🌻 Karya : Safira Apriliani 🌻
"Kau ini memang anak pembawa sial, Rose! Asal kamu tahu, ibumu itu mati karena dirimu. Mungkin kalau ia masih hidup, ia pasti akan merasa sangat menyesal karena telah melahirkan anak sepertimu, aku yakin itu!" teriak Evron pada sang anak yang kini tengah meringkuk ketakutan di pojok ruangan.
Sudah kesekian kalinya Evron memarahi Rose karena alasan yang sepele--Rose tidak sengaja menjatuhkan piring hingga piring tersebut pecah dan pecahannya pun menyebar ke mana-mana. Padahal Rose sendiri sudah akan segera membersihkannya hingga benar-benar bersih, tanpa menyisakan satu pecahan pun yang akan mengakibatkan seseorang terluka karena ulahnya. Ia tidak mau hal itu sampai terjadi.
"Maaf, Yah. Rose tidak sengaja melakukannya." Rose mengatakan hal tersebut seraya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sangat ketakutan sekarang. Rose menahan isak tangisnya agar tidak terdengar sampai ke telinga ayahnya, karena apabila itu terjadi, ayahnya pasti akan lebih parah memarahinya atau bahkan bisa sampai memukulnya dengan menggunakan ikat pinggang miliknya.
"Stop memanggilku dengan sebutan Ayah, Rose! Bahkan aku sangatlah jijik mendengarnya!" ujar Evron yang berhasil membuat hati Rose terasa tertusuk oleh ribuan jarum yang tajam sekali. Sangat sakit. Itulah yang kini tengah Rose rasakan.
Rose tidak bisa lagi menahan tangisannya. Ia berusaha menutup mulutnya kuat-kuat agar isak tangisnya berhenti. Namun gagal, mata dan mulutnya itu sedang tidak bisa diajak kerja sama saat ini. Evron kini sudah berjalan mendekat ke arah Rose dengan seringai menyeramkan yang membingkai bibirnya.
Rose bergetar ketakutan. Kali ini apa yang akan dilakukan oleh sang ayah? Masih kurang kah luka di punggungnya yang belum lama ini ia berikan pada Rose?
Oh, Tuhan, tolonglah aku kali ini saja, aku sudah sangat lelah menghadapi semua ini, batin Rose bermonolog.
Evron sudah berada tepat di hadapan Rose dengan posisi yang sedikit jongkok. Ia meraih dagu Rose dengan kasar, mengabaikan tangisan pilu yang keluar dari bibir mungil sang anak. "Kau menangis?! Bagus! Inilah yang aku tunggu-tunggu," ucap Evron di depan wajah Rose, masih dengan senyuman mengerikan yang terpatri di bibirnya.
Evron beranjak dari posisinya lalu melangkah menjauh dari Rose. Ia mengambil sebuah ikat pinggang dari dalam kamarnya, kemudian kembali mendekati Rose. Rose menggelengkan kepalanya pelan seolah-olah memberi isyarat pada Evron bahwa ia jangan melakukan hal itu lagi. Sungguh, luka yang kemarin masih sangat membekas dan terasa sakit sekali. Bagaimana rasanya jika ditambah lagi? Cukup, Rose tidak mau membayangkan hal itu, karena dengan membayangkannya saja ia sudah dapat merasakannya.
Namun Evron tetaplah Evron, ia tidak mengindahkan tatapan memohon sang anak. Kemudian Evron langsung menarik tangan Rose agar berdiri dan membelakanginya. Rose pun memberontak dengan sekuat tenaga yang ia miliki, namun nihil, tenaganya tidak akan bisa sebanding dengan tenaga Evron.
"Awww!!! Tolong hentikan ini, Yah! Sakit sekali, sungguh!" teriak Rose saat pukulan pertama berhasil menyentuh punggungnya dengan tiba-tiba. Ia menangis tersedu-sedu merasakan sakit yang kini hanya ia yang merasakan. Suara tangis bercampur dengan teriakan kesakitan Rose tidak dihiraukan oleh orang yang tengah berdiri di belakangnya.
"Sudah kubilang, janganlah memanggilku dengan sebutan itu!" ucap Evron lantang lalu kembali mendaratkan ikat pinggangnya ke punggung Rose. Ia tersenyum bahagia saat melihat punggung Rose kini telah menampakkan bercak-bercak merah yang panjang dan mengeluarkan sedikit darah. Sungguh bagus karyaku ini! pikir Evron tersenyum puas.
Rose memejamkan matanya untuk menahan rasa sakit dan panas yang menjalari punggungnya. Tuhan, aku mohon tolong cabut nyawaku sekarang saja! Aku sangat mohon kepada-Mu, batin Rose memohon.
Evron tetap melanjutkan aksinya, kemudian memutar tubuh Rose hingga kini menghadapnya. Rose yang sudah sangat lemah, hanya menurut akan apa yang Evron lakukan setelah ini padanya. Evron pun menampar pipi kiri Rose dengan keras seraya berkata, "Mengapa wajahmu ini sangatlah mirip dengan ibumu yang telah mati itu?! Aku sangat membencinya!" Evron meraih dagu Rose lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. "Seharusnya, aku lebih memilih menyelamatkan ibumu saat melahirkanmu daripada menuruti keinginan sampahnya kala itu! Aku sangat-sangat menyesal ketika mengingatnya, sungguh!" lanjut Evron lalu kini menampar pipi sebelah kanan Rose dengan keras, hingga berhasil membuat kepala Rose membentur permukaan dinding dengan sangat kencang.
Rose pun mengerjapkan matanya pelan karena merasa pusing setelah kepalanya membentur dinding, ia merasakan cairan merah keluar dari kepalanya. Ia tersenyum lemah ke arah Evron. "Mungkin kau memang merasa menyesal karena mempunyai anak sepertiku. Tapi sungguh, aku sangat tidak menyesal mempunyai Ayah sepertimu, Evron," ujar Rose sangat lirih, ia sengaja tidak memanggil Evron dengan sebutan Ayah, karena ia takut Evron akan memarahinya kembali. "Aku menyayangimu," lanjut Rose dengan suara yang terdengar seperti bisikan, sebelum kegelapan benar-benar menghampirinya.
***
Rose terbangun dari tidurnya ketika ia mendengar suara keributan yang entah dari mana asalnya. Ia mengerjapkan netra cokelatnya untuk beradaptasi dengan cahaya yang masuk melalui celah-celah jendela. Ia menatap sekeliling dengan pandangan bingung. Aku di mana? tanyanya pada diri sendiri. Rose berusaha untuk mendudukkan tubuhnya, namun setelah itu ia meringis karena merasakan sakit di daerah punggungnya. Rose meraba kepalanya saat merasa sedikit pusing, ia pun baru sadar bahwa sedari tadi ada perban yang membalut kepalanya itu.
Ia kembali meneliti tempat di mana ia berada sekarang. Barang-barang yang terlihat sangatlah mewah. Bahkan sekarang Rose tengah duduk di atas tempat tidur dengan ukuran king size. Ia menengadahkan kepalanya ke atas, menatap lampu gantung yang sekelilingnya terdapat emas berkilauan. Kemudian beralih ke jendela besar dengan gorden berwarna putih bersih di samping kirinya. Rose kini menoleh ke samping kanannya dan matanya menangkap beberapa lemari besar dengan kaca transparan yang tersusun rapi, netranya kembali dibuat takjub saat melihat isi lemari itu ialah gaun-gaun besar yang sangat anggun. Sebenarnya, aku di mana sekarang? Tempat ini asing sekali. Apa ini yang namanya surga? batin Rose bingung.
Lamunan Rose buyar ketika mendengar suara pintu terbuka. Dari balik pintu berwarna emas itu muncullah seorang perempuan berparas cantik dengan pakaian berwarna hitam putih layaknya seorang pelayan. Ia tersenyum manis kepada Rose lalu mendekati Rose dengan langkah pelan.
"Oh, kau sudah bangun rupanya. Lebih baik kau segera mandi sekarang, lalu setelah itu aku akan mengantarmu ke ruang makan, Pangeran sudah menunggu di sana," ujar perempuan tersebut saat sudah berada di hadapan Rose.
Rose menampakkan wajah bingungnya. "Kau siapa?" tanya Rose. Sungguh, ia sangat tidak mengerti! Sebenarnya, di mana ia sekarang? Bagaimana bisa ia berada di tempat yang mewah seperti ini? Seingatnya, ia terakhir berada di kamarnya dan mendapatkan perlakuan tidak baik oleh ayahnya, lalu setelah itu kegelapan menyapanya.
"Oh, iya! Maaf, aku lupa memperkenalkan diri padamu. Perkenalkan, namaku Evelyn, aku adalah ketua maid di kerajaan ini." Evelyn sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda penghormatan lalu kembali tersenyum ramah.
"Kerajaan?" ulang Rose.
"Ya, sekarang kau sedang berada di Kerajaan Aldebaran, Rose."
"Kau... tahu namaku? Bagaimana bisa?"
"Tentu. Bahkan aku tahu semua tentangmu, Rose. Sudahlah, sekarang lebih baik kau mandi saja, tidak usah dipikirkan." Evelyn menarik tangan Rose menuju kamar mandi yang terletak tidak jauh dari lemari. Rose pun menurut, ia melangkah dengan pelan karena punggungnya yang terasa sangat sakit.
Saat sudah di depan pintu kamar mandi, Evelyn melepaskan genggamannya. "Apa kau bisa mandi sendiri, Rose?" tanya Evelyn. Rose pun menganggukkan kepalanya. "Baiklah, tiga puluh menit lagi aku akan kembali menjemputmu untuk sarapan bersama Pangeran," ujar Evelyn kemudian menjauh dari Rose. Baru beberapa langkah, Evelyn berbalik. "Ah, aku lupa mengatakan sesuatu! Nanti setelah kau mandi, kau boleh mengenakan salah satu baju yang ada di lemari itu," ungkap Evelyn seraya menunjuk lemari besar yang berisi gaun-gaun indah, "itu semua milikmu, Rose," lanjutnya. Rose pun hanya dapat menganggukkan kepalanya bak orang bodoh. Kini, ia sudah benar-benar sendirian lagi, Evelyn telah keluar dari kamarnya.
Rose membuka pintu kamar mandi, lagi-lagi ia dibuat takjub saat melihatnya. Benarkah ini kamar mandi? Sungguh, ini besar sekali. Bahkan ukurannya pun bisa dibilang sama dengan kamar tidurku dulu, batin Rose. Ia pun melangkah masuk ke dalamnya, netranya kini terbelalak sempurna saat melihat hampir semua benda yang ada di dalam kamar mandinya ini terbuat dari emas. Bahkan, toiletnya pun dari emas juga. Bagaimana bisa astaga?! Rose meraba pelan benda-benda tersebut, untuk memastikan emas-emas tersebut asli atau tidak.
***
Rose kini telah selesai mandi dan sedang berdiri di depan lemari besar dengan tubuh yang dibalut handuk. Ia menatap kagum semua gaun yang ada di hadapannya, Rose sangat bingung akan mengenakan gaun yang mana. Akhirnya, pilihannya jatuh pada sebuah gaun berwarna biru cerah dengan bagian bawahnya yang sedikit mengembang, Rose rasa, gaun ini adalah gaun yang paling sederhana dari sekian banyaknya gaun yang ada. Ia pun mengambilnya dengan perlahan lalu kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk memakai gaun tersebut di tubuhnya.
Rose beberapa kali mematut dirinya di depan cermin, memastikan apakah penampilannya berlebihan atau tidak. "Oh, astaga! Kau sangat cantik, Rose, sungguh!" teriak Evelyn histeris saat masuk ke dalam kamar Rose tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Rose pun terkejut, ia langsung berbalik badan menghadap Evelyn. Ia tersenyum canggung pada Evelyn.
"Ya sudah, sekarang waktunya sarapan! Yuk, aku akan mengantarmu ke sana," seru Evelyn dengan semangat. Rose melangkah mendekati Evelyn, namun ia lagi-lagi dibuat terkejut oleh teriakan Evelyn yang tiba-tiba. "Ya Tuhan, Rose! Kau belum mengenakan sepatu?! Mari sini, aku pilihkan sepatu yang cocok dan pas untukmu," ujar Evelyn seraya berjalan menuju lemari sepatu lalu membukanya, sehingga berhasil menampakkan banyak sepatu yang terlihat sangat-sangat indah. Kemudian Evelyn mengambil sebuah sepatu kaca berwarna biru dan ia hendak memakaikannya di kedua kaki Rose.
"Aku bisa memakainya sendiri," tolak Rose lalu mengambil sepatu tersebut dan memakainya.
"Baiklah, sudah selesai? Mari kita ke ruang makan." Evelyn melangkah keluar kamar terlebih dahulu kemudian diikuti Rose di belakangnya.
"Pangeran Xander, ini Rose sudah siap untuk sarapan," ujar Evelyn pada seorang pria yang tengah duduk di kursi meja makan dengan kepala yang tertunduk. Pria tersebut lantas mengangkat kepalanya ketika mendengar ucapan Evelyn. Beberapa detik, pandangannya bertemu dengan Rose lalu terputus karena Rose yang memalingkan wajahnya. Ya Tuhan, dia siapa? Mengapa tampan sekali? Bahkan dengan sekali tatap, aku rasa, aku telah jatuh hati padanya, batin Rose.
"Duduklah," perintahnya pada Rose. "Terima kasih, Evelyn. Sekarang kau bisa mengerjakan pekerjaanmu yang lain," lanjutnya seraya menatap Evelyn. Evelyn pun mengangguk paham dan berlalu pergi meninggalkan Rose dan Xander berdua saja.
"Duduklah, Rose. Mau sampai kapan kau berdiri di sana terus?" tanya Xander dengan lembut. Rose masih tetap bergeming di tempatnya, kakinya seolah kaku karena berhadapan dengan pria tampan seperti Xander ini. Xander pun bangun dari kursinya lalu melangkah mendekati Rose. "Kau menungguku menarik kursi untukmu, bukan? Baiklah, aku akan lakukan," ucap Xander seraya menarik pelan kursi dan mempersilakan Rose untuk duduk.
"Terima kasih," ujar Rose setelah duduk di kursinya. "Sama-sama, Cantik. Everything for you," balas Xander dengan senyuman manis di bibirnya dan ia kembali ke kursinya. Keduanya kini menjalankan sarapan tanpa ada sedikitpun suara yang keluar.
Sampai keduanya telah selesai makan, hanya ada keheningan yang menemani, hingga dehaman yang keluar dari mulut Xander menghilangkan semua itu. "Ehm, Rose, besok kita akan menikah," kata Xander yang berhasil membuat Rose tersedak air yang baru ia minum. Xander pun dengan segera mendekat ke arah Rose lalu menepuk punggungnya pelan. "Maaf kalau aku mengejutkanmu, tapi itu memang sungguh akan terjadi," jelas Xander.
Rose menatap Xander tepat di matanya. "Tapi, bagaimana bisa? Aku bahkan tidak mengenal dirimu. Namamu saja aku tidak tahu," ungkap Rose bingung. "Kau tidak mengenaliku, Rose? Aku Xander, teman masa kecilmu, bagaimana bisa kau melupakanku begitu saja, Rose?" Xander menangkup wajah Rose dengan kedua tangannya.
Rose mengerjap bingung. "Kau... Xander Aldebaran? Seseorang yang dulu sangat suka menarik rambutku saat sedang dikepang?" tanya Rose ragu.
"Ya, itu aku, Sayang. Sekarang aku akan menepati janjiku waktu itu untuk menikahimu, Rose. So, will you marry me?" Xander mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah yang berisi cincin berlian lalu membukanya di hadapan Rose.
Rose menutup mulutnya tidak percaya, dengan perlahan ia menganggukkan kepalanya. "Yes, i will," ucap Rose dengan senyum manisnya. Xander pun dengan segera mengambil cincin berlian tersebut dan menyematkannya di jari manis Rose. Setelah itu, Xander dengan tiba-tiba langsung menerjang tubuh Rose dengan pelukannya.
Rose meringis pelan saat Xander tidak sengaja menekan luka di punggungnya. "Kau kenapa?" tanya Xander seraya melepaskan pelukannya. "Kau menekan luka di punggungku, Xander. Percayalah, itu sakit," ujar Rose pada Xander. "Buka bajumu sekarang, Rose. Aku ingin melihat lukamu itu dan aku juga akan mengobatinya," tutur Xander dengan santainya. "Hah? Buka bajuku? Kau kira aku wanita murahan yang mau buka bajuku di sembarang tempat? Kita belum menikah, jadi aku tidak bisa melakukan itu," ungkap Rose yang berhasil membuat senyum misterius di wajah Xander terbit.
"Apakah itu sebuah kode, Sayang? Kau ingin menikah denganku sekarang? Iya?" tanya Xander pada Rose yang kini sudah membelalakkan matanya tidak percaya.
***
Xander dan Rose kini telah berada di sebuah kamar yang sangat besar setelah mereka berdua selesai melaksanakan pernikahan. Ya, Xander tidak main-main dengan ucapannya, sekarang mereka berdua telah sah menjadi suami istri. Xander juga telah menceritakan semuanya pada Rose, bagaimana awalnya Rose bisa berada di kerajaannya. Semua bermula dari Xander yang sedang ingin berkunjung ke rumah Rose, namun ia menemukan Rose dengan keadaan tidak sadar dan ada darah yang mengalir dari kepalanya. Dengan cepat, Xander menyuruh beberapa prajuritnya untuk membawa Rose ke istananya. Evron yang baru saja ingin masuk ke dalam rumahnya tersentak kaget saat melihat banyak prajurit Xander di depan rumahnya. Evron sudah berniat untuk melarikan diri, tapi sebelum itu, sebuah truk melintas lalu menabraknya hingga tubuh Evron terpental sangat jauh dan sudah dipastikan ia tidak akan bisa selamat.
"Hiks... Ayah, Xander... hiks...." Rose tidak bisa berhenti menangis saat mendengar cerita Xander bahwa Evron telah meninggalkannya. Sungguh, walaupun Evron suka berlaku kasar pada Rose, ia tidak pernah menaruh dendam sedikitpun pada ayahnya itu.
"Sudahlah, Rose... Ayahmu memang pantas mendapatkan itu, jadi berhentilah menangis. Sekarang kita istirahat, oke?" Xander menutup salep yang baru saja ia gunakan untuk mengobati luka di punggung istrinya kemudian meletakkannya di atas nakas.
"Tidur, Rose," ujar Xander yang kini sudah berbaring di atas kasur. Rose pun dengan perlahan ikut berbaring di samping suaminya. "Tapi... Xander, ada satu hal yang belum kamu ceritakan ke aku."
Xander yang sudah ingin menutup matanya, terpaksa harus membukanya kembali demi meladeni ucapan sang istri. "Apa?" tanyanya.
"Bagaimana bisa kamu memimpin kerajaan sebesar ini?"
"Bukankah sudah kubilang, kalau kerajaan ini adalah warisan dari kakekku. Karena kakekku dan juga kedua orangtuaku yang mengalami kecelakaan beruntun lalu meninggal dunia, jadilah kerajaan ini diberikan padaku, sebagai cucu semata wayangnya," jelas Xander berusaha sabar.
"Oh, iya kah? Sorry kalau begitu, hehe. Tapi, Xander...."
Ucapan Rose terhenti ketika Xander mencium bibirnya dengan cepat. Awalnya pelan, namun lama kelamaan berubah menjadi sedikit kasar. Xander kini sudah berada di atas tubuh Rose dengan kedua tangan yang menopang berat badannya. Rose memukul dada Xander beberapa kali pertanda ia telah kehabisan napas. Xander pun melepaskan ciumannya dan menatap Rose dengan tatapan yang... Entahlah Rose juga tidak mengerti.
"Rose, sedari tadi aku sudah berusaha untuk tidak menyerangmu karena aku mengingat punggungmu yang masih sakit itu. Namun, kau sendiri yang memaksaku melakukan hal ini, Rose. Mulutmu itu bawel sekali dan membuatku sangat gemas. Jadi, apakah kau mengizinkanku melakukan hal itu? Percayalah, aku akan hati-hati melakukannya." Xander menatap Rose tepat di maniknya, dan seakan terhipnotis oleh tatapan Xander, Rose menganggukkan kepalanya cepat. Xander pun tersenyum lalu mematikan lampu yang ada di kamarnya.
Takdir Tuhan. Dua kata yang mampu mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Semesta memang sangat ajaib.
The End
KAMU SEDANG MEMBACA
Event; Kumcer
RandomEvent cerpen yang telah dilakukan oleh member Feedback Squad. 𝙋𝙚𝙢𝙗𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙩𝙪𝙡𝙖𝙣. 𝙄𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙙𝙞𝙘𝙖𝙧𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙢𝙖𝙠 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙠𝙪�...