~ Nurmay Yanti Silitonga ~
Sempat menatap, bertujuan untuk menetap, aku yang kalah cepat, atau dia yang terlalu lahap?.
****
Rumah besar kosong yang usang, yang sudah lama tak berpenghuni ini kubeli atas permintaan suami ku, aku yang mengurus segalanya.
"Pak Didik, kasur yang kemarin saya pesan sudah di antar?" tanya ku pada Pak Didik yang sudah sekitar 4 tahun menjadi supir pribadi kami.
"Sudah Nya, sudah tersusun rapi di setiap kamar" jelas supir itu dengan sedikit membungkuk.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ku, di pojok sana, pandangan ku terkunci di sudut itu, aku berjalan ke sudut itu dengan gontai. Mengutik-utik boneka cantik yang ada disitu, tersenyum, membelai, itu yang ku lakukan sekarang.
"Nya, ada Tuan" kalimat Bik Inah mengejutkan ku,
"Oh, iya Bik, bilang saja saya ada di sini" sahut ku dengan tersenyum. Sementara Bik Inah langsung membungkuk dan membalikkan badannya.
"Sayang, kamu ngapain?" ucap Mas Nizar memukul pundakku.
"Hah, engga Mas, ini, boneka nya cantikkan?" ucapku sambil membelai lembut rambut boneka ini, seakan anak ku sendiri.
"Iya, tapi sudah kusam, kita cuci aja yuk"
***
Hening, itu lah sekarang, tak ada yang membuka suara selain gemercikan air mencuci boneka.
"Dek" suara Mas Nizar memecah keheningan. Sementara aku hanya menanggapi nya dengan dehaman.
"Kita kapan ya punya keturunan?" ucapnya dengan senyum miris, yang berhasil membuatku tegang, panas dingin, malu, segala rasa yang buruk tercampur padu. Terlintas di pikiranku, apakah Mas Nizar menduakan ku atau menceraikanku jika aku tak dapat memberikannya keturunan.
"Kita belum dikasi kepercayaan sama Allah Mas, berdoa saja, semoga tahun ini, dengan keberadaan anak-anak panti, kita cepat diberi momongan" jawabku tersenyum miris.
"Dek, gimana kalau kita adopsi anak, salah satu anak panti kita adopsi, kalau bisa yang belum terlalu besar, agar dia mengenali kita seperti orang tua nya yang sesungguhnya". Aku sempat berpikir untuk tak menjawab. Tatapanku dan Mas Nizar terkunci untuk beberapa detik. Melihat mata hanzel milik dosen ini, hati ku luluh, dan akhirnya mengangguk dengan senyuman. Mas Nizar langsung mendekap ku dipelukannya.
"Ciee, bunda, ayah, sosweet banget, kea papa sama mama Belbi dulu" ledek salah satu anak panti, membuat kami kaget, dan sontak melepaskan pelukan, yang ternyata sudah datang.
Anak panti, memang memanggil kami dengan sebutan ayah bunda, Belbi anak berumur dua tahun, yang ditelantarkan mama tiri nya, karna hasil hubungan gelap antara mamanya dan papanya, mama nya meninggal saat melahirkannya, sedangkan papanya bunuh diri karna ocehan keluarga.
Nizar dan Nuzwah bertatapan cukup lama, dan akhirnya merangkul anak itu bersama.
"Belbi bisa anggap bunda sama ayah ini papa sama mama nya Belbi" ucapku mengelus pundak anak tersebut.
"Bener yah?" Mata anak itu berbinar, meminta persetujuan Nizar.
"Iya bener sayang," sahut Nizar mengusap lembut rambut nya.
***
Makan malam hari ini terasa sangat hangat, karna bersama anak-anak panti yang cukup banyak.
"Bunda, bunda, kami ingin punya adek bayi dari bunda" ucap salah satu anak panti dengan polosnya.
Aku menatap Mas Nizar dengan canggung, sementara dia memilih untuk melanjutnya makannya.
"Doain bunda sama ayah ya nak, biar cepat punya dedek" senyum ku simpul.
"Aaaammmmiiinnnn Allahumma Ammmiinnn" ucap Bu Dina, wanita paruh baya yang mengurus anak-anak panti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Event; Kumcer
DiversosEvent cerpen yang telah dilakukan oleh member Feedback Squad. 𝙋𝙚𝙢𝙗𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙩𝙪𝙡𝙖𝙣. 𝙄𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙙𝙞𝙘𝙖𝙧𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙢𝙖𝙠 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙠𝙪�...