🌻 Juara 2 Event Desember 🌻
< Hisatora >
“Akhirnya aku bisa mengalahkanmu!” sorak Misaki setelah mengepung raja dengan pion-pionnya. Sang rival, yaitu ayahnya, tersenyum tipis.
“Hanya beruntung.”
Misaki memayunkan bibirnya, kesal lantaran sang ayah meremehkan dirinya yang jelas-jelas menang telak.
Melihat anaknya cemberut, sang ayah menarik Misaki agar mendekat dan duduk di sampingnya. “Hei, jangan marah.. Ayah bercanda. Kamu hebat, Misaki. Bahkan, mungkin saja bisa lebih hebat dari ayah yang sudah berjenggot putih ini,” hibur ayahnya kepada Misaki. Mata coklat Misaki membinar, ia membayangkan akan sehebat apa ia di masa depan nanti.
“Asalkan kamu tidak sering mengeluh.”
Binar di mata Misaki lenyap, ia kembali memayunkan bibir.
“Dulu.. Kakekmu selalu memarahi ayah setiap hari. Tidak boleh inilah, itulah. Ayah juga selalu berekspresi seperti kamu saat ini, bibir mayun dan alis menekuk. Oh, tidak lupa dahi berkeriput.”
Misaki salah tingkah. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Ia baru tahu bahwa dirinya yang saat ini sangat mirip dengan ayahnya di masa lalu.
Saat sang ayah hendak melanjutkan dongengnya, Misaki segera mengubah rautnya agar terlihat menyenangkan.
“Hampir setiap hari, ayah diajak kakekmu berlatih bertarung. Meskipun hanya menggunakan pedang dari kayu, tapi ketika terkena kulit rasanya sakit sekali. Karena kakek mengenainya dengan kuat, jadi... yah, sakit. Setiap selesai berlatih, lengan dan kaki ayah merah-merah semua. Kadang, sakitnya bisa betah sampai pagi,” ayahnya terkekeh mengingat bagaimana dulu ia mengeluh kesakitan setiap selesai berlatih.
“Kakek kejam,” komentar Misaki ketakutan. Seandainya kakeknya masih hidup saat ini, ia tidak bisa membayangkan rasanya berlatih setiap hari bersama kakek. Itu seperti neraka baginya.
“Tegas, bukan kejam,” koreksi sang ayah. “Itu semua beliau lakukan agar kelak, anaknya siap melanjutkan tahta sebagai seorang kaisar. Kaisar yang mampu melindungi rakyatnya dari ancaman bahaya.”
“Dan sekarang, ayah sudah menjadi kaisar yang sangat hebat!” puji Misaki untuk avatarnya.
Avatar, adalah julukan yang Misaki berikan untuk sang ayah. Konon katanya, ayahnya pernah mengalahkan musuh hanya dengan semburan udara dari mulutnya. Entahlah, itu hanya bualan semata atau nyata. Namun yang pasti, ia menjadi semakin kagum kepada ayahnya setelah mendengar itu.
Ia sangat menyayangi dan menghormati avatarnya lebih dari siapapun.
Hanya beliau, satu-satunya anggota keluarga yang sangat mengerti isi hatinya. Dulu, peran itu dipegang oleh ibunya. Namun, semenjak ibunya meninggal, peran sebagai pendengar yang baik tersebut diambil alih oleh ayahnya.
Sementara itu, ibu tiri Misaki yang dinikahi kaisar tiga bulan sepeninggal istrinya tidak pernah memerhatikan Misaki. Maka dari itu, ia tidak begitu kenal dan tidak dekat dengan ibu tirinya. Yang Misaki tahu hanya, ibu tirinya tidak benar-benar menyayanginya.
“Ayah..” panggil Misaki lirih kepada ayahnya yang telah terpejam, entah beliau sudah terlelap atau belum.
“Iya?” gumam kaisar. Ia memeluk putra kesayangannya itu—yang tadi merengek-rengek meminta untuk tidur bersamanya—agar ia merasa lebih hangat. Kehangatan berpengaruh penting pada kecemasan seseorang.
“Jangan pernah pergi dari hidup Misaki...”
***
Duka menyelimuti Kerajaan Mitsuki.
Dikabarkan bahwa pagi ini, kaisar mereka telah berpulang ke Tuhan.
Semua menangis saat upacara rekramasi berlangsung. Tak sanggup melepaskan kaisarnya yang sangat mereka sayangi. Tanpa keberaniannya, tanah mereka pasti sudah terjajah oleh musuh. Dan tanpa perlindungannya, mereka tidak akan bisa hidup setenteram ini.
Setelah upacara rekramasi selesai, perlahan orang-orang membubarkan diri. Dengan langkah beratnya, mereka masih tidak rela meninggalkan kaisar mereka sendirian. Mereka ingin berbuat sesuatu. Namun, semua mustahil dilakukan di depan takdir.
Di depan hamparan ombak, di samping bahtera para nelayan, berhias pasir putih berkilau, dengan tumpukan kayu di atasnya yang menghitam termakan api, menyisakan satu makhluk yang tengah berdoa agar Tuhan melenyapkan dirinya saja saat ini. Ia tidak tahu lagi untuk apa ia masih hidup. Demi siapa ia akan tersenyum. Dan dengan siapa ia berbagi cerita. Dia... Sendirian.
Avatarnya telah pergi dari hidupnya. Tidak mengizinkan dirinya untuk diberi tumpangan dan pergi bersama-sama ke surga.
“Jangan menitikkan air mata di laut, bisa-bisa nanti lautnya tidak mampu menampung lalu mengembalikannya lagi dalam bentuk tsunami.”
Ah.. Dia melupakan satu orang. Sahabat kecilnya, Yuko.
“Kapan kamu datang?”
“Sambutanmu tidak ramah sama sekali, Kaisar muda,” Yuko berjalan mengampiri Misaki yang berjongkok membenamkan kepalanya.
“Tidak lucu,” sahut Misaki ketus, kesal karena dimomen duka seperti ini Yuko masih sempat melontarkan ejekan merendahkan dirinya.
“Maaf membuatmu kesal. Aku baru saja datang dan mencarimu di istana, tapi tidak menemukanmu. Ternyata kamu disini.”
“Kembali saja ke istana, aku akan menyusul nanti. Aku ingin sendiri dulu sekarang,” perintah Misaki, namun tidak didengar Yuko sama sekali.
“Ah, desir ombak ini mengganggu pendengaranku,” dusta Yuko. “Sepertinya kamu memintaku untuk menemanimu disini. Baiklah, akan kutunggu kau sampai tenang, lalu kita kembali ke istana. Tadi aku melihat banyak makanan di meja untuk acara penyambutanku. Jadi jangan lama-lama disini, atau kita tidak akan kebagian jatah,” Yuko membiarkan Misaki larut dalam kesedihan saat ini, hanya saat ini. Sebab nanti, Misaki harus tersenyum kembali, selamanya.
***
“Sebenarnya, apa yang terjadi semalam?” Misaki memegangi kepalanya, frustasi karena ia melupakan sepotong kisah yang sangat penting dalam hidupnya, detik-detik terakhir sebelum ayahnya meninggal.
Ia hanya ingat bahwa ia meminta ayahnya agar tidak pergi dari hidupnya, ayahnya memeluknya, lalu ia tertidur pulas diselimuti kehangatan. Lantas, apa lagi setelah itu?
“Sudahlah Misaki, jangan terlalu memaksa diri. Itu sudah takdir, kita tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi mengubahnya,” Yuko sudah lelah menasehati Misaki seharian. Semakin lama, ia bisa gila di sini.
“Oh! Aku ingat sesuatu,” Misaki bersorak. “Aku melihat gigitan kecil di leher dan pergelangan tangan ayah. Itu seperti gigitan... Ular.”
Manik Yuko membulat. Ia mundur perlahan, menjauhi Misaki. “Jangan jangan.....”
“Ya. dia sendiri yang membunuh ayahnya,” tutur ibu tiri Misaki dari daun pintu.
Misaki tak mampu berkutik. Mendadak hatinya kelu, otaknya tak berhenti menyangkal.
“Salahkan ayahmu karena ia tak menceritakan rahasia ini. Padahal kau sudah besar, dan pasti kamu bisa memahaminya. Ayahmu saja yang terlalu bodoh karena takut kamu akan mati setelah mengetahuinya,” ujar ibunya dengan nada penuh benci.
“Jangan mengatakan ayahku bodoh! Bercerminlah lebih dulu, karena kamu yang sebenarnya bodoh!” maki Misaki tak terima.
Yuko menenangkan Misaki, namun ditepis mentah-mentah olehnya. “Aku tidak bisa tenang jika urusannya dengan kematian ayah.”
Ibu tirinya bertepuk tangan angkuh, seolah terkesan dengan Misaki yang begitu menyayangi ayahnya. “Mi memiliki arti ular, Misaki. Artinya, kamu adalah keturunan bangsa ular,” Misaki tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. “Dan kamu bisa berubah kapanpun ketika rasa takut dan cemas menyelimutimu. Apakah kamu pernah dengar bahwa, ular akan mematuk siapa saja yang membutnya terancam? Memang kamu yang membunuhnya. Itu terbukti dari bekas gigitan ular yang ada di leher dan pergelangan tangannya.”
Misaki terduduk lesu. Kakinya lemas, ia mulai menangis. Menangisi kebodohannya.
Dunia seakan telah mengutuknya. Mengapa harus ayahnya? Mengapa harus avatarnya yang menjadi korban kecemasannya?
Misaki menjambak rambutnya sendiri. Menangis, meronta-ronta mengucap maaf.
Lalu ia bangkit, berlari meninggalkan istana dan pergi ke tempat peristirahatan terakhir sang ayah. Ia ingin meminta maaf.
“Ayah, maafkan Misaki ayah. Seandainya malam itu Misaki tidur di kamar, Misaki tidak akan kehilangan ayah secepat ini. Seandainya malam itu Misaki tidak cemas karena takut ayah akan pergi, ayah tidak akan benar-benar pergi meninggalkan Misaki sendirian seperti ini. Ini semua salah Misaki, Ayah!!!”
Air matanya menderai begitu deras. Jeritannya penuh pilu.
“Misaki! Jangan!” teriak Yuko, mencoba menghentikan Misaki yang perlahan melenyapkan diri ke dalam laut. Dengan susah payah, Yuko akhirnya berhasil meraih lengan Misaki dan menariknya menjauh dari laut yang permukaannya semakin dalam.
“Biarkan aku menemui ayah, Yuko! Aku harus meminta maaf kepadanya!”
“Dengan cara apa? Dengan membunuh dirimu sendiri? Apakah belum puas kamu membunuh ayahmu hingga dirimu sendiri menjadi korban selanjutnnya?”
Misaki berhenti memberontak. Otaknya membetulkan perkataan Yuko.
Ia terduduk di atas pasir putih, menghadap matahari yang telah setengah terbenam. Ia terpaku, menatap ombak yang semakin liar seiring datangnya malam. Ia tidak mengerti, mengapa malam itu harus terjadi. Jikalau mampu, ia ingin melompati waktu dan menghindari malam mengerikan itu. Malam ketika ia membunuh ayahnya sendiri.
Sebuah tepukan mendarat di bahu kirinya. Hangat.
“Jangan menjadi orang yang terbiasa meminta maaf ketika melakukan kesalahan. Biasakan mengucapkan terima kasih, karena itu lebih baik.”
Misaki menoleh, menatap Yuko dengan mata sayunya.
Yuko benar.
“Aku bodoh sekali, Yuko.”
“Ya, memang bodoh. Makanya, belajar. Tenggelam di laut tidak akan membuatmu pintar.”
Misaki mendekap Yuko dalam pelukannya. Berharap Yuko membagikan kehangatan kepadanya. “Terimakasih Yuko, terimakasih telah mengerti isi hatiku.”
Yuko mengangguk kecil, “Sama-sama, sahabat. Ingin tahu sesuatu?"
Misaki terdiam, perasaannya tidak enak.
"Aku menyukaimu."
Jantung Misaki berdebar hebat, bahkan Yuko dapat merasakannya.
"Kapan-kapan, kamu harus belajar mengontrol detak jantungmu, Misaki." Yuki terkekeh. "Sebaiknya sekarang kamu juga berterimakasih kepada ayahmu, pasti selama ini kamu belum sempat mengatakannya, kan?”
Misaki melepas pelukannya, melempar senyum kepada Yuko yang membalas senyumnya dengan lebih lebar. Kemudian, ia berganti memandang laut, seolah membayangkan sedang memandang ayahnya.
“Terimakasih ayah... Terimakasih telah menyayangiku dengan tulus, terimakasih telah mau aku kalahkan dalam permainan catur, terimakasih telah membagi kisahmu denganku, terimakasih telah menasehatiku sepanjang hari tanpa lelah, dan terimakasih karena telah melindungiku.”
“Aku berjanji, akan menjadi pelindung bagi seluruh rakyat Mitsuki. Dan juga pelindung bagi Yuko, perempuan cantik yang aku cintai.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Event; Kumcer
CasualeEvent cerpen yang telah dilakukan oleh member Feedback Squad. 𝙋𝙚𝙢𝙗𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙩𝙪𝙡𝙖𝙣. 𝙄𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙙𝙞𝙘𝙖𝙧𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙢𝙖𝙠 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙠𝙪�...