Cinta nan Lara

30 9 0
                                    

🌻 Juara 1 Event Desember 🌻
< Ronny Purwanto >

Namaku Sabrina Sanberg, umurku 17 tahun dan aku adalah seorang putri dari kerajaan Avolire. Sebuah kerajaan besar yang subur dan kaya. Ayahku, raja Lawrence Sanberg adalah seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Di bawah pemerintahannya, kerajaan maju dengan pesat dan wilayahnya pun semakin luas.
Sebagai seorang putri, aku tinggal di sebuah istana yang mewah. Kamarku saja berukuran 8x12 meter. Cukup luas untuk memuat kasur lengkap dengan tiang kelambunya,  lemari pakaian, meja kursi berhiaskan ukiran kayu dan tentunya sebuah cermin besar kesukaanku. Benda itulah yang selalu kupakai untuk mematut diri sebelum berpergian. Aku pantas bersyukur dengan semua yang kumiliki ini karena pada masa itu, tak banyak orang yang bisa mendapatkan kemewahan sepertiku.
Pagi itu, sama seperti pagi-pagi sebelumnya, aku sedang duduk di depan cermin sementara seorang pelayan menyisir rambut panjangku yang berwarna hitam kecoklatan. Ia pun menanyakan model rambut seperti apa yang kuinginkan.
“Hmm… French braid saja,” jawabku. Itu memang model kesukaanku. Apalagi, hari ini ayahku bilang bahwa seorang putra bangsawan dari timur akan datang untuk melamarku. Pada masa itu, pernikahan memang lebih sering terjadi karena perjodohan.
Mendengar jawabku, sang pelayan pun langsung bekerja menata rambutku. Namanya Adeline, ia sudah lama mengabdi untuk keluargaku—bersama suami dan anaknya. Mereka semua adalah pelayan yang setia.
Tok… tok… Beberapa saat kemudian, terdengar pintu kamarku diketuk. Adeline pun meninggalkan pekerjaannya sejenak untuk membukakan pintu.
Seorang pemuda sebayaku yang bertubuh agak gemuk tampak berdiri di balik pintu sambil membawa nampan berisi segelas susu dan sepotong roti. Namanya Robin, putra Adeline yang bertugas mengantarkan makanan dan minuman dari dapur menuju ke kamarku.
“Letakkan saja di meja,” kataku pada Robin tanpa menoleh. Melalui pantulan di cermin, aku tahu bahwa ia sempat menatapku sepersekian detik sebelum menunduk malu.
“Baik nona,”  jawab Robin patuh. Ia pun meletakkan sarapanku di meja lalu segera undur diri. Sebenarnya kami sudah saling mengenal sejak kecil. Aku pun merasa cukup nyaman berteman dengannya karena perangainya yang baik dan sopan. Hanya saja, takdirnya amat berbeda denganku karena terlahir dari keluarga pelayan miskin.
Meski hidupku berkelimpahan secara materi, namun terkadang, tinggal di istana bisa jadi sangat membosankan. Ketika anak-anak lain bebas bermain ke manapun mereka suka, aku tak boleh seenaknya pergi keluar dari istana. “Di luar sana berbahaya.” Begitulah ibuku selalu berpesan. Hanya Robin yang sering menemaniku ketika aku sedang bosan.
Suatu ketika, aku pernah meminta Robin menemaniku menyelinap pergi keluar dari istana. Ia sebenarnya tidak mau karena takut akan dihukum, namun aku memaksa. Aku benar-benar sedang bosan saat itu. Aku ingin tahu seperti apa dunia luar yang selalu mereka anggap berbahaya. 
Setelah berulang kali membujuk Robin, akhirnya dia bersedia mengajakku pergi dengan syarat kami harus pulang sebelum gelap. Saat itu kedua orangtuaku sedang pergi keluar kota untuk sebuah urusan kerajaan.
Hari itu aku pergi pagi-pagi sekali. Bertahun-tahun tinggal di istana membuatku hapal betul mana lokasi yang penjagaannya tidak begitu ketat. Dengan mudah, aku berhasil menyelinap keluar dari istana dan pergi ke sisi barat kota—sesuai perjanjianku dengan Robin kemarin.
“Selamat pagi nona,” sapa Robin hormat.
“Jangan terlalu kaku. Di luar istana, kau bukan pelayan. Kita berteman saja,” sahutku sambil tersenyum.
“Ta… tapi nona…”
“Tak ada tapi. Ini perintah!” sahutku tegas.
“Ba… baiklah kalau begitu.”
“Akan kemana kita sekarang?” aku tak sabar untuk segera menyambut petualangan baru hari itu.
“Ayo kita pergi ke danau. Di sana pemandangannya sangat indah,” ajak Robin.
Kami pun berlari-lari kecil keluar dari kota. Tak ada yang mengenaliku saat itu karena pakaian dan penampilanku sangat sederhana. Rambutku hanya kuikat ala kadarnya sehingga angin semilir bebas menerbangkannya. Ah… nikmat sekali.
Tak lama kemudian kami pun tiba di danau. Benar apa kata Robin, pemandangan di situ sangat indah. Airnya berwarna biru jernih denga latar belakang pohon-pohon cemara menjulang sampai ke langit. Udaranya pun sangat segar. Aku menarik nafas sebanyak yang kubisa sambil mencelupkan ujung-ujung jariku ke dalam air kolam yang dingin meyegarkan.
“Kau suka memancing?” Robin bertanya sambil menangkap seekor cacing dan mengaitkannya pada ujung kail.
“Hmm… sejujurnya aku belum pernah mencobanya.”
“Baiklah, aku akan menunjukkannya padamu. Kau harus melemparkan umpannya sejauh mungkin,” ujar Robin sambil mempraktekan apa yang ia ucapkan. Setelah itu, ia menyerahkan gagang pancingnya padaku.
“Pegang ini. Jika kau merasakan goyangan pada kailmu, berarti ada ikan yang berhasil kau tangkap,” jelasnya lagi.
Aku pun menurut saja. Entah kenapa aku merasa nyaman mengikuti apa yang disampaikannya—meski biasanya akulah yang selalu memberikan instruksi.
“Santai saja dan cobalah untuk nikmati ketenangannya. Biasanya aku merasa pikiranku lebih segar setelah memancing,” cerita Robin. Ia lalu mengumpulkan beberapa ekor cacing lagi lalu memasukkannya ke dalam kantong bajunya.
Ternyata benar apa yang Robin sampaikan. Hatiku terasa begitu tenang dan damai. Suara angin berdesir meniup dedaunan melengkapi kicau burung yang hinggap di pepohonan. Sinar matahari yang cerah membuat suasana mulai terasa hangat. ‘Nyaman sekali’ batinku.
Beberapa saat kemudian, tali pancingku mulai terasa bergoyang-goyang. Pada awalnya terasa lemah namun semakin lama semakin kuat. Sepertinya aku berhasil menangkap ikan besar. “Cepat bantu aku!” teriakku pada Robin.
Robin pun bergegas mendekatiku dan ikut menarik tongkat pancing yang kugenggam. Tak mau menyentuhku, ia sengaja memegang bagian lain dari tongkat pancing itu. Ia sadar posisinya sebagai seorang pelayan. Sejenak, aku menatap wajahnya yang tampak serius sedang bergulat dengan sang ikan.
“Ugh, pasti besar sekali ikannya,” gumam Robin.
Tak disangka-sangka, tiba-tiba tubuh kami berdua tersentak ke belakang, Tubuhku menimpa Robin yang sudah jatuh lebih dulu. Rupanya ikan besar itu berhasil meloloskan diri. “Aduuh…” erang Robin kesakitan.
“Eh… Ma… maaf nona…” Menyadari posisiku yang berbaring di atas tubuhnya, Robin  bergegas berdiri lalu membungkuk dan memohon maaf sekali lagi. Ia tahu betul bahwa sebagai seorang pelayan, ia sama sekali tidak boleh menyentuhku. 
“Tenang saja, aku tak apa-apa,” jawabku sambil tersenyum sementara Robin terus membungkukan badan. Sekilas aku melihat wajahnya bulatnya bersemu merah.
“Ayo pasangkan lagi umpannya, aku mau mencoba lagi,” pintaku kemudian.
“Baik nona…” Tanpa menatapku, Robin bergegas mengeluarkan cacing dari kantongnya dan memasangnya lagi sebagai umpan.
Aku pun melanjutkan aktivitas memancingku lagi. Entah kenapa, setelah kejadian tadi, Robin terasa seperti agak kaku. Aku sampai harus mengingatkannya berkali-kali agar tak perlu memanggilku dengan sebutan nona, melainkan Sabrina.
Ketika hari menjelang siang, kami telah berhasil menangkap setidaknya lima ekor ikan. Robin menggosokkan ranting kering untuk membuat api. Ikan bakar pun menjadi menu santap siang kami kala itu. Entah mengapa, meski sederhana, rasanya tak kalah nikmat dengan masakan istana yang biasa kusantap.
Setelah kenyang, kami memutuskan untuk membawa pulang dua ekor ikan yang tersisa. “Berikan untuk kedua orangtuamu,” kataku. Robin pun mengangguk dan kami berjalan pulang kembali ke istana.
Di tengah jalan tiba-tiba muncul seekor anjing hutan liar. Ia menggonggong keras membuatku ketakutan. Robin pun menyerahkan ikan yang terbungkus daun kepadaku lalu mengambil sebuah tongkat untuk mengusir binatang itu.
Namun anjing itu sepertinya tidak takut. Ia menggeram sambil terus berjalan mendekat. Aku pun menyembunyikan tubuhku di belakang Robin yang sedang memukul-mukul tanah. Aku tahu, Robin pun sama takutnya sepertiku, namun sebagai seorang pelayan, ia harus melindungiku.
Anjing itu tiba-tiba berlari menyerang. Robin memukul tubuh binatang itu hingga terjatuh namun ia segera bangkit dan kembali menerkam, sangat buas. Berikutnya ia melompat ke arahku sambil memamerkan taringnya yang tajam. Aku melangkah mundur namun justru terjatuh. Robin terus berusaha menghalau terkaman anjing itu.
Namun malang bagi Robin, binatang liar itu berhasil menggigit kaki kirinya. Ia pun berteriak kesakitan sambil memukul tubuh anjing itu lagi hingga gigitannya terlepas.
Karena kakinya luka, Robin tak mampu mengejar ketika anjing itu berlari mendekatiku. Aku berusaha berdiri namun terlambat. Anjing itu bergerak sangat cepat dan dalam sedetik sudah melompat menerkam. Aku pun berteriak sambil menutupi wajah dengan kedua tanganku.
Namun setelah beberapa saat aku sama sekali tak merasakan sakit. Rupanya anjing itu hanya kelaparan. Ia pergi setelah mengambil dua ekor ikan yang kubawa tadi. Aku pun menghela nafas lega lalu bergegas mendekati Robin yang mengerang kesakitan.
“Ayo kubantu kau berjalan.” Aku berusaha melingkarkan tangannya ke belakang leherku namun ia menolak.
“Jangan nona… Aku masih bisa berjalan.” Robin berusaha berdiri lagi, namun rasa nyerinya tak tertahankan. Ia hanya bisa melompat-lompat dengan sebelah kaki—dan setelah lompatan ketiga, ia terjatuh.
“Sudahlah, biarkan aku membantumu.” Melihat kondisi Robin seperti itu, aku pun memaksanya. Kulingkarkan lengannya di belakang leherku lalu kubantu dia berdiri lagi. “Pelan-pelan saja,” kataku.
Aku pun memapahnya hingga akhirnya kami tiba di rumahnya yang sederhana. Bu Adeline begitu terkejut melihatku bersama anaknya yang terluka. “Apa yang terjadi?!” teriaknya panik. “Mengapa kau bisa bersama putri Sabrina?” Penampilanku bisa mengecoh orang lain, namun tidak bagi Adeline. Ia sudah mengenalku sejak kecil.
“Dia tidak salah. Akulah yang mengajaknya pergi,” ceritaku berusaha menolong Robin dari amarahnya. “Ia terluka karena melindungiku dari serangan anjing liar.”
“Ya Tuhan…” kenapa jadi begini. Bu Adeline segera membersihkan luka di kaki Robin dan memberinya obat. Aku pun pamit untuk kembali ke istana.

“Semuanya sudah siap nona.” Tepukan kecil di pundakku itu membuyarkan lamunanku dan mengembalikanku ke kamar. Aku menatap wajahku sendiri di depan cermin besar kesayanganku.
“Ayo sayang, mereka akan segera datang.” Ibuku datang untuk menjemputku ke aula istana. Di sanalah kami akan menyambut rombongan bangsawan dari timur. “Ya mama.” Aku pun melangkahkan kaki mengikuti ibuku keluar dari kamar.
Aku tiba di aula tepat pada waktunya. Hanya sebentar saja, rombongan bangsawan dari timur itu sudah tiba. Mereka membungkuk hormat lalu memperkenalkan diri. Bangsawan itu bernama Vincent Adler sementara anaknya—yang akan menjadi suamiku—bernama Gerard Adler. Tubuhnya tegap dan wajahnya rupawan. Sangat layak untuk menyandang gelar seorang putra bangsawan.
Setelah perkenalan itu, kami menuju ke meja perjamuan untuk makan bersama. Tempat duduknya sengaja diatur sehingga aku duduk bersebelahan dengan Gerard—kami pun mulai mengobrol secara lebih dekat. Kesan pertamaku padanya cukup baik. Ia pria yang ramah dan bersahabat.
Hubunganku dengan Gerard pun semakin dekat hingga tibalah hari pernikahan kami. Hatiku berdegup kencang ketika akhirnya kami mengucapkan janji pernikahan di hadapan seorang pemuka agama. Seluruh negeri bersukaria pada hari itu. Jamuan makan pun sudah tersedia untuk semua.
Berbagai macam pertunjukan ditampilkan untuk menghibur para tamu undangan dari seluruh penjuru negeri. Aku duduk bersebelahan dengan Gerard diapit oleh kedua orangtua kami.
“Mari bersulang untuk kebahagiaan Gerard dan Sabrina!” Ayahku bangkit berdiri diikuti oleh para hadirin semua.
Namun belum sempat ada yang minum, tiba-tiba Robin berteriak “Jangan diminum Paduka! Itu beracun!”
“Apa maksudmu?! Jangan lancang!” hardik sang raja.
“Mohon ampun Yang Mulia, hamba tidak bermaksud lancang, tetapi hamba melihat Tuan Vincent menaburkan racun di gelas Anda saat semuanya fokus melihat pertunjukan tadi.”
“Berani-beraninya kau memfitnahku!” bentak Tuan Vincent. Wajahnya memerah karena marah.
“Aku tidak sedang memfitnah Tuan. Akan kubuktikan ucapanku.” Robin pun maju ke depan dan langsung meminum anggur dari gelas sang raja. Sementara itu para undangan mulai riuh karena kehebohan yang terjadi.
Ternyata ucapan Robin terbukti benar. Ia langsung muntah sesaat setelah meminum anggur itu. Tubuhnya mengejang dan tak lama kemudian, ia pun wafat. Suasana yang tadinya meriah sontak berubah menjadi sebuah horor mengerikan. Sang raja langsung memerintahkan para pengawalnya untuk menangkap keluarga Adler.
Setelah diinterogasi, akhirnya terungkap bahwa keluarga Adler berniat membunuh raja agar Gerard bisa menggantikan posisinya. Predikatnya sebagai suamiku membuat dirinya berhak atas tahta kerajaan Avolire. Ternyata mulut manis dan sikap ramahnya kepadaku selama ini hanyalah topeng belaka. Di balik semua itu, ia memiliki niat yang busuk. Sungguh aku merasa begitu bodoh sempat percaya kepadanya. Untung saja Robin mengetahui kejahatannya sehingga ayahku selamat dari kematian.
Ya, aku bersedih atas kepergian Robin yang begitu tragis. Sebagai bentuk penghormatan, aku meminta ayahku untuk mengangkat derajat keluarganya dan menghadiahi mereka dengan sebidang tanah yang cukup luas.
Pagi itu adalah hari pengabdian terakhir keluarga Robin sebelum ia dan suaminya diangkat menjadi tuan tanah. Seperti biasanya, Adeline membantuku menyisir rambut panjangku yang indah.
“Ini ada surat untukmu,” ujar Adeline tiba-tiba.     
“Oh… Dari siapa?” tanyaku
“Dari Robin. Sebenarnya ia ingin memberikan surat ini seminggu yang lalu, tapi aku melarangnya,” lirih Adeline. Aku bisa melihat setitik air mata mengalir di pipinya.
Setelah Adeline pergi dari kamarku, aku baru membuka suratnya :

Ketika hati terasa begitu menyakitkan, apakah gerangan yang dapat menyembuhkan?
Ketika mimpi tak mungkin jadi kenyataan, apakah tetap terlelap menjadi satu-satunya jalan?

Nona Sabrina, maafkan hambamu ini karena telah berani memiliki perasaan terhadapmu. Aku benar-benar orang yang kurang ajar. Namun aku sungguh tak mampu menahannya lagi. Apalagi minggu depan kau akan segera menikah dengan seseorang yang begitu hebat.

Anggaplah surat ini sebagai perpisahan dariku yang tak sanggup melihatmu bersama yang lain. Aku tak tahu… Mungkin aku akan pergi berkelana ke kota lain untuk menghilangkan rasa ini. Selamat untuk pernikahanmu, semoga bahagia selamanya

Dari aku yang tak tahu diri namun tulus mencintaimu,
Robin

Tanpa kusadari, air mataku menetes membasahi kertas kumal yang kupegang erat. Bayang-bayang Robin kembali muncul dalam benakku dan membawaku dalam kenangan-kenangan indah masa kecilku bersamanya.
Selamat jalan Robin…. Aku pun mencintaimu….

Event; KumcerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang