~ Cahyaning K. Qorina ~
Menjadi salah satu pengusaha sukses membuat pria tampan berusia 26 tahun ini menjadi idaman para wanita. Khususnya karena dia masih melajang sampai sekarang. Shawn Peter Raul Mendes. Tak hanya menjadi pengusaha, ia juga seorang musisi terkenal. Sayangnya, keangkuhan menyelimuti sisi lain dari dirinya. Terlahir kaya raya. Paras tampan. Sempurna dalam segi pendapat kaum hawa. Ia mungkin baik didepan para penggemarnya, namun tidak untuk mereka yang sangat mengenal siapa itu Shawn.
“Shit! Kalian bisa bekerja dengan benar tidak?” teriaknya pada salah kru penata busana di backstage.
Hanya masalah sepele. Pakaian pesanannya tidak sesuai ekspektasinya. Masalah warna saja yang mungkin orang lain tidak akan menyadari apakah itu navy atau hitam. Dia marah dan membuat keadaan jadi tambah rumit sekarang.
“Ma..maaf, kami akan segera memesan warna yang berbeda.”
“Lakukan sekarang!”
Mereka mulai menyiapkan semuanya dari awal, sementara Shawn sibuk dengan gitarnya dan mulai gladi bersih untuk terakhir kalinya. Ada banyak hal yang harus dilakukan dan dia membuat semuanya sulit hanya karena warna gelap itu. Salah seorang penata busana menelfon butik langganan mereka. Dengan sangat hati-hati terpaksa mereka menukar pakaian yang telah mereka beli dan berdebat untuk beberapa saat hingga akhirnya mereka berhasil bernegosiasi.
Ditempat lain, ribuan orang mengantri untuk mendapatkan tiket konser Shawn Mendes dari pagi buta hingga petang ini. Diantara barisan gadis – gadis yang siap dengan segala aksesori, kamera, bahkan poster-poster pria idaman mereka, ada seorang gadis yang bahkan tidak suka keramaian seperti ini. Dia pikir, mengantri tiket akan sama seperti di kereta atau bisa di pesan lewat aplikasi. Tetapi dengan harga selangit dan temannya yang sangat fanatik, membuatnya harus rela meluangkan waktunya untuk menemani sahabat tercinta.
Panas membakar kulit kepala mereka. Beberapa membawa payung, memakai poster untuk berlindung, topi dan untuk barisan yang datang sebelum subuh, mereka sudah mendirikan tenda – tenda kecil. Gadis berambut hitam legam itu berdecak, merasa aneh dengan euforia ini. Corinne Austin Debora. Orang yang anti dengan keramaian, lebih suka menonton dari YouTube dan berinteraksi langsung dengan orang lain, tanpa basa-basi. Sementara sahabatnya, Seane menyukai musisi tampan ini melebihi dirinya sendiri. Dia melewatkan kegiatan rutin mereka untuk pergi berolahraga dan asik streaming konser. Di kepalanya hanya ada Shawn Prince Charming.
“Sean, panas! Udah dapet ‘kan tiketnya?”
Seane puas berfoto dengan tiketnya yang baru saja ia dapat. Tabungannya habis untuk satu tiket ini, sementara Corinne tidak berminat membelinya sama sekali. Gadis itu mengangguk dan mengikuti sahabatnya untuk menepi.
“Eh, tapi abis ini Shawn bakalan jumpa fans dulu sebelum mulai acara. Aku nggak mau ketinggalan!” rengeknya pada Corinne yang makin mendengus sebal.
“Oke, kamu aja yang pergi, Sean. Aku mau ke kamar mandi dan menunggumu di mobil. Mengerti?”
Seane mengangguk. Lantas dia berlari sambil melambaikan tangannya sebelum menghilang di balik kerumunan. Sekarang tinggal dirinya dan keinginannya untuk ke kamar mandi. Sebisa mungkin dia harus mencuci muka dan mendinginkan tubuhnya dari panas matahari. Bukan takut gosong, namun suhu benar-benar panas hari ini. Cuaca cerah.
Tidak ada seorang pun yang bisa ia tanya soal kamar mandi. Semua orang terlalu sibuk dengan gawai, poster, make up dan bahkan tiket mereka. Kebanyakan berasal dari luar daerah dan mungkin mereka benar-benar tidak tahu soal tempat ini. Corinne berjalan asal dengan mengandalkan feeling-nya. Selalu ada kata “kebetulan” kalau menyangkut tentang perasaan. Dan seperti itulah akhirnya, dia menemukan toilet. Hanya tempat ini yang ia temukan. Dia masuk meski tidak ada keterangan apakah itu toilet pria atau wanita. Mungkin saja ini untuk umum.
Dia masuk ke salah satu bilik, duduk di atas kloset dan mulai mengambil beberapa tissue untuk mengelap keringat di tubuhnya. Suara air terdengar dari luar, mungkin dari westafel. Gadis bernetra coklat tua iitu mengambil air mawar dari tasnya, lalu menyemprotkan ke wajah. Segar, batinnya.
Lalu, begitu ia keluar, tanpa sengaja pintunya menubruk tubuh seseorang. Tentu saja dia terkejut dan segera minta maaf. “Um, maafkan saya, Sir. Tadi benar-benar tidak sengaja!”
Pria itu mengusap wajahnya yang terkena pintu, lalu menatap sinis ke arahnya, “Kau mau apa? Jangan cari perhatian disini.”
Corinne mendelik, tidak sopan! “Apa maksudmu Sir? Apa setelah tertunduk pintu toilet, pikiranmu juga lecet?”
Tanpa menggubris wajah rupawan dan tubuh idaman itu, Corinne menatap pria itu tak kalah sengit. Dia melipat kedua tangan kekarnya yang bertato walet di depan dada bidangnya dan ikut menantang, “kau pasti salah satu kerumunan itu bukan? Mau tanda tanganku? Atau foto? Ah, atau jangan-jangan...”
“Jangan-jangan apa?”
“Kau stalker dan mau berbuat kriminal padaku?”
Corinne mendecih, “oh, jadi kau adalah idola baru yang super tampan dan di juluki King Of Pop itu?”
Shawn sedikit tersenyum sarkas, “kau tau banyak tentangku, Nona. Kau juga cukup beruntung bisa bertemu dengan musisi hebat seperti aku.”
“Kau tahu? Satu hal yang kau perlu tahu bahwa aku tidak pernah menonton konsermu atau membeli tiket di sini. Kalaupun iya itu pasti untuk melihat orang-orang mulai membencimu, Shawn Mendes,” omel Corinne yang tak tahan dengan orang menyebalkan itu.
Dia keluar dari kamar mandi, membanting pintunya cukup keras. Rahang Shawn mengeras. Tidak pernah ada yang mengatakan hal sekadar itu padanya, tidak untuk dirinya yang sekarang. Pria itu ikut keluar, mengejar gadis itu dan menarik tangannya kuat hingga bertubrukan dengannya. Corinne berontak, namun tangannya di hempaskan begitu saja, membuatnya ikut terdorong ke belakang dan menubruk dinding.
“Aww! Kau kasar sekali!”
Shawn mendesis, “aku bisa lakukan apapun, bahkan lebih dari ini. Dasar wanita sialan!”
Dia berlalu melewati Corinne begitu saja dan tentu seorang gadis tak akan biarkan harga dirinya di injak-injak orang lain, apalagi orang asing sepertinya. Dia berteriak, “Kau pikir kau siapa hah? Kau yang sialan bodoh!”
Corinne kembali ke tempat awal, sambil sesekali menutupi pergelangan tangannya yang sakit, dia masuk ke dalam mobil. Selain panas, hari ini juga sangat melelahkan. Dia tidak habis pikir mengapa wanita-wanita diluar sana begitu tergila-gila dengan seorang pria kasar dan sombong seperti Shawn Mendes.
❤🔫
Jumpa pers dilakukan. Banyak sekali fans yang berkerumun dan berteriak histeris ketika dirinya muncul dari belakang panggung. Senyumnya yang menawan, matanya yang tajam serta tingkahnya yang lembut, semua itu hanya akan di temukan di depan layar. Shawn duduk sambil menandatangani album atau poster yang dibawa para fan yang datang, serta berswa foto dengan mereka semua. Setengah jam berlalu dengan cepat hingga ia akhirnya harus kembali ke backstage dan bersiap untuk konsernya.
Teriakan orang-orang yang memanggil diri mereka sebagai Mendes army memekakkan telinga. Ada yang sampai menangis saat melihat idolanya muncul diatas panggung sambil membawa gitar dan menyanyikan lagu Lost In Japan. Suaranya merdu, penuh dengan perasaan dan senyum yang tak pernah lepas. Benar-benar Prince Charming.
Setelah menyanyikan dua lagu, ia kembali ke belakang panggung untuk istirahat. Sementara band lain dan musisi seperti Alessia Cara juga Camilla Cabelo mulai mengisi panggung. Banyak rumor mengatakan jika dia punya hubungan dengan Camilla dan itu dibuktikan lewat postingan-postingan juga duet mereka. Mendes army patah hati, tak terkecuali Seane. Dia salah satu yang tidak menyukai Camilla. Sepanjang konser berlangsung dan Camila tampil, dia mendecih, melirik sinis tanpa mau menikmati lantunan lagu yang sebenarnya enak didengar. Bahkan dia sendiri hafal.
“Merry!” teriak Shawn memanggil make up artistnya.
Seorang wanita buru – buru datang menghampirinya dan membawa beberapa peralatan make up, “Ada apa Shawn?”
“Tolong pijit tanganku. Pegal sekali rasanya,” titahnya yang membuat Merry agak kesal, namun tidak bisa membantah.
Shawn memang begitu, seenaknya sendiri. Bahkan dia minta dibuatkan kopi saat kameramen sedang istirahat sejenak. Dengan multitalenta yang ia miliki dan tentu relasi yang sangat luar biasa, dia memiliki kuasa di tempat ini atau dimana pun ia berada. Camila selesai tampil dengan gaya seksinya yang berkeringat. Penonton menjerit lagi.
Wanita itu duduk di ruang make up, meminta penata riasnya kembali membenarkan penampilannya. Sesekali ia melirik Shawn yang justru menutup mata sambil menikmati tangannya yang di pijat. Semua orang juga tahu, kalau Camila menyukai pria itu.
“Hey, Shawny! Giliranmu naik lagi,” katanya sambil meminum air mineral.
Shawn membuka matanya, “kalian sudah selesai? Ah merepotkan sekali.”
“Kau punya ribuan fans diluar sana. Bagaimana kau bisa menghadapi mereka huh?”
“Aku hanya tinggal tersenyum dan meminta maaf. Mereka langsung bertekuk lutut di hadapanku,” jawabnya angkuh, lalu membiarkan Merry pergi melanjutkan pekerjaannya.
Shawn mengambil gitarnya lagi, lantas kembali muncul di panggung. Sorot lampu menggiring langkahnya menuju ke tengah panggung. Dia memetik gitarnya bersama iringan musik lain. Dengan kemeja yang kancingnya sedikit terbuka, dia berhasil memikat semuanya.
Starring at my hotel window
To much on my mind...
Dia mulai menyanyi. Gemuruh suara itu semakin nyaring. Bahkan, saat kampanye Donald Trump pun tidak seramai ini. Saat demo buruh juga tidak sebanyak ini. Shawn benar-benar telah mengumpulkan pasukannya. Dia berjalan menuju para penonton, berjongkok dan memberikan mic, sesekali dia mendapat lemparan bunga mawar.
So baby please no promises
❤🔫
Corinne mulai bosan di mobil. Dia memutuskan keluar dan menghirup udara segar. Tetapi keadaanya diluar dugaan. Para kru dan tim pengaman sibuk berlari sana – sini. Ada beberapa orang yang memaksa untuk masuk tanpa tiket dan marah-marah di gerbang. Corinne berjalan mendekati salah seorang kru yang sibuk menelfon seseorang.
“Permisi, Sir!”
Orang itu menatap Corinne sebentar dan memutuskan sambungan teleponnya, “ada apa?”
“Apa yang sedang terjadi?”
“Badai akan datang. Entah bagaimana kami harus segera membubarkan acara dan membuat ribuan orang itu pulang ke rumah mereka. Sebaiknya kau juga pulang, Nona.”
Corinne mengernyit. Langit memang mulai mendung. Jadi, panas tadi hanya isyarat sebelum badai datang? Kalau begitu dia harus mengajak Seane pulang secepatnya. Dia takut sahabatnya terpental atau terinjak-injak kalau nanti kerumunan mulai panik dan keluar. Ia tak menghiraukan penjaga yang mulai berteriak padanya karena masuk tanpa izin.
Dia berjalan diantara kerumunan sambil berteriak, “Seane! Seane!”
Tentu saja hal itu membuat orang-orang disekitarnya terganggu dan marah padanya. Corinne tak menemukan Seane. Semua orang tampak sama sekarang. Dia terus menerobos kerumunan ribuan orang ini, berharap sahabatnya juga akan melihatnya. Waktunya tidak banyak. Sebelum berhasil menemukan sahabatnya walau dia sudah berada dibarisan paling depan, dia tak sengaja bertatapan dengan si pemilik konser. Ia yang tengah bernyanyi sambil tersenyum tiba-tiba sedikit menatapnya angkuh.
Lagu selesai, semua orang bersorak, tetapi Corinne tetap saja berteriak. Tiba-tiba, seorang pembawa acara membisikkan sesuatu pada Shawn dan membuatnya sedikit terkejut. Dia mengangguk dan mulai mengambil alih panggung.
“Dengar...dengar semuanya..”
Semua orang berhenti berteriak dan menatapnya sambil menyiapkan kamera, Shawn mulai bicara, “aku minta maaf namun sepertinya akan terjadi badai disini, jadi sebaiknya kita akhiri konser kali ini. Aku tau...aku tau kalian kecewa, tetapi ini demi kebaikan kita semua.”
Setelah itu pihak keamanan mulai membantu membubarkan ribuan orang itu. Seane melihat sahabatnya melambaikan tangannya. Ia melakukan hal yang sama, namun ketika dia akan beranjak menemui Corinne, dia harus bertubrukan dengan banyak orang dan malah ikut terseret keluar. Angin kencang mulai datang. Semua orang mendadak panik.
Corinne memilih menyusul Seane, namun sayangnya lampu – lampu diatas panggung berjatuhan dan mengagetkan semua orang. Dia berbalik. Shawn masih di atas sana, dia berusaha mengambil gitarnya yang terselip di rongga asap. Bodoh. Meskipun itu benda kesayangannya, tetap saja nyawa lebih penting. Beberapa orang mulai membantunya dan tiba-tiba...
Brukk!
Tiang penyangga salah satu dekorasi panggung jatuh dan mengenai kakinya. Corinne tersenyum, karma!
Angin semakin kencang dan beberapa orang memilih berpegangan di satu sisi bangunan. Melihat orang itu terus merintih kesakitan, Corinne ikut membantunya. Ia malah berlari menuju atas panggung dan membantu beberapa orang memindah tiang yang cukup besar itu. Tentu Shawn melihatnya berusaha keras mendorong benda itu dari kakinya.
“Kau tak akan bisa melakukan segalanya sendiri, Mendes,” desisnya sesaat setelah mereka berhasil menyingkirkan besi itu dari kaki Shawn.
Para bodyguard dan beberapa kru langsung membawanya, memapahnya keluar dari panggung. Sementara beberapa orang juga membawa Corinne ke tempat yang aman. Mereka berhasil keluar sebelum panggung benar-benar ambruk.
“Sialan! Kenapa konserku bisa gagal seperti ini?” kesalnya dengan keadaan kaki yang masih kesakitan.
Corinne yang juga berada di backstage sebelum pergi memberinya air hangat, “mungkin ini cara Tuhan membuatmu mengerti, bahwa kau bukan siapa-siapa.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Event; Kumcer
RandomEvent cerpen yang telah dilakukan oleh member Feedback Squad. 𝙋𝙚𝙢𝙗𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙩𝙪𝙡𝙖𝙣. 𝙄𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙙𝙞𝙘𝙖𝙧𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙢𝙖𝙠 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙠𝙪�...