🌻 Karya : Sita Quinsha Rose 🌻
Awan mendung menggelayuti langit, tak mampu ditembus oleh sinar matahari. Asap yang membumbung semakin memperburuk pandangan. Kelam. Pekat. Suara dentingan pedang yang beradu dan ringkikan kuda bergema di udara. Samar-samar tercium bau anyir darah, di antara kepulan bau sangit akibat api yang berkobar. Di tengah medan pertempuran yang sedang berlangsung tampak sesosok pria berbadan tegap mengayunkan pedang membantai musuh-musuhnya. Gerakannya lihai meskipun sedang mengenakan baju zirah dan helm besi yang tentu tidak ringan bobotnya. Dengan gesit ia merunduk dan mengangkat perisai di tangan kirinya untuk menghindari serangan. Pertarungan itu berlangsung sengit. Lawan yang dihadapinya bukan prajurit biasa melainkan komandan pasukan musuh. Beberapa kali ia tampak kewalahan menangkis serangan lawannya. Namun tetap saja, pria itu lebih unggul.
Ia mendorong lawannya dengan perisai hingga terjerembab ke tanah. Tanpa ragu ia mengangkat tinggi pedangnya, lalu menghujamkan ke dada kiri tubuh yang sudah tak berdaya di bawah kakinya. Craaakk! Suara cipratan darah terdengar bersamaan dengan sosok lawannya yang meregang nyawa. Pria itu mengelap darah di pipinya dengan punggung tangan. Seulas senyum menghiasi raut wajahnya yang dingin. Ia membuka helm, membiarkan rambut pirangnya berkibar tertiup angin. Sedetik kemudian ia menghunuskan pedangnya dan mengacungkan ke langit.
"UNTUK IRELAND!!" Teriaknya lantang.
Sekali lagi pasukan mereka meraih kemenangan.
####
Seorang gadis muda tampak sedang mengumpulkan ranting-ranting kayu di tepi perbatasan desa Sligo. Tak jauh darinya, seorang bocah laki-laki berumur sembilan tahun sedang asyik bermain di bibir sungai bersama seekor anjing hitam peliharaannya. Rosemond---nama gadis itu---berulang kali memperingatkan Jason, adik sepupunya, agar tak bermain di sana namun peringatannya itu diabaikan. Hingga tiba-tiba Jason berteriak-teriak memanggil namanya. Dengan perasaan kesal, Rosemond segera datang menghampirinya.
"Ada apa Jas?" Tanya Rosemond tak sabar. Ia berdiri sambil berkacak pinggang, dengan sebelah tangan membawa setumpuk kayu bakar.
"Nodd masuk ke hutan!" pekik Jason. Nodd adalah nama anjing yang tadi bermain bersamanya. Pandangan mata Rosemond turut mengarah ke tempat yang ditunjuk oleh jemari kecil Jason. Hutan itu terletak di seberang sungai. Tampak pepohonan rimbun tumbuh di sana. Batang-batang pohonnya kokoh dan besar, dengan dedaunan rapat yang menutupi sinar matahari. Hutan itu terlihat suram bahkan di waktu siang benderang seperti ini. Tanpa sadar Rosemond bergidik ngeri, membayangkan makhluk seperti apa yang hidup di sana.
"Kita harus menolong Nodd, Rose!" Suara rengekan Jason menyadarkan Rosemond dari alam pikirnya. Sebenarnya Rosemond enggan, tetapi mau tidak mau ia harus melakukannya---mengingat Nodd adalah anjing peliharaan sekaligus anjing penjaga satu-satunya di keluarga mereka. Rosemond menghela napas. Ia menurunkan kayu bakar di tangannya, kemudian melipat lengan bajunya sampai ke atas siku. Ia juga melepas kedua sepatunya dan menjinjingnya agar tak basah saat menyebrangi sungai. Tak lupa ia mengingatkan pada Jason agar menunggu di sana, alih-alih mengikutinya masuk hutan.
Cplas! Suara benturan antara telapak kaki Rosemond dan permukaan air sungai terdengar nyaring di telinga. Sungai itu sebenarnya tidak terlalu dalam---juga tidak lebar. Mungkin lebih tepat jika disebut parit. Namun demikian sungai itulah yang menjadi pemisah antara desa kecilnya dengan hutan Nothewald---hutan rimba yang membatasi wilayah kerajaan Ireland dan Northland. Setelah berjalan sekitar lima meter, Rosemond sudah berada di seberang sungai. Telapak kakinya yang basah menginjak rerumputan, menimbulkan sensasi dingin yang menjalar sampai lututnya.
Lembap. Itulah kesan pertama saat menghirup udara dalam hutan itu. Semak belukar dan lumut tumbuh subur hampir menutupi seluruh permukaan tanahnya. Dedaunan yang terjalin rapat di atas kepala membuat cahaya matahari hanya bisa samar-samar memasuki celahnya. Tempat itu sudah gelap, padahal di luar masih terang benderang. Rosemond semakin masuk ke dalam hutan. Ia menyibakkan dedaunan yang menghalangi jalan dengan dua tangannya, sembari menajamkan indera penglihatan dan pendengaran. Tak lama kemudian terdengar suara salakan anjing, tak jauh dari tempatnya. Rosemond pun bergegas mempercepat langkahnya menuju sumber suara.
Ternyata benar suara gonggongan itu adalah milik Nodd. Rosemond segera mengangkat tubuhnya, namun anjing itu tak berhenti menyalak dan terus menatap rerimbunan semak di hadapannya. Penasaran, Rosemond pun menyibakkan dedaunan rimbun itu dengan sebelah tangannya yang bebas. Matanya menangkap seekor kelinci besar berbulu cokelat yang terjebak dalam perangkap pemburu. Rosemond ber-'Ooh' dalam hati. Ia menurunkan Nodd dan berjongkok untuk melepaskan kaki kelinci itu. Tak butuh waktu lama, kelinci itu sudah bebas dan melompat kembali masuk ke hutan. Rosemond tersenyum puas. Ia lalu berdiri dan berbalik hendak meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba sebuah anak panah melesat cepat nyaris mengenai kepalanya.
Jlebb!
Belum sempat Rosemond mencerna apa yang terjadi, sebuah tangan besar sudah mendekap hidung dan mulutnya. Tubuhnya didorong dengan kasar sampai menabrak pohon di belakangnya. Rosemond tak keburu merasakan sakit di punggungnya karena kini sosok besar itu sudah menghimpit badannya. Matanya membelalak lebar. Sebatang anak panah menancap tepat di sebelah kepalanya. Ia meronta sekuat mungkin, namun tenaga dari tubuh kurusnya itu tentu tak bisa menandingi kekuatan orang di depannya. Rosemond tak bisa melihat wajah orang itu dengan jelas. Sebuah kain hitam menutup wajahnya mulai dari puncak hidung sampai ke bawah dagu. Hanya sorot mata tajam dari iris mata sebiru lautan yang bisa Rosemond identifikasi. Namun jangankan mengenali, bertatapan saja dengannya sudah membuat napas Rosemond terasa sesak.
"Kau melepaskan makan siangku!" Suara itu terdengar berat dan kasar. Rosemond merasakan pria itu semakin mendesak tubuhnya. Bungkaman tangannya pun semakin erat, membuat Rosemond harus memejamkan mata untuk menahan sakit. Hatinya mencelos. Oh Tuhan! Apa benar aku akan mati hari ini?
"Roooosee! Rosemond!" Sayup-sayup terdengar Jason memanggilnya. Pria itu nampaknya juga mendengar suara Jason. Ia sedikit mengendorkan tangan dan menolehkan kepalanya ke belakang---membuat Rosemond sadar bahwa ia memiliki rambut pirang yang bersinar seperti emas.
"Rosemond!!" Suara Jason terdengar semakin dekat. Wajah pria di depannya mengeras---terlihat dari gurat di dahinya yang cukup dalam. Alis tebalnya berkerut. Ia kembali merapatkan tangan dan mendesak tubuh Rosemond. Tampaknya ia tidak suka kedatangan pengganggu.
"Jason! Please! Kumohon jangan kemari!" Jerit Rosemond dalam hati. Butiran bening keluar dari sudut matanya yang terpejam. Rosemond benar-benar ketakutan setengah mati.
Tiba-tiba pria itu melepaskannya begitu saja. Tubuh Rosemond langsung lunglai ke tanah. Tak lama kemudian Jason muncul dari balik semak-semak bersama Nodd yang sedang menggonggong. Ia tampak bingung melihat Rosemond yang terduduk di tanah sambil menggigil ketakutan.
"Apa yang terjadi?" Tanyanya polos. Rosemond tak menjawab. Ia langsung melompat dan mendekap erat Jason. Matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan waspada.
Pria itu sudah lenyap.
####
Mary Byrne menatap putrinya cemas. Rosemond yang memang berkulit pucat terlihat semakin pucat sejak pulang dari mencari kayu bakar kemarin. Wajahnya tampak lelah, dengan rona gelap di area kantung mata seperti orang yang berjaga sepanjang malam. Padahal Mary ingat betul semalam Rosemond langsung pergi ke kamarnya seusai menyantap makan malam yang hampir tak disentuhnya.
Memang benar Rosemond tak bisa tidur semalaman. Peristiwa yang dialaminya kemarin terus menghantuinya. Anak panah, tangan besar yang mendekapnya, suara berat dan kasar, serta mata biru laut yang menyorotnya dengan tajam, seakan siap melahapnya jika dirinya terlelap semenit saja. Tubuh Rosemond bergidik, rasa takut itu kembali menjalar ke seluruh tubuhnya.
Di sisi lain Jason Egan, keponakannya, sedang merajuk tak mau makan. Bocah kecil itu mengeluh rindu pada kakaknya, Kian Ean. Kerajaan Ireland yang sedang gencar melakukan perluasan wilayah mewajibkan setiap penduduk mengirimkan satu pria dari keluarganya untuk dilatih menjadi prajurit. Mary yang sudah kehilangan suaminya akibat sakit keras sejak lima tahun silam mengirimkan Nicky---anak sulungnya---untuk memenuhi panggilan berperang. Begitupula dengan Kian yang mewakili keluarga Egan. Selain mereka berdua, banyak pemuda lain dari desanya yang juga ikut berperang. Namun sudah hampir tiga bulan tidak ada satupun kabar dari mereka.
Suara ketukan pintu memecah suasana sendu pagi itu. Rosemond beranjak dari kursi dan meraih gagang besi pada pintu dengan tarikan tangannya. Manik matanya langsung menangkap sesosok pria berambut pirang---lengkap dengan baju zirahnya---sudah berdiri di ambang pintu. Sebuah senyuman terukir di wajah tampannya.
"Nicky!" Rosemond menghambur ke pelukannya. Mendengar nama itu disebut, Mary dan Jason pun segera menoleh ke arah pintu.
"Kian!"
Ada sosok pria lain yang muncul di belakang Nicky. Pria itu membentangkan tangannya lebar, siap menyambut tubuh kecil Jason yang berlari ke arahnya. Jason memeluk erat leher pria yang tak lain adalah kakaknya itu sambil menangis sesenggukan. Mary yang sudah bergabung di sana mengusap wajah kedua putranya dengan mata berlinang. Ya, Mary sudah menganggap Kian dan Jason sebagai putranya sendiri. Nicky melepas tangannya dari punggung Rosemond dan ganti memeluk Mary. Setelah puas melepas rindu dengan anaknya, Mary beralih pada Kian yang masih menggendong Jason. "Apa semua kembali dengan selamat?" tanyanya kemudian.
"Ya---maksudku, sebagian besar," Kian buru-buru meralat jawabannya. "Seperti yang Bibi tau, kami berada di bawah komando pemimpin pasukan terhebat di Kerajaan Ireland," lanjutnya. Mary menarik napas lega.
"Bagaimana dengan Shane? Ia juga kembali bersama kalian, kan?" Tanya Rosemond. Sorot matanya penuh harap. Situasi yang tadinya ceria mendadak hening. Kian dan Nicky saling melempar pandangan, tak mau menjawab. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, bahu Rosemond merosot. "Shane..." Bibirnya menggumamkan nama itu lirih. Bola matanya terasa panas, siap menumpahkan air mata.
"Apa ada yang menyebut nama, 'Shane'?" Sebuah suara terdengar dari balik punggung Kian. Rosemond mengangkat wajahnya dan melihat pria yang hampir saja ia tangisi berdiri dengan senyum lebar di sana. Rosemond langsung melompat memeluknya. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah. Namun bukan tangis kesedihan tentunya. Ia sangat bahagia bisa melihat Shane lagi.
Setelah berbincang sebentar, mereka pun pergi ke halaman di belakang rumah Byrne yang cukup luas. Shane dan Rosemond memutuskan untuk duduk sambil berselonjor kaki di bawah sebuah pohon rindang. Mereka saling berbincang, melepaskan perasaan rindu yang meluap. Memang sudah lama Rosemond menaruh hati pada Shane. Mereka saling mengenal sejak kecil. Shane lebih tua tiga tahun daripada Rosemond. Ia merupakan anak dari keluarga Filan yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Dari cerita Shane juga Rosemond mengetahui bahwa mereka akan pergi lagi sore itu untuk melanjutkan perjalanan ke ibukota, karena lusa akan dilaksanakan pelantikan resmi sebagai prajurit kerajaan. Rosemond merasa sedih karena harus berpisah lagi dengan Shane. Namun perasaannya mendadak berubah ketika pria itu menyematkan sebuah cincin perak di jari manisnya.
"Saat melihatnya aku langsung teringat padamu," tutur Shane. Cincin itu memiliki batu permata kecil berwarna hijau pucat, serupa iris Rosemond. Gadis itu masih tak bisa berkata apa-apa. Kedua matanya terus memandang lekat wajah lelaki yang dicintainya itu. Shane membuka mulutnya lagi untuk berbicara, "Setelah aku menjadi prajurit kerajaan dan kau sudah merayakan ulang tahunmu yang ke-tujuh belas, maukah kau menikah denganku, Rosemond?"
Kalimat itu meluncur begitu lancar dari mulut Shane. Tak ada keraguan sama sekali dari raut wajahnya. Lidah Rosemond mendadak lumpuh, tak mampu mengucap kata-kata. Namun cukuplah anggukan kepala dan tangis kebahagiaan yang keluar dari kedua matanya menjadi jawaban atas pertanyaan Shane.
Saat sore menjelang, Rosemond dan keluarganya turut mengiringi kepergian para prajurit dari desa. Sebenarnya Rosemond ingin sekali pergi ke ibukota, namun hal itu tak mungkin baginya. Saat perjalanan kembali ke rumah, ia bertemu dengan Eliana Lorenz, sahabatnya sekaligus anak dari saudagar terkaya di desa itu. Mendengar keluh kesah Rosemond, Eliana mendapat ide untuk mewujudkan keinginannya. Malam itu juga, Eliana meminta Rosemond untuk menginap di rumahnya.
Keesokan harinya, Rosemond sudah bersiap pergi ke ibukota. Eliana membantunya berhias layaknya gadis bangsawan. Ia juga menyiapkan kereta kuda untuk Rosemond. Saat fajar belum menyongsong, ia sudah beranjak dari kediaman Lorenz. Butuh waktu lima jam perjalanan untuk mencapai ke ibukota. Sesampainya di sana, Rosemond bergegas menuju halaman istana. Tak semua orang diperkenankan memasuki istana. Namun dengan keberanian dan kenekatannya, Rosemond berhasil menyusup ke istana dengan cara berpura-pura menjadi dayang seorang nona bangsawan yang baru saja tiba.
Rosemond datang tepat waktu. Tak lama kemudian, prosesi pengambilan sumpah dimulai. Satu persatu Ksatria dipanggil sesuai abjad. Hingga sampailah saat nama ‘Shane Filan’ dipanggil. Seorang laki-laki berambut cepak gelap memisahkan diri dari barisan. Langkahnya tampak tegap dan gagah, penuh percaya diri. Ia lalu membungkuk hormat dan sebilah pedang ditempelkan di atas kepalanya.
"I give my oath to The King and His Family. I will sacrifice myself for the glory of The Ireland Kingdom." Suara tegas Shane menggema di ruangan. Mata Rosemond berkaca-kaca. Hari ini merupakan salah satu hari terindah dalam hidupnya.
Di sisi lain ruang pesta, seorang pria berambut pirang menatap dengan malas beberapa pasang orang yang berdansa di depannya, padahal pesta ini dibuat untuk menyambut kemenangan pasukan sekaligus mencari calon pendamping untuk dirinya. Pria itu tak lain adalah Duke Bryan der McFadden, Ksatria terhebat yang ada di Ireland.
Sebenarnya Bryan tak sekalipun tertarik dengan para gadis di sana. Ia tak menyukai gadis-gadis bangsawan yang menurutnya manja dan penuh kepalsuan. Pasti merepotkan, pikirnya. Namun mau tak mau ia harus menetapkan pilihan karena ini perintah langsung dari Putra Mahkota. Mata elangnya menatap dengan seksama satu persatu gadis di ruang pesta itu. Tak menarik, tak menarik, ia terus melewati sosok-sosok menawan yang puluhan jumlahnya. Hingga matanya sampai pada seorang gadis yang tengah berdiri sendirian di dekat meja hidangan. Gadis itu menyantap dengan lahap sepiring kue di tangannya, tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Badannya kurus terbalut gaun berwarna biru muda. Rambut pirang pucatnya terjulur menutupi bagian punggungnya yang terbuka.
Mata dan otak Bryan tak mungkin salah. Meski penampilannya berubah 180 derajat, ia adalah gadis yang sama yang ia temui di hutan beberapa waktu lalu. Bagaimana gadis itu bisa ada di sini? Bryan yakin seratus persen gadis itu bukanlah dari kalangan bangsawan. Bryan tersenyum miring. Kemungkinan bahwa gadis itu menyusup menggelitik hati kecilnya. Ia masih ingat betul bagaimana gadis itu mencicit saat ia menyergapnya. Jika ia segitunya takut mati, lantas mengapa sekarang ia mengantarkan sendiri lehernya kemari untuk dipenggal?
Menarik, pikir Bryan. Apakah ia jatuh cinta pada pandangan pertama? Tentu tidak, karena ia sudah menambatkan cintanya pada medan perang. Sebuah ide tiba-tiba terlintas di pikirannya. Ia menikmati saat gadis itu menciut di depannya dengan tangis tertahan, bagaimana kulitnya memucat seakan aliran darah tidak lagi berjalan melalui arteri dan venanya, dan ekspresi wajahnya yang putus asa... Ya, semua itu mengingatkan Bryan pada kondisi musuh-musuhnya yang sudah diambang kekalahan. Kejam? Tentu saja. Jika tidak, ia tidak mungkin menjadi Ksatria terhebat di Ireland.
"Sepertinya kau sudah menemukan gadismu," selidik Pangeran Mark saat melihat senyum di wajah Bryan, "bagaimana kalau kau hampiri dia?" Bryan menggeleng. "Tidak Yang Mulia, biar saya tunjuk langsung saja di hadapan semua orang. Saya sudah mengetahui nama gadis itu." Bryan masih cukup ingat suara bocah laki-laki yang memanggil gadis itu saat di hutan, meski ia tak mengetahui nama marganya. Pangeran Mark tak membantah. Ia pun menginstruksikan agar pesta dihentikan sementara. Sontak semua tamu pun merapat kembali ke tengah ruangan, tak terkecuali Rosemond. Ia yang tak tau apa-apa, hanya mengikuti orang-orang di sekitarnya saja.
"Seperti yang kalian ketahui, agenda hari ini tidak hanya pengambilan sumpah ksatria saja, namun juga pemilihan calon istri Duke McFadden," Pangeran Mark berbicara dengan suaranya yang tegas dan berwibawa. "Duke McFadden sendiri yang akan mengumumkan, siapa gadis beruntung yang akan menjadi calon Duchess nantinya." Tanpa banyak bicara Bryan langsung mengacungkan telunjuknya, tepat pada gadis yang sedari tadi diamatinya. Namun si gadis masih menundukkan kepala, tak sadar bahwa orang-orang mulai melihat ke arahnya.
"Nona Rosemond."
Gadis itu tersentak. Ia langsung mengangkat wajah, membuat mata hijau pucatnya beradu dengan mata elang milik pria yang menyebut namanya barusan. Tubuhnya membeku, bahkan detak jantungnya pun serasa ikut berhenti.
Shane terpaku di tempatnya berdiri. Tak hanya dia, Nicky dan Kian pun tampak sama terkejutnya. Ia tak mungkin salah mengenali gadis itu, gadis yang ditunjuk dan disebutkan oleh komandan pasukannya barusan. Ia sudah begitu mengenalnya seumur hidup. Gadis bermata hijau pucat, dengan kulit dan rambut yang juga pucat. Namun kehadiran gadis itu tetap bisa membawa rona di kehidupan Shane.
Pada tempat dan hati yang berbeda, mereka sama-sama berharap apa yang didengarnya barusan adalah sebuah kesalahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Event; Kumcer
RandomEvent cerpen yang telah dilakukan oleh member Feedback Squad. 𝙋𝙚𝙢𝙗𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙩𝙪𝙡𝙖𝙣. 𝙄𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙙𝙞𝙘𝙖𝙧𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙢𝙖𝙠 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙠𝙪�...