🌱 Karya: Diya Halka 🌱Hari itu, Adinda melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika calon suaminya dibunuh dan motornya dirampok. Adinda berhasil lari dan meminta bantuan untuk menolong mas Radit, calon suaminya yang saat itu telah terbujur kaku dan bersimbah darah. Ia menangis sejadi-jadinya ketika mengetahui bahwa Mas Radit sudah tebujur kaku tanpa bernafas lagi, harapan pernikahan yang indah lenyap sudah, luka hatinya teramat dalam untuk disembuhkan, orang yang ia cintai kini tiada.
Hari-harinya kian suram, begitu banyak kenangan yang Mas Raditadit tinggalkan membuat dukanya kian menjadi setiap melihat tempat kenangan mereka, bahkan saat berdiam diripun bayang-bayang Mas Radit selalu muncul.
Malam itu rumah terasa sepi, jam dua para perampok yang berjumlah empat orang itu memasuki rumah Adinda dengan tenang, dua perampok memasuki kamar Adinda, Adinda yang terbangun pun terkejut melihat dua orang yang bertopeng dan membawa pisau itu menatap nyalang ke arahnya.
Adinda ingin berteriak namun sebelum hal itu terjadi seorang perampok dengan sigap menusuk perutnya, darah mengalir deras dari bagian tubuh yang tertusuk itu, Adinda menghembuskan nafas terakhirnya pada saat itu juga, dua orang perampok lainnya memasuki kamar orang tua Adinda dan menghabisi kedua orang yang sedang terlelap itu, para perampok itu mengembil apapun yang bisa mereka ambil dan mereka jual.
Pagi harinya, warga desa dibuat gempar dengan kejadian itu, mereka mengetahui kabar tersebut dari mang irman, tukang kebun yang setiap minggunya bekerja di rumah Adinda, Pada saat itu, mang dirman terkejut melihat banyak bercak darah berceceran di teras rumah majikannya, saat itu mang irman terkejut melihat ketiga majikannya yang sudah terbujur kaku.
Para warga dengan sigap menguburkan mereka di area pemakaman, hingga seiring perkembangan zaman pemerintah menghancurkan rumah yang sudah tidak berpenghuni itu menjadi gang yang menghubungkan dua desa, tapi warga disana juga tau bahwa gang tersebut angker.
Kematian Adinda dan keluarganya telah menjadi takdir yang tak dapat diubah lagi. Namun arwah Adinda seringkali menangis di area rumahnya yang kini sudah hancur, begitupun orang tuanya, mereka bergentayangan seakan meminta keadilan, walaupun keempat orang perampok itu telah mereka bunuh.
Malam itu seorang pemuda lewat di gang rumah angker itu, Andinda melihatnya dan berniat menggodanya.
"Mas, mas mau kemana," ucap Adinda yang telah menjelma menjadi perempuan cantik.
Pemuda itupun terkejut ketika mendapati seorang wanita cantik berdiri tepat di belakangnya, "Sssa-saya mau ke masjid depan, Mbak!" ucapnya terbata, kaget!
"Ngapain ke masjid segala sih, Mas?" tanya Adinda manja.
"Saya mau sholat, Mbak! Lha Mbak ngapain di sini kok tidak sholat sih? Agama Mbak apa?" tanya lelaki itu beruntun, ia sama sekali tidak menyadari bahwa ia sekarang sedang berbicara dengan seorang wanita yang sudah meninggal lima belas tahun yang lalu.
"Saya tidak suka sholat! Saya tidak punya agama! Ihihihihihiiiiii." Adinda pun berubah wujud menjadi sesosok kuntilanak yang khas dengan gaya tertawanya.
Pemuda yang bernama Luqman ini terkejut, kaget, shock! Tanpa basa-basi ia lari terpirit-pirit hingga sarung yang ia kenakan terlepas dengan sendirinya, namun untungnya ia masih memakai celana panjang, ia pun memegang sarungnya erat-erat dan ia gunakan untuk menutupi kepalanya, persis seperi wanita berhijab.
Ia lari dengan sangat kencang seperti angin puting beliung. Tanpa sadar ia terkentut-kentut dan wudlunya batal, ia tidak peduli. Yang Luqman pikirkan adalah bagaimana caranya agar ia bisa cepat sampai masjid.
KAMU SEDANG MEMBACA
Event; Kumcer
RandomEvent cerpen yang telah dilakukan oleh member Feedback Squad. 𝙋𝙚𝙢𝙗𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙩𝙪𝙡𝙖𝙣. 𝙄𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙙𝙞𝙘𝙖𝙧𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙢𝙖𝙠 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙠𝙪�...