🍯 Karya : Cindy Aulia Utami 🍯
Suara bola basket yang memantul di lapangan semakin menambah seru permainan yang hanya dimainkan beberapa pemuda kampus. Tim penyemangat tengah berlatih di pinggir lapangan bersama gadis cantik berambut sebahu. Selain sebagai koreografer, gadis itu ternyata mengiringi salah satu pemain basket. Pemuda itu sangat mahir men-dribble bola lalu memasukkannya ke dalam ring.
Gadis itu bertepuk tangan. "Hebat, Adhi!" pujinya. Para pemain dan tim penyemangat mulai bubar satu persatu. Adhi mendekati ranselnya. Mengeluarkan seluruh isinya hingga habis, namun tak juga ditemukan apa yang dicarinya. Botol air minum tersodor di depannya juga handuk kecil. Gadis cantik tadi yang memberikan sambil tersenyum.
"Terima kasih," kata Adhi sambil meminum air di dalam botol. "Kau selalu tahu... apa yang kubutuhkan," tambahnya lalu menggunakan handuk untuk mengelap keringat.
"Aku temanmu kan," ucap sang gadis. Adhi tersenyum tipis. "Tentu saja, Mia!" Setelah air botol itu habis, Mia mengambilnya lagi. Dan Adhi segera beranjak pergi meninggalkan Mia.
Mia hanya memandang punggung Adhi. "Berjalanlah lebih pelan, Adhi. Agar aku bisa berada di sisimu, bukan di samping atau di belakang, kau tidak akan bisa melihatku selamanya jika terus seperti ini," gumam Mia pada dirinya sendiri. Mia dan Adhitya telah bersahabat sejak kecil. Perlahan Mia merasakan ada hal yang lain selain persahabatan di antara mereka. Ialah cinta. Mia telah jatuh hati pada Adhi. Namun Adhi tak pernah membalas perasaannya. Itu karena Adhi selalu menganggap Mia sebagai sahabat karib, tak lebih. Perlakuan istimewa Mia padanya sama sekali tak membuatnya mengerti.
Suatu ketika, Mia mencoba melupakan Adhi dengan menjalin hubungan dengan Faisal. Berharap Adhi akan menyadari cintanya. Berbeda dengan keinginan awalnya, Adhi malah mendukung dan berteman dengan Faisal.
Kampus pun agak lenggang pagi ini. Para mahasiswa mengerjakan tugas yang diberikan dosen. Mia mengerjakan tugas dengan mahasiswa lain di teras kelas. Sementara Adhi dan Faisal malah bermain sepak bola di halaman depan kampus. Ada satu hal yang menarik perhatian para mahasiswa. Yakni kedatangan mobil sport hitam yang memasuki wilayah kampus. Pintu mobil terbuka dan muncul sesosok gadis dari dalam mobil. Kulitnya sawo matang dengan rambut ikal panjang. Kacamata hitam yang dikenakan melindungi matanya dari cahaya matahari.
Bola yang ditendang Adhi melambung dan mendarat di bagian depan sport hitam itu. Bentuk bola agak membekas di sana. Tanpa rasa bersalah, Adhi mengajak Faisal menjauh meski Faisal telah menyuruhnya untuk minta maaf pada gadis itu. Mia dan siswa lain hanya diam menunggu tindakan gadis itu selanjutnya. Sang gadis yang tak dikenali itu memungut bola di dekat ban.
"Hei!" bentaknya. Adhi dan Faisal pun menoleh. Bola dilempar oleh gadis itu dan ditangkap oleh Adhi. "Bola yang kau tendang telah merusak mobilku," katanya.
Dengan senyuman sinis, Adhi mendekatinya. "Begitu? Lalu apa yang kau inginkan, Nona Sombong? Aku mengerti kau orang baru dan tidak tahu di mana tempat parkir, dan mobilmu rusak karena ulahmu sendiri!" kilah Adhitya. Dia mengisyaratkan Faisal dan beberapa pemuda yang ikut bermain untuk pergi. Mia yang melihat itu, mendekati gadis berkacamata hitam.
"Hai, namaku Mia. Kau mahasiswa baru?" Mia memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan. Gadis itu menyambutnya. "Namaku Anaya."
"Maafkan sikap temanku tadi, dia memang begitu."
"Pemuda sok jago itu? Siapa dia?"
"Adhitya."
***
Anaya resmi menjadi mahasiswi baru di kampus itu. Ia berteman dengan Mia namun berselisih dengan Adhi. Setiap kali mereka bertemu, Adhi selalu mengabaikan Anaya. Melihat itu, Anaya jadi kesal juga. Pemuda itu harus diberi pelajaran! Anaya selalu memerhatikan kegiatan yang Adhi lakukan. Sekarang Anaya tahu jika Mia dan Adhi adalah rekan tari. Sebenarnya, Anaya ingin sekali bergabung dalam kelas tari. Anaya ingin menjadi penari hebat, namun sang ayah meragukan kemampuan tarinya hingga memupuskan harapannya untuk masuk sekolah tari.
Adhi bermain basket sendirian. Tanpa sepengetahuannya, Anaya berdiri di luar lapangan dengan tangan bersedaku. Dengan mantap dia mendekat lalu menangkap bola basket yang terlempar ke arahnya. Adhi menatapnya sinis.
"Untung kali ini kau berhasil menangkapnya, kalau tidak aku pasti akan mendengar tangisanmu!" cibir Adhi.
"Kau pikir hanya kau yang mampu bermain basket?" ucap Anaya sambil memantul-mantulkan bola di lantai. "Aku bahkan bisa mengalahkanmu!" Adhi tertawa kecil seakan meremehkannya. Dia berniat merebut bola dari tangan Anaya. Tak disangka, Anaya mengecohnya dengan manis. Bola terus digiring hingga dekat dengan ring. Dalam satu lontaran, bola langsung masuk ke dalam jaring basket.
"Ternyata kau hebat juga! Tak seperti yang kupikirkan!" puji Adhi. Anaya tersenyum kecut dan membelakangi Adhi. Tentu saja pemuda itu bingung.
"Hanya kau yang memujiku, aku ingin ayahku juga memuji dan mendukungku!" Anaya berbalik. "Kau tahu, aku sangat ingin masuk dalam sekolah tari, tapi ayah melarang."
"Apa kau pernah meyakinkan ayahmu?"
"Pernah. Aku ikut seleksi tari. Karena desakan ayah, kegugupanku timbul dan aku tidak lolos," kata Anaya.
"Buktikan lagi padanya! Bergabung saja dengan klub tariku. Aku akan mengajarimu!"
"Benarkah?" Anaya tampak bersemangat. Adhi mengangguk. "Kita berteman?" kata Adhi sambil mengulurkan tangannya. Dengan segera Anaya menyambutnya.
Mulanya Mia kaget bercampur senang saat tahu jika keduanya telah berteman baik. Namun setelah melihat kedekatan mereka, diam-diam Mia merasa cemburu. Bagaimana Adhi menatap Anaya dan sebaliknya, Mia yakin mereka saling menyukai.
"Kau cemburu, Mia?" tanya Faisal. Mia tak menjawab. "Aku tahu, aku hanya pelarianmu dari Adhi, bukan?"
Air mata kesedihan yang sejak tadi Mia pendam akhirnya luruh juga. "Maafkan aku, Faisal. Aku tidak bisa melupakan Adhitya. Rasa ini begitu dalam padanya...," isak Mia.
Faisal menepuk punggungnya. "Kenapa kau tidak pernah mengungkapkannya? Adhi tidak akan tahu kalau kau hanya diam. Cepat beri tahu dia sebelum terlambat!"
"Bagaimana denganmu?"
"Aku hanya teman karibmu kan?" ucap Faisal, tersenyum.
Benar, Mia harus mengungkapkan cintanya pada Adhi. Mia langsung berlari menuju ruang latihannya. Langkah Mia terhenti tepat di pintu masuk. Ia tak sanggup melangkah lebih jauh. Di dalam sana, Adhi begitu perhatian pada Anaya. Tarian yang mereka tampilkan sangat indah. Mereka mengobrol dengan candaan manis dari Adhi dan menghabiskan sandwich yang dibawa Anaya. Tak terasa air mata Mia kembali tumpah. Anaya memyadari keberadaan Mia. Mereka saling tatap sebentar dan Mia pergi menjauh. Merasa tak enak, Anaya pun mencari Mia.
"Mia!" panggil Anaya. Mia acuh dengan keberadaan gadis kaya itu.
"Kenapa kau kemari? Kau menyia-nyiakan kesempatan berdua dengan Adhi. Kembalilah ke sana!" usir Mia. Anaya malah duduk di sampingnya.
"Aku tahu kau... menyukai Adhi. Kau bukan lagi menganggap Adhi sebagai sahabatmu, tapi pemuda yang kau cintai...."
"Ya! Jika kau tahu itu apa kau akan menyerahkan Adhi padaku? Tidak kan?! Kau juga menyukainya dan kau pun berhasrat memilikinya! Kupikir kau dan Adhi hanya akan berteman, ternyata...." Mia menarik napas panjang. "Begini saja, kampus akan mengadakan kompetisi tari, kita berlomba, siapa yang kalah harus menjauhi Adhi! Kau setuju?"
Anaya hanya menatap Mia. Dia tidak ingin menyakiti sahabatnya, tapi hal ini juga akan menghancurkan perasaannya sendiri. Tangisan Mia telah berubah menjadi senyuman. "Oke, sampai ketemu!"
Kompetisi tari pun dimulai. Mia berpasangan dengan Faisal sementara Adhi bersama Anaya. Tak terasa dua pasangan ini berhasil memasuki babak final. Mereka akan menari satu panggung. Anaya ingin menunjukkan bakat terbaiknya di depan sang ayah. Tak disangka, Mia nekad melakukan kecurangan. Kaki Mia menjegal kaki Anaya. Sangat cepat, hingga tak ada yang menyadari kecuali Adhi dan Anaya sendiri. Namun bagi Anaya, hal itu Mia lakukan untuk bisa memiliki Adhi. Anaya dapat mengerti perasaan Mia. Rasa cinta yang terpendam lama, lalu secara perlahan dikeluarkan. Tapi orang yang dicintai tak pernah memandang apalagi mengerti. Anaya putuskan untuk mengalah di ronde ketiga nanti.
Anaya mematahkan heels yang dipakainya agar memiliki alasan untuk cidera. Karena itu Mia dan Faisal yang memenangkan kompetisi. Dan Anaya akan menepati janjinya. Sang ayah berencana mendaftarkannya dalam sekolah manajemen. Anaya pasti akan menuruti ayahnya untuk menjauh dari Adhi.
"Adhi, kita bersahabat sejak kecil, lalu salahkan aku jika aku... mencintaimu?"
"Apa?" Adhi tergelak. "Perasaanmu itu salah, Mia! Hubunganku dan kau hanya sebatas sahabat, itu saja! Aku tidak bisa membalas perasaanmu, karena aku telah memilih Anaya!"
Mia begitu terkejut mendengarnya. "Karena ulahmu waktu itu, Anaya kehilangan satu tiket untuk meyakinkan ayahnya! Kau sengaja melakukan itu kan?! Kau tidak suka pada Anaya! Aku kecewa padamu! Kau menghancurkan mimpi-mimpi Anaya!"
"Lalu bagaimana dengan mimpi-mimpiku yang di dalamnya selalu ada dirimu? Aku telah mencoba membuang perasaan ini, tapi saat memandangmu... perasaan itu muncul kembali, Adhi!"
Adhi seakan menulikan telinga. Dia melangkah pergi meninggalkan sahabat kecilnya. "Adhi!!" Ketiga orang itu pun hancur bersama-sama.
Saat Mia tiba di rumahnya, sang ibu terjatuh dari tempat tidurnya. Wanita itu tengkurap di lantai, tak bergerak sama sekali. Mia cepat membawanya ke rumah sakit. Kepala Mia terasa berat. Hatinya remuk karena Adhi dan sekarang ibunya yang mengidap gagal jantung juga terbaring lemah. Dokter telah menyarankan untuk melakukan tindakan operasi untuk ibunya. Namun Mia tidak punya cukup dana. Dalam kekalutan pikirannya, tak sengaja dia berpapasan dengan Anaya di rumah sakit itu.
"Mia, aku mengantar ayahku mengecek kardiovaskularnya. Aku akan meninggalkan kota ini. Kaulah yang berhak memiliki Adhi," kata Anaya.
Dokter yang menangani sang ibu telah keluar dari ruangannya. "Dokter, bagaimana ibuku?"
"Tindakan terakhir yang bisa dilakukan adalah operasi."
"Aku... aku belum mampu, Dokter...."
"Dokter, lakukan operasi untuk ibu Mia. Aku akan melunasi biayanya!" kata Anaya mantap.
"Baik." Dokter segera menyiapkan ruang operasi. Sementara Anaya mengurusi biaya administrasi. Mia hanya duduk di bangsal rumah sakit dengan perasaan sedih dan cemas. Adhi yang sejak tadi berputar-putar di rumah sakit itu, akhirnya menemukan Mia.
"Mia!" Adhi menghampiri dengan napas terengah-engah. "Tadi aku ke rumahmu dan tetanggamu bilang, kau membawa ibumu ke rumah sakit... bagaimana keadaannya?"
"Dia harus dioperasi...," bisik Mia.
Adhi mengeluarkan amplop cokelat dari ranselnya. "Ini... untuk biaya operasi ibumu. Mungkin uang ini belum cukup, aku akan bujuk dokternya!"
Mia merasa terharu. Adhi tidak mengabaikan apalagi melupakannya. Meskipun kepedulian Adhi hanya sebatas sahabat, namun hal ini lebih dari cukup bagi Mia. Adhi memang pantas menjadi sahabatnya. Tak lama, Anaya kembali menemui Mia. Dia sedikit terkejut dengan keberadaan Adhi. Sekuat hati Anaya berusaha abai terhadapnya.
"Ini surat persetujuan operasi, cepat tanda tangani. Aku sudah melunasi semua biayanya. Kalau begitu aku harus pergi. Aku tidak akan kembali ke kampus, aku akan pindah!" ucap Anaya lalu melangkah. Ingin Adhi mencegah namun terasa canggung. Sebab waktu itu Anaya sudah tidak ingin bicara dengannya.
"Anaya," panggil Mia pelan. Langkah Anaya terhenti. "Kau tidak boleh pergi, kau harus tetap di sini. Lupakan kejadian waktu itu. Sekarang aku menyadari jika Adhi sangat menyayangiku sebagai sahabatnya. Aku tidak sadar, keegoisanku telah menghancurkan hubungan kita. Kau berusaha mengalah tapi aku tahu, kau adalah pasangan yang tepat untuk Adhi!"
Mia tersenyum. Sebuah senyuman yang tulus diikuti oleh Anaya lalu Adhi sambil memeluk kedua gadis itu. Persahabatan juga cinta telah membawa banyak keceriaan dan mengukuhkan hubungan mereka. Anaya mengurungkan kepindahannya. Dan ayahnya setuju. Sekarang dia tidak akan mengatur hidup putrinya.
"Kau tahu Anaya, Oktober adalah bulan yang istimewa," ucap Mia. Mereka memperhatikan Adhi dan Faisal yang tengah bermain basket.
"Benarkah, kenapa?" tanya Anaya. "Karena bulan ini adalah bulan kelahiran Adhi."
"Kita beri dia kejutan?" usul Anaya. Mia mengangguk setuju.
"Hei! Ayo main basket dengan kami!" ajak Adhi bersama Faisal.
Mia menggeleng, dia tidak menyukai basket. Dia ingin menolak tapi Anaya keburu menarik tangannya. Mia tahu sekarang bahwa persahabatan itu lebih indah dari cinta. Apalagi cinta yang terus dipaksakan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Event; Kumcer
RandomEvent cerpen yang telah dilakukan oleh member Feedback Squad. 𝙋𝙚𝙢𝙗𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙩𝙪𝙡𝙖𝙣. 𝙄𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙙𝙞𝙘𝙖𝙧𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙢𝙖𝙠 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙠𝙪�...