Juara 1 Event April
~ Ufi Ulandari ~Hujan di luar sana, masih setia menerpah atap kaffe. Suara bising gemerincik air hujan seakan menjadi irama yang semakin menambah piluh di hatinya. Wanita itu mengeratkan mantel tebal sembari memeluk dirinya sendiri. Bukan, dia tidak sedang kedinginan. Melainkan, ia sedang menguatkan hatinya yang sudah remuk.
Tatapannya menatap sendu, seseorang di sana. Menatap sesosok pria yang tersenyum bagai malaikat. Sayangnya, sifat malaikatnya itu tidak berlaku bagi wanita itu. Ia akan menjelma menjadi iblis jika ia pulang ke rumah.
Bibir wanita itu bergetar, matanya tak lagi mampu mengeluarkan air mata. Sudah terlalu sering, ia disakiti. Seperti halnya sekarang, siapa wanita bodoh yang bisa-bisanya duduk sendirian di kaffe, menyaksikan suaminya sedang berkencan dengan wanita lain.
Si bodoh Kim Aleeya.
Tunggu ... pantaskah dia memakai marga itu, jika suaminya sendiri tidak mencintainya? Miris sekali rasanya. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu, ia duduk di sana. Memesan segelas kopi yang tidak ia sentuh sedikitpun. Membiarkannya dingin seperti hujan di luar sana.
"Eh."
Buru-buru, Aleeya tertunduk. Mengeratkan topi hitam yang bertengger di kepalanya, lantaran sepasang kekasih yang sedang ia amati, berdiri. Diremasnya kuat ujung mantel yang ia kenakan, melihat tangan yang seharusnya memeluk dirinya ... justru merangkul wanita lain.
"Wah, ternyata sesakit ini...." lirihnya, setelah kedua manusia itu sudah hilang dari hadapannya.
Aleeya menatap dinding kaca kaffe yang samar-samar memperlihatkan pantulan dirinya. Senyum terukir di wajahnya, lucu sekali malam ini.
Akhirnya, ia memilih berdiri. Melangkah perlahan untuk membeli satu cup kopi lagi, pasalnya kopinya sudah dingin. Untung saja malam itu tidak banyak pengunjung. Hanya ada satu pria yang mengantri di sana.
"Di mana, ya? Sepertinya aku memasukkannya ke sini."
Aleeya melirik sedikit penasaran. Mengalihkan atensinya pada pria yang sedari tadi belum menyingkir dari depan meja kasir. Pria itu nampak gelisah.
"Permisi, kalau boleh tau ... ada apa, ya?" sahut Aleeya pada akhirnya. Bukan karena ia suka mengurusi hidup orang lain, hanya saja jika pria itu tidak pergi, ia akan pulang terlambat.
"Pria ini belum membayar pesanannya, Nona. Katanya dompetnya hilang," ucap si pelayan yang lebih mirip sindiran. Membuat pria itu nampak kesal.
Sejenak, Aleeya terdiam. Ia menatap ke arah jam dinding yang menggangung di sisi kaffe sebelum akhirnya kembali berucap,"Yasudah berapa tagihannya?"
Si pelayan menyodorkan catatan pesanan yang dipesan oleh pria bertubuh besar itu.
"Ini."
Baru saja ia hendak menyodorkan beberapa lembar uang kertas pada si pelayan, tangan besar milik pria itu menahannya.
"Tidak usah," ucapnya.
Aleeya memutar bola matanya kesal. "Ayolah, Tuan. Jika kamu berada di sini terus, kamu akan menghalangi orang lain yang sedang mengantri."
"Tapi...."
Tanpa menghiraukan protes dari si pria, Aleeya melenggang pergi setelah meletakkan uang di atas catatan pesan milik pria itu. Langkahnya dipercepat, takut jika suaminya pulang lebih dahulu.
Sial sekali. Hujan di luar kaffe semakin deras, ia memang bodoh. Bisa-bisanya ia lupa membawa mobil dan payung.
"Ini, pakailah!"
Atensi Aleeya teralihkan dari jalan raya, menatap sesosok pria di sampingnya. Pria yang sama, yang beberapa saat yang lalu berdebat di meja kasir.
Ia menyodorkan sebuah payung padanya.
Aleeya sedikit mengerutkan alisnya. Wajah pria itu nampak begitu familiar baginya, tetapi ia tak ingat memiliki kenalan seperti pria itu.
"Hallo." Pria itu melambaikan tangannya di depan wajah Aleeya sembari kembali berucap, "Kau melamun? Ini, ambil saja payung ini. Anggap saja sebagai tanda terima kasihku."
"Benar, tidak apa-apa?"
Pria yang nampak lebih muda dari Aleeya itu tersenyum. Menampakkan gigi kelincinya yang nampak begitu menggemaskan. "Tidak apa-apa."
Meski awalnya ragu, akhirnya Aleeya menerima payung tersebut. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia kembali berucap, "Berikan alamatmu, agar aku bisa mengirim payung ini nantinya.
"Alamatku masih sama."
"Hah?" Aleeya menatap bingung pria di hadapannya. Namun, justru yang ditatap malah tersenyum mengejek.
--oOo--
Rintik di luar sana, telah berhenti. Meninggalkan bekas berupa genangan di beberapa sudut jalanan. Namun, meski begitu ... suhu dingin masih menyelimuti dua insan yang kini terduduk di dalam kaffe.
Tidak ada pembicaraan lagi di antara keduanya, padahal sudah sejak setengah jam yang lalu mereka duduk di sana. Mereka sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Tentu saja, bertemu 'kembali' dengan seseorang dari masa lalu setelah berpisah cukup lama adalah suaaana yang begitu canggung.
"Ekhem ... senang bisa bertemu denganmu lagi, Noona," sapa si pria bermantel coklat itu pada akhirnya, mengikis kecangguan di antara mereka.
Lain halnya dengan si pria yang nampak tersenyum, justru si wanita terlihat murung. Bibirnya beberapa kali bergerak hendak bicara. Namun, diurungkan kembali.
"Sudah lama sekali, ya," ucap si pria kembali. Tak menyerah untuk merobohkan benteng besar di antara mereka. “Bahkan kamu sudah tidak mengenaliku.”
"Justru aku yang tidak senang bertemu denganmu, Jungkook." Pria yang dipanggil Jungkook itu terlihat bingung. Menatap Aleeya yang akhirnya mendongakkan kepalanya sembari kembali berucap,"Kenapa harus sekarang? Disaat aku dalam keadaan seperti ini."
Jungkook menatap sedih wanita yang pernah ia cintai dahulu, sekaligus wanita yang meninggalkan luka teramat di hatinya. Namun, meski begitu tidak lucu jika saat ini ia tertawa melihat kehidupan malang Aleeya.
Setelah mendengar cerita dari Aleeya beberapa saat yang lalu mengenai suaminya, ingin sekali ia memeluk wanita itu. Tetapi sayangnya ia pun sudah berstatus suami orang lain.
"Noona...."
"Aku malu, Kook. Malu karena kamu datang disaat karma menyiksaku," potong Aleeya tanpa membiarkan lawan bicaranya melanjutkan ucapannya. "Maaf, maafkan aku yang dulu."
Pria bersurai hitam itu tersenyum. "Terlalu naif jika saat ini aku mengatakan kalau yang kau alami sekarang ini, bukan karma karena kenyataannya memang seperti itu. But, its okey aku sudah memaafkanmu."
Aleeya semakin menundukkan kepalanya. Jujur saja, perkataan Jungkook cukup mengiris hatinya.
"Tenang saja, Noona. Taehyung akan merasakan apa yang kamu rasakan sekarang. Aku hanya berdoa, semoga kamu bisa bertahan sampai karma itu datang," tutur Jungkook sembari mengelus pundak Aleeya yang kini terisak. "Karena kalau kamu menyerah sekarang, kamu akan merasakan apa yang aku rasakan."
"Maaf, Jung."
"Tak apa. Pulanglah dan temani Taehyung hingga ia sadar."
Kalimat itu menjadi akhir pembicaraan mereka. Menjadi akhir kisah penyesalan sosok Aleeya, di mana dahulu ia meninggalkan sebiji emas demi sebongkah emas yang pada akhirnya menenggalamkannya. Karena pada dasarnya, perbuatan buruk akan mendapat balasannya pada akhir kisah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Event; Kumcer
RandomEvent cerpen yang telah dilakukan oleh member Feedback Squad. 𝙋𝙚𝙢𝙗𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙩𝙪𝙡𝙖𝙣. 𝙄𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙙𝙞𝙘𝙖𝙧𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙢𝙖𝙠 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙠𝙪�...