Tabib Majapahit

33 6 0
                                    

🌻 Karya : Cindy Aulia Utami 🌻

Tanca menggeram. Dendam dan amarah memenuhi dada sang tabib Majapahit. Jayanegara sudah kelewat batas. Karena pengganti Raden Wijaya itu, sampai sekarang istrinya tidak bersedia bertemu atau menatap suaminya sendiri. Rasa malu dan hina telah mengkungkung kehormatannya sebagai istri dan wanita. Ra Tanca menarik napas dalam. Untuk sekarang, dia harus mampu menahan amarahnya. Walaupun setiap jengkal tubuh dan batinnya tak bisa menerima perlakuan buruk Jayanegara pada istrinya. Duduk pria gagah itu di serambi belakang rumahnya. Kedua matanya memandang segerumbul melati yang tumbuh dengan lebat dan subur. Sementara angannya melayang jauh mengingat kejadian hampir satu dasawarsa lalu.
Tepatnya tahun 1319, terjadi pergolakan yang dipimpin oleh salah satu dharmaputra, Ra Kuti. Jayanegara takkan selamat dari tajamnya keris Ra Kuti apabila bekel Gajah Mada tidak terlebih dulu melarikannya. Seharusnya pemberontakan itu membuat sang raja muda mengerti. Ra Kuti tak mungkin melakukan hal itu jika Jayanegara tak berulah. Putra Dara Petak itu menodai istri Kuti hingga membuatnya nekat mengakhiri nyawanya sendiri. Tentu hal ini menggoreskan luka dan dendam dalam hati Ra Kuti. Namun sayang, kegemilangan Kuti menduduki tahta tidak berlangsung lama. Dia tewas dalam serangan balasan yang dijalankan Gajah Mada dengan beberapa abdi Majapahit lain.
Kini kejadian yang sama terulang kembali. Bahkan semakin menjadi. Banyak desas desus mengatakan jika Jayanegara ingin menikahi kedua saudara perempuannya sendiri, Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat. Tanca mengutuk Jayanegara. Sang raja muda telah dibutakan hasrat dan kekuasaan. Seharusnya Tanca turut berdiri di belakang Kuti, menyuarakan ketidaksenangan terhadap Jayanegara. Tanca hanya dapat mengenang kejadian silam itu. Dan hanya dia yang masih tersisa sebagai tujuh dharmaputra yang dulu dibentuk oleh Raden Wijaya. Mungkinkah dia sendiri yang harus melampiaskan dendam para dharmaputra yang terlebih dulu gugur darinya?
Sepertinya memang demikian. Namun Tanca terdiam sejenak. "Gajah Mada...," gumamnya pelan. Nama yang patut diperhitungkan. Dia adalah benteng kokoh yang selalu melindungi Jayanegara. Tanca tidak akan bisa menjangkau sang raja bila Mada turut bersama mereka.
Dibalik tembok bata merah, seorang pria berperawakan tegap memerhatikan Tanca sejak tadi. Dia terus menyimak perubahan raut wajah dan sikap sang tabib. Dia tahu, Tanca menyimpan dendam yang sangat menggebu. Ketika Tanca meremukkan gelas tanah liat dengan sekali genggam, pria itu tersenyum sinis.
***
Hari berlalu, Tanca semakin benci saja jika bertatapan dengan Jayanegara dalam setiap paseban. Kalagemet duduk tenang di singgasananya. Tersenyum tipis menunjukkan wibawa tanpa ada sedikitpun rasa malu atau bersalah karena telah merusak kehidupan banyak keluarga. Sebenarnya Tanca sudah tak mampu lagi menahan kekesalannya. Dia sudah muak. Untuk pertama, Tanca harus mencari dukungan. Orang yang terdekat raja selain dirinya adalah Gajah Mada. Maka, Ra Tanca harus membujuk Gajah Mada walaupun adanya selisih antara mereka.
"Saya sudah muak dengan tingkah Jayanegara! Semakin hari dia semakin keblinger! Dia tidak pantas menjadi raja! Tahta Majapahit telah jatuh ke tangan yang salah!" geram Ra Tanca dengan tatapan berapi-api.
Sementara Gajah Mada yang sejak tadi mendengarkan, tak sekalipun mengalihkan perhatiannya dari menatap luar jendela. Tanca merasa diacuhkan.
"Kau tidak mendengarkan saya?!"
Tanpa sepengetahuan Tanca, pria tegap itu tersenyum. Lalu memutar badannya menghadap pria yang dibelakanginya. "Lalu apa maumu, Tanca?" Mada mendekat dan duduk didepannya. "Kau ingin bertindak bodoh seperti para pendahulu kita?" bisik Mada.
Tanca mengerti maksud Mada. Maka dia pun meredam api kemarahannya.
"Memangnya apa yang salah dengan Jayanegara? Apakah berdarah campuran adalah hal terkutuk? Apakah seorang anak selir tidak bisa menjadi raja?" Mada coba menjelaskan.
"Apa kau buta?" Tanca menatap tajam Gajah Mada. "Jayanegara ingin menikahi dua saudaranya sendiri! Mereka keturunan dari seorang ayah yang sama, keturunan Raden Wijaya! Akan mengundang malapetaka besar apabila hal itu sampai terjadi! Kau masih ingin mendukungnya?" bentak Ra Tanca.
Sejenak ruangan itu diselimuti hening setelah Tanca mengeluarkan segala kekesalan dan kekecewaannya pada raja kedua Majapahit. Mada memulai pembicaraan kembali. "Jayanegara seorang raja. Apapun yang diucapkannya, diperintahkannya dan yang dilakukannya adalah sabda pandhita ratu. Maka kita tidak bisa menolak atau melanggarnya," ucap Gajah Mada tenang.
Namun ucapannya barusan malah membuat Tanca semakin berang. "Termasuk melanggar ketentuan dan norma? Dengar, Mada! Raja juga seorang manusia. Yang bisa dikalahkan oleh nafsunya!"
Gajah Mada menoleh pada Ra Tanca saat mendengar kalimat terakhir. Dia menarik napas panjang. "Jangan seperti itu, Tanca. Selagi hal itu belum terjadi, untuk apa dipusingkan? Aku tahu, apa sebabnya kamu ngotot ingin mengakhiri sepak terjang Jayanegara," ucap Gajah Mada. Tanca kembali meliriknya.
"Karena sang raja... telah berbuat tidak senonoh pada istrimu, benar bukan?"
"Apa pantas seorang raja berbuat demikian?" dengus Tanca. "Demi kehormatan istriku, akan kuhabisi Jayanegara dengan tanganku sendiri! Aku sudah bersumpah!"
"Tidak, Tanca. Aku tidak bisa mendukung niat busukmu ini," tekad Gajah Mada.
Tanca terkejut dengan pernyataan pria itu. Sebenarnya Tanca juga tahu, istri Gajah Mada turut menjadi korban nafsu Jayanegara. Nasib mereka sama. Sebab itu Tanca mengajaknya bergabung untuk menggulingkan sang raja dari tahtanya. Tapi, kenapa Gajah Mada seolah diam saja? Apa dia tidak merasa terluka atas perlakuan rajanya?
***
Sepertinya Dewa berpihak pada Ra Tanca. Sebentar lagi keinginan Tanca akan segera terkabul. Seorang dayang baru saja mendatanginya atas perintah Kalagemet. Tanca tahu, entah penyakit apalagi yang diderita oleh sang raja muda. Sejak kecil Jayanegara memang mudah sekali terserang sakit. Dan hari ini juga, Tanca akan membebaskannya dari berbagai kesakitan yang dia rasakan.
Segera Tanca menyiapkan segala macam obat dan ramuan untuk dibawanya ke kamar raja. Lalu dia membuka kotak senjata yang selama ini disembunyikan di bawah tempat tidur. Keris berkeluk tujuh ditariknya dari warangka.
"Riwayat Jayanegara akan berakhir di ujung keris ini!" bisiknya. Tak lupa, Tanca turut melumuri setiap luk keris dengan ramuan racun.
Setelah semuanya siap, pria itu pun bersiap menuju kamar Jayanegara. Keris beracun itu diselipkan di ikat pinggang belakang tubuhnya. Selama berjalan di koridor istana, Tanca merasa dikuntit seseorang. Sesaat dia membalik badan. Mata elangnya menyisir dari ujung lorong hingga tempatnya berdiri. Tanca tak menemukan siapa pun di antara pilar-pilar kokoh dan tirai sutra putih yang ditiup angin semilir. Bergegas dia melangkah dan mengetuk pintu jati berukir bunga teratai dilapisi getah damar hingga terlihat mengilap.
Seorang dayang membuka daun pintu dan menyilahkannya masuk. Beberapa dayang yang tengah memijat kaki dan bahu Jayanegara diberi isyarat untuk menghentikan kegiatan mereka. "Kemarilah, Tanca," panggil Jayanegara.
"Gusti Prabu sudah lupa? Saya tidak bisa mengobati jika terdapat banyak orang. Itu pantangan bagi saya," ucap Tanca.
"Baiklah. Kalian semua boleh pergi," suruhnya pada dayang-dayang itu.
Barulah Ra Tanca mendekat dan menghaturkan sembah pada sang prabu. "Apa yang harus saya obati, Gusti?"
Jayanegara menanggalkan pakaian kebesarannya. Di punggung bawah raja muda itu tumbuh tonjolan merah bernanah. "Entah kenapa penyakit memalukan ini selalu mendera badanku," kata Jayanegara. Sedang Tanca memeriksa bisul di punggung raja yang dibencinya itu.
"Lama kelamaan, penyakit ini bisa membahayakan dan akan semakin terasa menyakitkan!"
"Selama kau ada sebagai tabib istana, aku akan merasa aman. Tanganmu begitu cakap mengobati dan aku tidak akan merasa sakit," ungkap Jayanegara. Tanca diam tak menanggapi. Pujian seperti itu takkan bisa menyembuhkan hatinya yang tercabik.
"Belakangan ini sikapmu berubah padaku, Tanca. Apa gerangan yang terjadi?"
"Berarti kau memang seorang raja yang buta perasaan! Seharusnya kau sudah tahu apa yang membuatku begitu murka padamu! Kau adalah raja yang laknat!" Tanca bersiap dengan kerisnya.
Dahi Jayanegara mengerut. Tanca telah berani membentak dan memakinya. "Jangan lancang, Tanca! Aku sangat menghormatimu atas segala jasa yang telah kau berikan pada Majapahit!"
"Percuma! Jika kehormatan dan kepercayaan itu telah tidak ada! Dan kau sendiri yang mengoyaknya!" Suara Tanca terdengar menggelegar di telinga raja Majapahit.
"Apa maksudmu... akh!"
Crass!
Perkataan Jayanegara terputus ketika keris beracun milik Ra Tanca menhunjam dalam di pinggangnya.
"Apa... yang kau lakukan, Tanca?" rintih Jayanegara sambil menahan rasa sakit.
"Kau harus merasakan hal yang lebih sakit ketimbang kepedihan yang kau goreskan di dalam hatiku! Juga kesedihan istriku karena kehormatannya yang kau renggut paksa!"
Selimut kebencian serta kecintaan terhadap istrinya membuat Tanca kalap. Tanpa belas kasihan keris itu semakin di tancapkannya. Darah mengalir membasahi tepi ranjang hingga lantai mengilap di ujung kaki Ra Tanca. Tak lama, sang raja Majapahit ambruk dan tewas kehabisan darah. Juga karena racun yang telah masuk ke dalam tubuhnya. Ra Tanca merasa puas dapat membunuh Kalagemet dengan tangannya sendiri. Dia telah membalaskan dendam dan aib yang telah menyiksa batin istrinya.
Belum sirna senyuman di bibir Tanca, leher kirinya terasa dingin oleh ujung keris yang dihunus seseorang di belakangnya. Lewat sudut matanya, Tanca tahu siapa pemilik keris itu.
"Kau terlambat, Mada! Kau tidak berhasil menyelamatkan rajamu untuk kedua kalinya!" desis Tanca.
Pria di belakangnya, Gajah Mada tersenyum sinis. "Itu sudah menjadi takdir Kalagemet. Dia memang pantas mati!"
"Lalu kenapa kau menodongkan kerismu padaku? Bukankah kita memiliki tujuan yang sama?"
Gajah Mada tertawa pelan tanpa melepaskan kerisnya. Tanca bingung, dia hanya menangkap suatu ambisi dan kelicikan di mata bekel itu. Ternyata benar, sulit menebak arah dari seorang Gajah Mada.
"Memang. Tapi tujuan akhirnya berbeda. Kau hanya memikirkan cinta pada istrimu. Orang dapat bertindak bodoh jika berurusan dengan asmara!" cibir Mada.
"Kau yang lebih bodoh! Yang diam saja saat kehormatan istrinya dirusak!"
"Untuk apa aku membunuh Jayanegara apabila sudah ada yang menewaskannya? Kau terlalu gegabah. Kau melupakan aku. Sejak dulu kita tidak pernah sejalan, karena kau adalah pesaing terberatku. Kematian Jayanegara dapat membuatku menduduki jabatan patih yang selama ini kuimpikan. Hal itu dapat terjadi jika aku... turut menghabisimu! Dengan demikian, namaku akan harum sebagai pahlawan Majapahit!"
"Licik!" dengus Ra Tanca. Sekarang dia mengerti, Gajah Mada sengaja memancing amarahnya agar dia sendiri yang menghabisi nyawa raja bertabiat buruk itu. Gajah Mada memiliki niatan tak terduga. Dia memperalat Ra Tanca demi mendapatkan pangkat tertinggi.
"Kau sudah tidak memiliki jalan mundur lagi, Tanca," ancamnya.
"Seharusnya, aku melenyapkanmu terlebih dulu sebelum Jayanegara. Sebab kau lebih licik daripada ular! Lebih lihai dibandingkan belut! Tidak peduli mana yang benar atau salah, asalkan bisa mendapatkan keuntungan!" cecar Tanca. Keris Mada perlahan menyobek kulit leher sang tabib hingga darahnya menitik.
"Cukup Tanca! Aku akan segera mengakhiri nyawamu! Kuucapkan terima kasih atas pengorbanan besarmu untukku!"
Ra Tanca hanya pasrah dan takkan melawan. Takdir telah mengguratkan kematiannya di tangan Gajah Mada. Sang tabib yang telah lama mengabdi pada Majapahit tidak gentar. Dia rela dan legawa. Malah dia merasa tenang karena keinginan akhirnya telah terpenuhi. Tanca bangga terhadap dirinya sendiri, sebab dia telah mengakhiri berlaksa keangkaraan yang bertengger di negeri tercintanya. Nafsu birahi iblis yang tertutupi oleh gemilangnya kekuasaan. Dia menyelamatkan Majapahit dari bencana yang diperbuat rajanya sendiri.
Hanya satu yang Tanca sesali. Dia tidak mampu mengucapkan perpisahan pada istri terkasihnya. Dinda, restuilah kepergian Kanda, bisik Ra Tanca. Untuk yang terakhir.

Event; KumcerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang