Obstinate

15 3 0
                                    

🌻 Karya : Faiza Dwi Nayla 🌻

“Pokoknya, kamu harus menerima perjodohan ini!”
Arsel tersedak. Selalu saja masalah ini yang diangkat oleh keluarganya. Entah sudah berapa kali Arsel meninggalkan acara makannya. Dan sekarang, ia mengulanginya lagi. Mana mungkin ia akan menerima perjodohan dengan orang yang tidak ia kenal, bahkan walaupun ia sama sepertinya dari keturunan darah biru, itu tidak akan menggoyahkan Arsel. 
“Arsel!” Suara pria dari kepala marga Raynkar, Alnord Raynkar menggelegar. Pria itu sudah naik pitam, karena tingkah anak semata wayangnya itu. Sedangkan Arsel, di sudah berada di dalam kamarnya usai membanting pintu kamarnya keras.
“Sabar. Arsel pasti mengerti. Tapi perlahan, Sayang,” suara lembut itu selalu saja meredakan emosi Alnord. Nyonya Raynkar itu memang sangat bisa diandalkan untuk menenangkan suaminya.
Alnord memijit pangkal hidungnya yang sudah berkerut. Seketika kepalanya pusing memikirkan bagaimana putranya yang begitu keras kepala. Nyonya Raynkar, Carlita yang seakan tahu kondisi sedang tidak stabil itu memilih meninggalkan suaminya yang menenangkan pikiran. Suaminya yang gampang tersulut emosinya membutuhkan waktu sendiri untuk menenangkan diri dan pikiran. Carlita mengecup singkat pipi suaminya sebelum seluruh tubuhnya menghilang begitu cepat di balik pintu.
Arsel yang masih menggerutu di balkon kamarnya menghembuskan nafasnya kasar. Perhatiannya kini teralihkan penuh ke pintu yang menghasilkan suara ketokan di seberang tempat tidurnya.
“Arsel,” suara lembut itu kembali, siapa lagi yang mempunyai suara selembut itu yang mampu menenangkan di rumah bak istana ini kalau bukan Carlita.
Segera Arsel menuju pintu di ujung sana. Langkahnya sangat cepat. Entahlah, itu bahkan hanya secepat kedipan mata. Arsel mendaratkan bokongnya di ujung tempat tidur king size berwarna putih polos itu. Carlita mengikut.
“Maaf kalau ayah dan ibu meminta kamu dewasa lebih cepat,” Carlita mengusap punggung kokoh Arsel, sedangkan Arsel hanya menunduk tak kuasa menatap rentina Carlita.
“Besok akan ada acara di rumah kita,” sambung Carlita setelah tidak mendapat jawaban apapun dari putranya. “Ibu harap kamu bisa mengesampingkan dulu masalah ini,” Carlita mencium puncak kepala Arsel sekilas, lalu hilang dengan sangat cepat di balik pintu.
•••
Arsel yang sedari tadi menatap kerumunan yang berlalu-lalang di halaman rumahnya dari balkon akhirnya memilih ikut bergabung.
Ia melangkah  sangat cepat turun ke lantai dasar. Ternyata, sudah banyak sekali yang mengisi acara ini. Arsel memandangi seluruh ruangan utama di rumah ini, terlihat jelas dari sudut ke sudut jika berada di anak tangga atas.
Mata Arsel masih menjelajah, entah sampai di mana ia akan berhenti. Tatapan kagum dari wanita-wanita di sana selalu saja sama, sedangkan para pria menyunggingkan senyum merkahnya.
Arsel tersentak mendapati pandangan lain di sana. Wanita yang anggun dibalut dress selutut tanpa lengan berwarna hitam melekat pada tubuhnya. Namun, bukan itu yang mengalihkan Arsel, melainkan pandangan wanita itu seakan meneliti dari atas sampai bawah tubuh Arsel. Setelahnya, senyum miring itu terbit. “Apa-apaan itu!” Arsel menggerutu pelan sebelum kembali menuruni anak tangga. Jelas saja, bagi Arsel itu seakan mengejeknya.
“Hei!” Arsel mencengkeram lengan atas wanita itu, seketika juga wanita itu memutar tubuhnya. Alis tebal wanita itu terangkat sebelah meminta penjelasan dari tingkah mendadak Tuan Muda ini.
“Aku tidak suka pandanganmu itu!” Sambung Arsel mulai risih ditatap wanita yang terlihat masih muda sepertinya.
“Lalu?” Balas wanita itu menantang, tangan Arsel yang sempat mencengkeram di lengannya kini dilepas paksa oleh wanita itu. Selanjutnya, wanita itu meninggalkan Arsel sendiri mematung dengan wajah merah padamnya.
Seketika langkah Arsel begitu cepat, sangat cepat menyambar tangan wanita itu dan membawanya ke taman belakang rumahnya. Bagaimanapun juga, amarah Arsel  akan ia tumpahkan pada gadis petentengan ini.
Arsel menatap wanita itu. Raut wajah itu lagi, wajah yang seakan menantang dengan alis sebelah kanannya yang terangkat. Dan itu sudah masuk ke dalam hal yang dibenci Arsel.
“Kuingatkan sekali lagi, aku tidak menyukai caramu memandangku!” Ulang Arsel, telunjuknya kini mengarah pada wajah mulus wanita itu. Tapi, raut yang terukir di wajah wanita itu tak berubah sedikit-pun.
“Ada apa dengan wajahku Tuan Muda keras kepala?” Wanita itu menekan dua kata terakhirnya. Dan itu sukses membuat Arsel tambah marah.
“Jaga ucapanmu!” Bentak Arsel. “Ini masih rumahku Nona!” Sambungnya mengingatkan.
“Oh ya?” Wanita itu melipat kedua tangannya di depan dadanya menantang.
“Ya!” Balas Arsel cepat. “Dan kau masih di bawah kekuasaanku, ya tentu saja karena aku yang akan menjadi penerus ayahku, jadi jaga sikapmu!” Ancam Arsel.
“Kau tidak akan jadi penerus jika keras kepalamu tidak juga menghilang,” koreksinya. “Menikahlah secepatnya, dan jangan bunuh rakyat Vam di tangan ayahmu!” Wanita itu balas membentak.
“Kau tahu?” Tanya Arsel heran. Setidaknya, yang ia ketahui masalah ini adalah masalah pribadi keluarga Raynkar.
“Siapa yang tidak tahu,” wanita itu tertawa meremehkan. “Seluruh rakyat Vam tahu, sekarang mereka berada di ujung tanduk karena Tuan Muda yang keras kepala ini!” Wanita itu mendorong kepala Arsel dengan telunjuknya, sungguh berani.
“Hei Nona, siapapun namamu, jaga sikapmu!” Arsel menangkis tangan di depan wajahnya itu.
“Jessy,” koreksi wanita itu. Wanita itu memang sangat berani karena sejak kecil ia terbiasa sendiri. Orang tuanya bahkan tidak ia ketahui kabarnya. Membuatnya lebih seperti mengalir pada keadaan yang akan mengantarnya. Menghantam apa saja yang menjadi penghalangnya, walaupun Tuan Muda ini.
“Oke baiklah Jessy, kau tahu apa tentang pernikahan? Sekali seumur hidup bahkan bersama orang yang tak kau kenali? Apakah kamu bisa?!” Arsel meremehkan.
“Itu karena di sini,” Jessy meletakkan telunjuknya pada dada atas bagian kiri Arsel. “Kau menyimpan keegoisan,” sambungnya. “Coba kau pikirkan nasib rakyat Vam yang akan musnah ini!” Jessy lalu menunjuk ke arah kerumunan di dalam rumah bak istana milik keluarga Raynkar. “Cihh... Percuma juga aku membicarakan ini pada makhluk keras kepala,” Jessy akhirnya meninggalkan Arsel yang terpaku dalam pikirannya sendiri. Semoga saja pembicaraan mereka membuahkan hasil.
“Baiklah! Menikahlah denganku!” Arsel berlari cepat menuju ke arah Jessy. Dan untuk ketiga kalinya Arsel disuguhi raut wajah dengan alis terangkat sebelah. “Bukankah kau mau menyelamatkan rakyat Vam?” Tanya Arsel dibalas anggukan pelan dari Jessy. “Kalau begitu, kau dan aku akan menyelamatkannya bersama,” Arsel menjelaskan, lalu berlalu cepat, sangat cepat meninggalkan Jessy terpaku. “Kau harus tahu bebanku juga,” sambung Arsel pelan.
•••
“Arsel akan menikah,” ucap Arsel mantap saat sudah menemukan ibunya di tengah keramaian itu. Semringah di raut wanita paruh baya itu terbit. Tapi, Carlita menatapnya tak yakin.
“Ya!” Jawab Arsel mantap. “Tapi dengan pilihan Arsel sendiri,” sambungnya sedikit pelan.
“Kamu punya kekasih?” Tanya Carlita tidak yakin jika putranya ini sudah memiliki kekasih.
“Ya!” Ulang Arsel tak kalah mantap lagi. “Tunggu sebentar,” Arsel lalu menghilang dalam sekejap mata, meninggalkan Carlita. “Ini pilihan Arsel,” Arsel menggenggam tangan Jessy, sedangkan Jessy tersenyum kikuk.
“Bagaimana ibu bisa percaya?” Tanya Carlita masih meragukan.
“Kita siap menikah besok!” Balas Arsel mantap, ditatapnya wajah Jessy yang terkejut bukan main.
Pernikahan itu benar-benar terjadi besoknya. Jessy mengenakan gaun putih indah berjalan digandeng Arsel yang mengenakan kimono. Seluruh rakyat Vam diundang ke acara ini. Rakyat yang tinggal di pedalaman hutan jauh dari sentuhan manusia seutuhnya. Ya, rakyat Vam memang bukan manusia. Mereka adalah makhluk dengan taring tajam yang melekat pada deretan giginya, dan menghisap darah. Secara kasarnya, mereka adalah Vampir. Jauh dari kehidupan manusia mendatangkan sisi positif pada rakyat ini. Setidaknya mereka hanya menghisap darah dari hewan-hewan di hutan. Dan mereka juga tidak akan melukai manusia.
Setelah acara sakral itu, Arsel langsung menerima jabatan barunya sebagai raja di Kerajaan Vam. Mau tidak mau, Jessy juga menerima jabatan di marga Raynkar dan menerima jabatan sebagai Ratu Vam.
Acara melelahkan itu akhirnya mengantarkan pasangan yang tak diduga ini ke kamar mereka. Jessy yang begitu kelelahan membawa gaun panjang menjuntai itu langsung merebahkan dirinya di kasur king size milik Arsel, tidak, milik mereka berdua.
“Lepas gaunmu. Kau mau tidur pakai itu semalaman?” Arsel masuk lalu kembali menutup pintu kamarnya.
“Aku capek, biarkan saja,” balas Jessy matanya yang sangat berat itu sudah mengantup. “kalau bisa, buka saja,” sambungnya.
Arsel langsung bergidik ngeri mendengar ucapan terakhir Jessy. Namun pikirannya tentang mereka yang sudah sah akhirnya bisa menenangkan.
“Hanya setahun kan?” Tanya Jessy masih tak bergerak dari posisinya.
“Ya!” Balas Arsel mantap.
Kemarin memang mereka sudah memutuskan ini. Jessy yang tak ingin disamakan dengan Arsel yang keras kepala akhirnya menerima pernikahan ini. Selanjutnya, ia juga harus memikirkan rakyat Vam. Dan yang paling penting, kesepakatan mereka hanya sampai satu tahun. Dengan arti lain, saat satu tahun itu, Jessy harus memberi keturunan kepada penerus Kerajaan Vam. Setelahnya, Jessy bisa bebas.
“Lakukanlah, waktumu hanya tiga bulan sebenarnya.”
•••
Dua bulan mereka bersama. Menjalin semuanya bak suami istri yang sebenarnya. Jessy yang selalu membuatkan makan untuk Arsel. Selalu menyiapkan pakaian kerjanya saat ada keperluan dengan kerajaan sebelah. Dan tak lupa dengan kewajiban lainnya sebagai seorang istri. Jessy yang bisa segalanya, ditambah dengan paras yang rupawan memang sangat lengkap menjadi seorang istri.
“ARSEL!!” Jessy berteriak dari dalam kamar mandi, sontak Arsel langsung tersadarkan dari mimpinya. Di dapati istrinya yang tengah menutup mulut dengan kedua telapak tangannya di dalam kamar mandi.
“Kenapa?” Tanya Arsel mulai cemas.
“Aku hamil!” Jessy berjingkrak-jingkrak kegirangan. Ternyata tidak butuh waktu tiga bulan. Dan jika dihitung, ini hanya memerlukan waktu sembilan bulan kedepan. Senyum kecut Arsel terbit.
“Ada apa?” Tanya Jessy melihat Arsel yang aneh.
“Berapa hari?” Tanya Arsel menatap rentina Jessy tak rela.
“Entahlah, mungkin belum seminggu,” Jawab Jessy. “Aku cek tiap minggu, jadi aku yakin itu masih beberapa hari,” lanjut Jessy.
Setiap minggu? Itu bahkan terlalu sering. Apakah Jessy benar-benar pada misinya, padahal Arsel sendiri sudah melenceng.
“Aku berhasil,” Jessy memeluk erat suaminya itu. Sungguh, Jessy sangat kegirangan.
“Apakah kau akan bebas setelah ini?” Tanya Arsel lirih.
“Kenapa?” Jessy melepas pelukan itu. “Bukankah memang sudah seperti ini?” Tanya Jessy menatap mata sayu Arsel.
“Aku mencintaimu, entah sejak kapan, tapi itu nyata,” Arsel menatap lekat rentina Jessy mencoba meyakinkan jika dalam matanya itu tak ada kebohongan.
“Ayolah, bukan ini kesepakatan kita!” Arsel tersentak. Ternyata, Jessy memang menjalankan misi ini, tapi dirinya benar-benar sudah melenceng.
•••
Beberapa hari setelah Arsel mengatakan itu, suasana di rumah mereka benar-benar sepi. Jessy yang seakan menjaga jarak, sedangkan Arsel sudah tidak ingin jatuh lebih dalam lagi. Arsel akhirnya hanya melampiaskan rasa yang tak terbalas itu pada seluruh pekerjaannya. Ia lebih sering mengontrol keadaan rakyatnya, lebih sering berkeliling di hutan, dan lebih sering bergulat dengan berkas-berkas kerajaan. Tak jarang, ia pulang hanya membawa raganya yang kelelahan. Dan hal itu membangunkan sisi keibuan Jessy. Ia khawatir jika Arsel terus-terus seperti ini akan membuat kesehatannya terenggut paksa.
“Drrtt…Drrtt…Drrtt..”
Telepon rumah di sudut ruangan itu mengalihkan pandangan Arsel dari langit-langit ruamg tamu. Arsel bangkit dari paha Carlita yang sempat menjadi tumpuan bagi kepalanya. Sekarang ia memang memilih rumah orang tuanya untuk menenangkan dirinya. Terlebih lagi saat ini ia benar-benar bingung pada tingkahnya yang ia sendiri sangat tidak tahu.
“Ibu, Arsel ada di sana?” Suara lembut dari Jessy benar-benar bisa menggoyahkan Arsel. “Bu?” suara itu keluar lagi usai Arsel hanya terdiam.
“Iya,” jawab Arsel.
“Astaga Arsel, kamu kenapa tidak bilang dulu kalau kamu pulangnya ke rumah Ibu? Akukan jadi khawatir,” omel Jessy.
“Kenapa kau khawatir?” Tanya Arsel.
“Karena kamu suamiku, Arsel,” Jawab Jessy di seberang sana.
“Jessy, tolong jangan berlebihan!” Bentak Arsel. “Bukankah kita hanya menjalani misi ini. Jadi, tolong jangan buat aku semakin tidak rela melepasmu nanti,” sambungnya.
Jessy tersedak. Ini kali pertama Arsel kembali membentaknya setelah ikatan suami-istri itu terjalin. Jessy mengelus perutnya yang sudah membesar, jika dihitung, kehamilannya sudah masuk bulan ke tujuh. Dengan arti lain, sisah dua bulan lagi kebersamaan mereka.
“Kamu sudah tanya Ibu?” Tanya Jessy akhirnya setelah terdiam lama. Misi ini memang hanya mereka yang tahu, dan sesuai rancana sebelumnya juga, mereka akan mengatakan yang sejujurnya kepada yang lain jika sudah di penghujung acara misi ini.
“Ya,” jawab Arsel singkat.
“Aku tunggu kamu, mau kamu pulang atau tidak, aku akan menunggu,” Jessy memutuskan telepon itu sepihak.
Arsel menjambak rambutnya frustasi. Bagaiamana ia yang memiliki misi paling jahat karena ingin memberitahukan pada wanita yang begitu menantangnya bahwa masalah Arsel tidak semudah itu. Namun, ia yang justru begitu kalut dengan persoalan ini. Ya, memang dari awal ini salah, maka dari itu ini akan seterusnya salah.
Arsel tetap pulang di rumahnya. Tempat dimana istri dan calon anaknya tinggal. Seharusnya, pelengkap itu sangat membahagiakan keluarga kecilnya. Namun, sekarang beda lagi. Pelengkap itu seakan bom waktu yang akan menghancurkan ikatan suami-istri itu.
Arsel melangkah masuk. Di ruang tamu, Arsel mendapati istrinya yang sudah terlelap di atas sofa. Perut buncitnya yang membungkus buah hati mereka sudah membesar. Wajah damainya begitu indah. Segera Arsel membawa istrinya itu ke dalam kamar. Dan hal itu mampu membuat Jessy menggeliat. Arsel masih melangkahkan kakinya menatap mata Jessy yang sesekali terbuka lalu tertutup lagi.
“Aku juga mencintaimu,” Jessy mengeluarkan suaranya usai ia mendarat di kasur king size itu. Dan suara itu mampu membuat Arsel mematung.
“Sudahlah, biarkan aku melepasmu,” balas Arsel lirih.
“Apa-apaan kau ini!” Jessy akhirnya terduduk. “Aku sudah mencintaimu, Arsel. Suamiku!” Sambung Jessy dengan yakin.
“Sudahlah, sekarang kau bahkan membuatku merasa tidak rela melepasmu,” Arsel terduduk di ujung kasur, pandangannya tertunduk.
“Ya!” Jessy menirukan gaya Arsel bicara. “Aku tidak ingin dilepas,” sambungnya.
“Aku tahu ini memang diawali dengan cara yang salah, maka akan kuak-”
“Kita akan membenarkannya, Sayang,” potong Jessy. “Aku sadar, aku juga mencintaimu karena kebersamaan kita sejauh ini. Dan bodohnya, aku baru mengetahuinya sekarang, saat aku khawatir tentangmu, khawatir tentang kesehatanmu, khawatir jika kau tak pulang, semuanya tentangmu, aku selalu memikirkanmu, Sayang,” jelas Jessy.
“Ulangi lagi!” Arsel mendekat menatap lekat istrinya yang bersandar di kepala kasur.
“Itu terlalu panjang, aku lupa,” Jessy terkekeh sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Kata terakhirmu, aku suka mendengar itu dari mulutmu,” Arsel menggenggam erat tangan istrinya, sesekali mengusapnya tulus.
“Sayang,” suara lembut itu berhasil menutup malam. Akhirnya mereka terlelap dalam mimpi.
Dua bulan berlalu, mereka benar-benar sudah menjatuhkan hati karena ikatan itu. Akhirnya Jessy akan mengalami puncak seorang ibu hamil. Ia akan memperlihatkan dunia kepada buah hatinya. Dengan bantuan Arsel yang selalu di sisi wanita itu seakan sebagai sumber kekuatan. Jessy berhasil melahirkan sepasang anak kembar. Kini kebahagian mereka berkali-kali lipat dari sebelumnya.
“Selamat datang penerus Karajaan Vam,” ucap Arsel menggendong bayi laki-lakinya.
“Selamat datang putri cantik ibu,” Jessy mengelus rambut tipis bayi perempuannya dalam pangkuannya.
“Dan Ayah,” koreksi Arsel menatap Jessy tersenyum sumringah. 
“Aku bersyukur di pertemukan dengan Tuan keras kepala ini,” Jessy mengangkat ujung bubirnya.
“Aku juga, dengan wanita petentenganku yang berani ini” Arsel mengecup singkat puncak kepala Jessy.
Sekarang, pelengkap itu bukan lagi bom waktu. Melainkan anugerah terindah bagi keluarga kecil itu. Dan dengan rasa bersyukur mereka, kini pesta menyambut anggota baru di Kerajaan Vam akan diselenggarakan. Pesta yang akan mengungkit kembali ingatan Jessy dan Arsel, ingatan bagaimana mereka dipertemukan dulu.

Event; KumcerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang