Ujung Oktober

32 15 0
                                    

🍯 Juara 1 Event Oktober 🍯
~ Candra ~

Isak tangis pecah di gelanggang ini. Sebuah kata untuk merelakan. Aku pun termasuk yang harus merelakan. Telapak tanganku yang memegang bunga kesukaanmu. Mawar. Kini bergetar tak sanggup menerima keadaan. Engkau, kini yang pergi meninggalkanku.

Dalam jangkauan masa kita selalu bersama. Belenggu bernama janji tak terindah, menyulap diri menjadi pita kebahagiaan. Kita bahagia dengan janji itu.

Betapa ironisnya, dirimulah yang memutus ikatan itu. Masih tak terima aku!

Apa kau tak ingat, barisan huruf pada polaroid di dinding ruangmu? Terususun larikan kisah-kisah manis kita. Jajaran kenangan yang terabadikan lewat rupa gambar. Bahkan kau menangis haru ketika malam menyulap kenangan itu menjadi kilau cahaya melalui lampu-lampu kecil. Kau bilang tak perlu keluar tuk melihat bintang, karena repih-repih cahaya terang itu sudah di dekatmu. Kukira lampu-lampu yang berkelip di dinding, namun kau bilang, "Itu kamu."

Kubersikeras tuk menjadikan hubungan kita abadi, tetapi kau menolak keras. Mengapa? Apa hanya karena selang infus yang menjelajahi lenganmu? Apa hanya karena kau terus berbaring di ruang itu tanpa bisa melihat fajar dan senja yang kau kagumi sebelumnya?

"Aku tak rela kau harus mendekam dalam kesedihan berlarut."

"Apa kau gila!" teriakku. "Kau pikir aku rela terus kau gantung seperti ini?! Aku benar-benar mencintaimu—"

"Iya aku tahu. Tapi kau salah mencintai orang seperti aku! Aku sakit!"

"Apa hubungannya?!"

Sungguh, kau mengubah semuanya menjadi berpuaka. Tak tahukah cemas hatiku berkeliaran tak tentu arah. Kau yang pertama bagiku, dan aku ingin kau pula yang terakhir di hidupku.

"Semua kan terasa indah pada waktunya," ucapmu memintal rasaku tuk tak kembali bergejolak.

Bualan yang sepertinya hanya kau anggap kelakar. Sosok pria itu kah yang menghalagi jarak pandangmu padaku? Tak kau hiraukan lagi apa yang sudah kita bangun selama ini. Dia, yang menjadi pelengkap kisah rumit antara kita.

"Aku tak mencintaimu lagi. Aku ingin kita putus! Aku sudah punya orang lain yang mampu membuatku kuat bertahan dalam keadaan ini."

"Apa kurangnya aku?"

"Kau tidak kurang apa pun." Pelupuk matamu basah oleh air mata buaya, aku hanya menjadi kaku kering melihat kepalsuanmu. "Hanya saja ada yang jauh lebih darimu."

DEG!

Kau menjungkirbalikkan keadaan semudah membalik telapak tangan. Sementara sesuatu yang sudah bersarang dan bersemayam ini luruh seketika. Kepercayaan.

"Kau tahu? Sia-sia waktuku tebuang untuk menemani patung tak berperasaan yang sebentar lagi akan jadi tanah."

"Cukup! Aku ingin kau pergi dari sini!"

"Dengan senang hati."

Ombak yang biasa memecah karang berpidah di mataku. Selumbar yang menyayat akar perasaan membuat tumbang sekejap mata. Tak ada lagi ungkapan kata tuk mendeskripsikan keluluhlantahan ini.

Usai itu, aku bercokol seorang diri. Meringkuk sesal telah memilih tuk memilin jalan itu bersamamu. Menyesal tuk bilang akan mengabadikan hubungan kita. Lidahmu yang pahit itu menjepit nadi di ubun-ubunku. Kau telah berhasil mengubah diri ini menjadi naik pitam dan apatis.

Tetapi mengapa hati berbanding dengan akal sehat. Memutar kembali pararel film berdebu yang pernah kita alami. Ketika pertama kali kita jumpa, senyummu lebih cerah dari mentari yang selalu kulihat pagi hari. Tawamu yang meramaikan dari bisik tuk mengakhiri hidup oleh kesengsaraan. Bahkan aku selalu ingat bau kasturi rambutmu ketika tersapu angin. Kau yang membawa pelangi pada badai itu, kau yang membawa pelita dalam kabut itu. Kini kau yang mengembalikan badai dan kabut itu melingkupi diriku kembali.

Bertahun tahun kita bersama, kau begitu paham aku tidak suka akan kekecewaan, persis seperti apa yang telah kau lakukan dulu itu. Yang menjadikan hubungan kita berubah nama menjadi mantan.

Tapi kau juga lebih tahu bahwa aku lebih membenci kebohongan. Aku ingin bersumpah untuk membencimu karena kekecewaan saja. Tetapi kabar itu membuatku lebih sakit. Mengapa kau berbohong?!

"Hei, kau kekasihnya kan?"

"Mantan."

"Dia tidak ada hubungan apa-apa denganku. Aku sepupunya. Dia hanya ingin kau mencari penggantinya. Dia hanya ingin kau tidak merasa kembali pada keterpurukanmu. Dia baru saja meninggal."

Itulah, aku membenci kebohongan. Pria yang kau ikutkan dalam sandiwaramu itu yang mengungkap kebenaran. Kau bohong kalau kau akan sembuh. Kau bohong bahwa kau tak lagi mencintaiku. Kau bilang kita akan mengenakan toga kelulusan nanti. Dan kini, kau menorehkan rasa bersalah karena telah membencimu untuk sesaat. Di ujung Oktober ini yang menjadi saksi bisu pecahnya pengap harap dalam diriku.

Gundukan tanah di depanku masih nampak basah oleh sisa hujan beberapa jam tadi siang. Kini senja jingga berpendar memapangkan tancapan papan kayu bertuliskan namamu. Taburan bunga kesukaanmu ruah di gundukan itu.

Ketika semua langkah kaki beranjak dari baringmu, aku masih menungguimu. Menyemayamkan ikatan bunga yang menghangat tangkainya oleh genggamanku sedari tadi.

"Aku sudah tahu semua kebenarannya dari sepupumu. Aku juga berterima kasih padamu karena telah Tuhan hadirkan di hidupku. Saat acara kelulusan nanti, aku ingin membawa kenanganmu bersamaku."

Aku berbalik dan melangkah pergi, menapaki setapak antar nisan. Sesaat aku menoleh pada baringmu, mengapa kau membuatku tak bisa berterima kasih secara langsung. Dan kini, aku pun harus berpisah. Sampai jumpa, Amanda.

Event; KumcerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang