masuk kelas tepat waktu.
Ketika tiba di depan pintu kelas, aku melihat belum ada dosen pengajar yang masuk, aku bersyukur dalam hati. Segera aku mencari tempat duduk yang masih kosong, tiba-tiba ada tangan yang melambai ke arahku, itu adalah Berline, sahabatku, rupanya dia menyisakan satu bangku kosong disebelahnya untukku. Aku segara menghampirinya dan duduk.
“Kau terlambat bangun?” tanyanya langsung. Aku hanya mengangguk dengan nafas yang masih tersenggal.
“Dosennya belum datang juga?” tanyaku pada Berline, karna biasanya sang dosen tidak pernah telat semenit pun.
“Dosennya ada keperluan beberapa bulan, dan akan ada dosen baru yang menggantikannya.” Terang Berline sambil mengedipkan mata centil. “Kau tau, katanya dosen yang sekarang masih muda dan tampan, dia juga masih lajang,” ujarnya lagi. Aku hanya mengangguk tidak peduli.
“Maaf saya terlambat beberapa menit,” ujar seseorang yang berdiri di depan papan tulis. Semua mahasiswa di kelas langsung terdiam tak berkutik, keadaan langsung hening seketika.
“Saya adalah dosen pengganti kalian. Perkenalkan, nama saya Arden,” ujar dosen itu sambil tersenyum ramah. Aku mendelikkan mata terkejut, bagaimana mungkin, ini sangat-sangat tidak masuk akal.
Dia... dia sama persis seperti pangeran  Herolion yang ada di mimpiku, aku pasti sedang bermimpi saat ini, ini tidak mungkin terjadi, siapapun tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini.
“Keluarkan buku kalian, dan buka halaman 176, sekarang!” seru Arden membuat semua mahasiswa bergegas mengeluarkan buku. Namun aku masih terpaku menatapnya, mereka sama persis, dari wajah, nama, sifat, aura, bahkan tatanan rambutnya.
Dia, Arden, mendekat kearah mejaku, dia menatapku dingin dan... sinis,mungkin. Lantas membungkukkan badannya, tubuhku kaku seketika, seperti beku.
“Hai, putri Anth.” Bisiknya lirih.
Dan semua kesialan dalam hidupku akan dimulai sekarang.

Event; KumcerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang