🌻 Karya : Nurul Fazhillah 🌻
Jalanan yang berlumpur akibat hujan dilewati kereta kuda dari Kerajaan Patiloka dengan mudahnya. Pepohonan mendapatkan air yang berlimpah akibat hujan yang terus turun dari pagi hari hingga sekarang. Bagi masyarakat sekitar, hujan dianggap sebagai rahmat. Namun, tidak untuk pangeran Geren yang sedang memandangi hujan dari balik tirai kereta kuda dengan wajah datarnya. Bukannya tidak menyukai hujan. Hanya saja, ia tidak suka dengan suara yang ditimbulkannya. Entah kelainan apa yang dideritanya.
“Kapan kita akan tiba di Kerajaan Kanesia? Kau tahu kan, aku tidak suka dengan suara hujan? Melajulah lebih cepat sebelum aku mematahkan lehermu,” perintah Geren.
“Baik, tuan.” Kusir yang berada di depan menjawab dengan takut.
Perjalanan membutuhkan waktu selama 7 jam hingga akhirnya tiba di Kerajaan Kanesia. Di sepanjang perjalanan, Geren terus saja berdecak. Decakan yang dibuatnya bahkan terdengar sampai ke telinga kusir yang berada di depan.
Sambutan terus terlihat dari ujung gerbang desa hingga gerbang kerajaan. Pangeran Geren hanya menampilkan raut wajah yang sama sejak tadi, datar. Di dalam kerajaan ia terus dihujani berbagai macam sambutan.
“Saya Pangeran dari Kerajaan Patiloka datang menghadap yang mulia,” ujar Geren sambil menunduk memberi hormat kepada Raja Kalas.
***
Geren menatap perempuan di depannya dengan raut wajah yang lagi-lagi datar. Siapa lagi jika bukan Putri Krissa, anak dari Raja Kalas dan Ratu Kanya. Nama mereka semua berawalan dengan huruf ‘K.’ Tidak heran jika nama kerajaannya juga.
“Ayah bilang, kau akan melamarku. Benar begitu?” tanya Krissa.
“Ya.”
“Aku menolak.”
“Sebenarnya aku awalnya juga menolak, tapi orang tuaku terus mendesakku. Jadi, akhirnya aku menerimanya.”
“Aku bukan barang.”
“Aku juga bukan barang.”
Keduanya saling beradu tatap dengan tajam. Kemudian tersenyum ketika para prajurit lewat. Sepertinya mereka memiliki kemampuan akting yang bagus. Dilihat dari ekspresi para prajurit yang tidak curiga.
“Apa kau ingin bekerja sama untuk menggagalkan pernikahan ini?” tawar Krissa.
“Tentu saja,” jawab Geren cepat.
“Bagus, mari gagalkan pernikahan ini!”
***
Bulan purnama menghiasi malam. Terlihat 2 orang yang sedang bersembunyi di balik pepohonan yang tumbuh cukup besar di area taman kerajaan. Kedua orang itu adalah Geren dan Krissa. Rencana mereka adalah kabur dari istana. Geren akan pergi ke Utara. Sedangkan Krissa akan pergi ke Selatan. Dengan menyewa 2 orang Kusir dari luar istana, keduanya berharap tidak akan ditemukan selama beberapa bulan.
Risikonya pasti besar, tapi itu tidak menyurutkan tekad keduanya untuk segera membatalkan perjodohan yang sebentar lagi akan diadakan. Tinggal menunggu beberapa hari lagi. Namun, mereka akan terus berusaha untuk membatalkannya. Satu-satunya jalan adalah dengan melarikan diri.
Geren sempat mengusulkan untuk membicarakan hal ini dengan kedua orang tua mereka. Berharap dengan memberitahu bahwa mereka tidak saling suka dapat menggagalkan perjodohan ini, tapi Krissa menolak usulan itu. Ia beranggapan jika hal itu tidak akan berhasil.
***
Akhirnya, mereka berhasil keluar dari area istana. Cukup banyak waktu yang mereka habiskan. Rintangan terus berdatangan tanpa henti, tapi mereka dapat melewatinya.
“Aku pergi ke arah sana,” ujar Krissa.
“Kalau begitu, aku akan pergi ke arah sebaliknya.” Krissa mengangguk.
Keduanya berpisah. Masing-masing pergi ke tempat yang telah dijanjikan. Saat Krissa tiba di sana, kereta kudanya tidak ada. Merasa ada yang tidak beres, ia pun memutuskan untuk pergi ke tempat Geren. Baru saja ingin melangkah, dapat ia rasakan seseorang mencekal tangannya.
Seorang pria dengan wajah yang luka di sekitar matanya menggenggam tangannya dengan kuat. Ia mencoba menepisnya, tapi tidak bisa. Usahanya sia-sia karena tenaga pria itu lebih kuat darinya. Ia berteriak meminta tolong berkali-kali untuk meminta pertolongan, tapi sepertinya tidak ada yang mendengarnya.
Tubuhnya ditarik secara paksa. Tak tinggal diam, ia pun terus memberontak. Kesal dengan tingkah Krissa, pria itu melayangkan tangannya dan memukul kepala Krissa hingga tak sadarkan diri. Dari balik pohon, Geren melihat Krissa yang terus ditarik. Melihat jumlah mereka yang lebih dari 20 orang dan juga berbadan besar membuatnya tidak bisa menyelamatkan Krissa tanpa rencana yang matang.
Mula-mula, ia akan kembali ke kerajaan. Itulah rencana awalnya. Namun, begitu mendengar Krissa akan langsung dihabisi ketika tiba di tujuan, ia langsung mengubah rencananya. Ia akan menyelamatkan Krissa diam-diam.
Tiba di tempatnya, Geren melihat situasi terlebih dahulu sebelum menyelamatkannya. Ketika sudah dirasa aman, ia mencoba masuk ke ruangan tempat di mana Krissa di sekap. Tali yang mengikat tubuh Krissa secara perlahan. Dengan perlahan, Geren menggendong krissa yang tidak sadarkan diri. Ia membawanya keluar dari tempat itu dengan hati-hati.
Mereka memasuki hutan yang gelap gulita. Akibat tidak adanya penerangan, ia pun tergelincir. Krissa yang berada di gendongannya tadi juga tadi juga ikut terjatuh. Kepalanya membentur batang pohon. Hal itu membuatnya meringis sekilas.
“Ternyata kau sudah bangun ya?” tanya Geren dengan raut wajah datarnya.
“Ah, maaf. Sebenarnya aku sudah bangun sejak tadi.”
“Lantas, mengapa kau tidak membuka matamu?”
“Entahlah.”
Suara derapan langkah kaki beserta beberapa suara pria semakin mendekat. Dapat dipastikan mereka adalah orang yang menculik Krissa tadi. Geren menarik tangan Krissa agar segera berlari.
Rintikan hujan mulai turun dengan perlahan. Air yang menetes dari atas langit semakin banyak seiring dengan berjalannya waktu. Tak sadar dengan bahaya yang berada di depan, Geren terus melihat ke belakang. Mencari tanda-tanda apakah mereka masih mengejar keduanya atau tidak.
Krissa berhenti berlari dan berusaha menarik tangan Geren agar berhenti juga. Geren memang berhenti, tapi sudah terlambat. Kakinya tergelincir dan membuat keduanya terjatuh ke dalam jurang.
Geren memeluk tubuh Krissa saat keduanya terjatuh. Namun, mereka terpisah ketika sudah masuk ke dalam sungai akibat arus airnya sangat deras. Tangan kanan Geren memegang batu agar tubuhnya tidak terus terbawa arus. Sedangkan tangan kanannya ia ulurkan ke arah Krissa.
Perempuan itu mencoba meraihnya dan berhasil. Geren mencoba berenang ke tepian. Mereka membaringkan tubuh di atas tanah ketika tiba di permukaan. Angin yang datang semakin membuat mereka kedinginan. Sudah bajunya basah, kini malah diterpa angin malam.
***
Untungnya mereka menemukan gua. Bisa dijadikan tempa sementara untuk bermalam. Dingin sampai menembus kulit. Begitulah yang dirasakan Krissa saat ini. Walaupun gelap, tapi samar-samar laki-laki itu masih dapat melihatnya. Merasa kasihan dengan perempuan di sampingnya, Geren pun mencoba mencari kayu untuk dijadikan api unggun setelahnya.
“Kau mau ke mana?” tanya Krissa saat melihat Geren yang beranjak dari tempat.
“Aku akan mencari kayu bakar. Kau tunggu di sini.”
“Tunggu!” cegah Krissa seraya mencekal tangan Geren.
“Ada apa?”
“Jangan tinggalkan aku,” lirih Krissa dengan nada pelan.
“Hanya sebentar.”
“Aku takut sendirian.”
Geren menatap Krissa lekat. “Baiklah.”
Suara hujan mengusik ketenangan Geren. Sadar akan sesuatu, Krissa pun bertanya.
“Kau kenapa?”
“Tidak apa-apa.”
“Katakan saja padaku. Jangan berbohong seperti itu.”
“...”
“Ayolah!”
“Sebenarnya, aku tidak menyukai suara hujan.”
“Mengapa?” tanya Krissa penasaran.
“Entahlah.”
Krissa tersenyum simpul. Hal itu membuat Geren membeku di tempat. Senyuman perempuan gadis itu memikat hatinya. Suara hujan tidak lagi mengusiknya dan itu terjadi karena senyuman yang diberikan untuknya.
“Kau sangat cantik.” Ucapan Geren membuat Krissa tersipu.
“Jangan berbohong dI saat seperti ini.”
“Tidak, aku tidak berbohong. Kau benar-benar cantik dan manis. Sepertinya aku tidak akan jadi membatalkan pernikahannya.” Entah mengapa ucapan Geren yang tulus membuat Krissa tertegun. Ia menahan senyumannya yang akan terbit dengan susah payah. Entah mengapa hatinya jadi berbunga-bunga. Perlakuan Geren padanya sejak tadi juga membuatnya senang. Geren menyelamatkannya berkali-kali dan itu membuatnya senang setengah mati. Jika tidak ada Geren, mungkin dirinya tidak akan berada di sini. Perasaan ini bukanlah karena hutang budi. Melainkan karena hal lain. Mungkin ia mulai menyukai laki-laki di sampingnya ini.
Suara derapan kaki terdengar dari arah luar. Teriakan juga terdengar sampai ke telinga keduanya. Para prajurit masuk dan tersenyum. Begitu pula dengan Geren dan Krissa yang juga tersenyum. Mereka selamat.
***
Tiba kembali di istana, keduanya disambut oleh berbagai pertanyaan dan bentakan sang raja. Menunduk, itulah yang mereka lakukan. Harusnya mereka meminta maaf, tapi tak mereka lakukan. Karena mereka terus saja terdiam. Raja pun menjadi semakin murka.
“Apa kalian berdua tidak mendengarkanku?!”
“Kami mendengarkan yang mulia” ujar mereka bersamaan.
“Lantas, apa yang membuat kalian melarikan diri?” tanya raja.
Krissa ingin menjawabnya. Namun, Geren mencegahnya dengan cara menggenggam tangan Krissa dengan erat.
“Mula-mula, saya ingin meminta maaf dengan sikap saya dan Putri Krissa. Awalnya kami ingin menggagalkan pernikahan ini dengan cara melarikan diri. Namun, itu awalnya. Seiring dengan berjalannya waktu, saya merasa mulai menyukai Putri Krissa dan ingin memilikinya. Jika Putri Krissa berkenan, saya ingin melamarnya lagi. Apa kau bersedia?” Usai penjelasannya pada raja, kini Geren bertanya pada Krissa.
“Ya,” jawab Krissa mantap.
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Event; Kumcer
De TodoEvent cerpen yang telah dilakukan oleh member Feedback Squad. 𝙋𝙚𝙢𝙗𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙩𝙪𝙡𝙖𝙣. 𝙄𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙙𝙞𝙘𝙖𝙧𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙢𝙖𝙠 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙠𝙪�...