Oh God, Is That You?

8 1 0
                                    

Juara 2 Event April
~ Ronny Purwanto ~

Aku menyeka peluh yang menetes membasahi dahi, menatap hidangan yang telah kupersiapkan untuk makan malam. Semua tampaknya sudah sempurna. Bulgogi, kimchi, dan miyeok guk, dilengkapi dengan hwachae yang segar menawan hati. Ah, aku yakin dia pasti menyukainya. Selengkung senyum tersungging manis menghias bibir kecilku.
Baiklah, sekarang saatnya membersihkan diri dan menunggu suamiku pulang, batinku. Di hari ulang tahun pernikahan kami yang pertama ini, aku ingin semuanya istimewa. Bahkan masakan yang biasanya disediakan oleh koki pribadi kami, kini kupersiapkan sendiri. Ia hanya membantu dan memberikan beberapa saran saja.
Usai mandi dan mematut diri, aku duduk sejenak melepas lelah di tepi kasur. Kuelus perutku yang kian membuncit karena kini kehamilanku sudah memasuki trimester ketiga. "Halo sayang, lagi apa di sana? Mama uda kangen kamu. Pengen cepat2 ketemu deh," bisikku pada sang janin.
Sejenak kemudian, kuraih teleponku yg berdering nyaring. "Ssh ... tenang ya sayang," ujarku kepada si bayi yang heboh menendang-nendang. Sepertinya dia ikut menikmati bunyi ringtone-ku yang memang asyik buat bergoyang.
Layar ponselku menampilkan nama suamiku di seberang sana.
"Halo? Uda mau pulang kan?" jawabku ceria.
"Maaf, Yoona, aku terlambat. Ada yang masih harus kuselesaikan. Kamu makan duluan ya. Ntar si dedek kelaperan."
"Ooh ...," sahutku pelan. Aku yakin ia bisa menangkap riak kekecewaan hatiku yang tersirat lamur dalam balutan nada. "Ya sudah, aku tunggu ya. Jangan lama-lama," sahutku seraya mematikan sambungan telepon.
Mendadak mood-ku berubah drastis. Awan mendung seolah menaungi relung jiwaku yang sepi. Sudah beberapa minggu ini, Mae Jung sering pulang terlambat. Suamiku itu selalu beralasan masih ada urusan yang harus diselesaikan. Aku pun berusaha percaya, tetapi insting wanitaku tak sanggup berkompromi semudah itu. Aku merasa seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Saat itu juga, aku memutuskan untuk mengirimkan chat pada Suzy, sahabatku yang saat ini sedang ada dalam satu proyek film yang sama dengan suamiku. "Mae Jung bilang pulang telat karena masih ada kerjaan. Bener gak sih?"
Suzy tak memerlukan waktu yang lama untuk menjawab. "Oh ya? Dia uda pergi dari jam lima tadi."
Detik itu juga, jantungku seolah melompat hendak keluar. Denyutnya terasa meningkat hingga level yang belum pernah kurasakan. Kepalaku panas dan telingaku seperti berdengung. Dengan tangan gemetar, aku mengetik chat balasan untuk Suzy. "Tolong bantu aku mencari tahu ke mana perginya. Dia belum pulang sampai sekarang."
Bersamaan dengan terkirimnya chat itu, tubuhku terasa kosong. Apakah kecurigaanku benar? Betapa pun kerasnya usahaku untuk mengusir pikiran-pikiran negatif dari benakku, bayangan mengerikan bahwa suamiku selingkuh terus menerus menghantui. Meski perutku lapar, nafsu makanku kini hilang tertelan gejolak jiwa yang tak tenang.
Dengan berat hati, akhirnya kupaksakan diri untuk makan, setidaknya demi sang janin. Lauk yang tadinya kucecap begitu lezat, mendadak kini terasa hambar. Dengan susah payah, kupaksa makanan itu melewati kerongkonganku yang kering.
Usai makan, aku mendapati sebuah pesan dari Suzy. Dengan jemari yang gemetar, kuberanikan diri untuk membukanya. "Aku belum mendapatkan informasi apa pun mengenai Mae Jung. Besok akan kucoba lagi."
Aku mengembuskan napas panjang seraya mendudukkan diri di sofa. Kunyalakan TV layar lebar di hadapanku, untuk setidaknya menikmati hiburan ala kadarnya. Drama remaja yang tertampil di sana mengingatkanku pada masa beberapa bulan yang lalu, kala aku masih aktif sebagai artis dan bintang iklan. Sebagai seorang Im Yoona, namaku memang sudah tenar di dunia entertainment. Saat ini, aku memutuskan untuk tidak mengambil job apa pun, mengingat kehamilanku yang sempat bermasalah.
Setelah beberapa lama menghabiskan waktu di depan TV, kudengar deru mobil milik Mae Jung masuk ke garasi. Hatiku mendadak kalut, haruskah aku berterus terang mengenai kecurigaanku, atau sebaiknya kusimpan dulu sampai ada petunjuk lain yang cukup kuat.
Kupaksakan seulas senyum tersungging di bibir ketika melihatnya tiba di ruang tengah. "Sudah makan? Ada apa kok belakangan ini sering pulang terlambat?" tanyaku selembut mungkin seraya memerhatikan wajah tampannya yang tampak lelah.
"Yah biasa, ada ketemu sama Song Jee," sahutnya singkat. Song Jee adalah salah satu sutradara yang cukup ternama. Saat ini suamiku memang sedang menggarap sebuah proyek film yang baru bersamanya. Selain sebagai aktor, ia kini mencoba memperluas karirnya dengan merintis sebuah production house.
Kutemani dia menyantap makan malamnya yang terlambat. Ia mengaku belum sempat makan tadi. Entah memang benar atau ia hanya ingin menyenangkanku, aku tak tahu. Ia makan dengan lahap seperti biasa.
Malam itu kupandangi wajah suamiku yang sudah tertidur. Begitu tenang dan polos seolah tanpa beban. Ah, sudahlah, mungkin kecurigaanku selama ini tidaklah nyata, batinku. Aku pun berpaling seraya memejamkan mata dan terlelap.
Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Suamiku semakin sering pulang terlambat. Ia mengaku proyeknya sudah dikejar waktu karena harus launching bersamaan dengan hari valentine. Aku pun terus berusaha berpikir positif dan mendukung pekerjaannya.
Hingga suatu saat, Suzy meneleponku dan mengatakan bahwa ia melihat suamiku keluar dari sebuah hotel bersama seorang wanita, lengkap dengan foto sebagai bukti laporannya.
Detik itu juga, jiwaku hancur berkeping-keping. Tubuhku lemas bak tersambar petir di siang bolong. Aku terhuyung, dan jatuh terduduk di sofa. Kututupi wajahku yang kini mulai basah oleh air mata. Selama ini aku selalu berusaha keras menepis pikiran negatif itu. Tapi ternyata, semua itu sepertinya benar adanya.
Aku belum berhenti terisak ketika deru mobil Mae Jung terdengar memasuki garasi. Kuseka air mataku seraya mengembuskan napas panjang. Sepertinya jiwa ini belum siap untuk menerima jawaban, tapi aku berusaha mengumpulkan keberanian.
"Siapa ini?" Berusaha setenang mungkin, kutunjukkan foto yang dikirim oleh Suzy.
Wajah Mae Jung sontak memucat bak melihat hantu. Ia hanya terdiam tanpa kata. Matanya menatapku sendu penuh rasa bersalah.
"Jawab, Mae Jung ...," pintaku lagi dengan suara bergetar diselingi isakan.
"Ma-maafkan aku ...," lirihnya dengan kepala tertunduk. "Aku khilaf."
Seketika itu juga, tangisku pecah tak terkendali. Aku berpaling meninggalkan suamiku yang berdiri terpaku di sana. Kubanting pintu kamar lalu kuputar kuncinya dari dalam. Aku pun menangis sejadi-jadinya.
Tak kuhiraukan lagi seruan Mae Jung dari sisi luar pintu. "Yoona, biarkan aku masuk. Akan kujelaskan semuanya," pintanya sambil mengetuk pintu beberapa kali.
Aku hanya terduduk dalam isak. Bukannya tak mau mendengar penjelasan, tapi saat ini aku sama sekali belum siap. Penjelasan seperti apa pun hanya akan membuatku semakin terluka. "Tinggalkan aku sendiri," pintaku dari dalam kamar.
Setelah sekian lama kuacuhkan dia, Mae Jung sepertinya mulai menyerah. Tak terdengar lagi suara ketukan di pintu, pun teriakannya meminta maaf. Sementara aku masih larut dalam genangan lara seluas samudera tak bertepi. Aku yang selama ini sudah berusaha menjadi seorang istri terbaik baginya, ternyata harus menerima kenyataan sesakit ini. Kenangan manis kala dulu kami berbulan madu di Eropa terputar kembali dalam ingatan. Ia yang dulu begitu romantis dan sering memberikan kejutan-kejutan kecil untukku, kini tega menyakitiku. Begitu dalam, begitu pedih.
Kupandangi foto pernikahan kami yang terbingkai indah di dinding kamar. Apakah pernikahan ini harus berakhir?  Di usianya yang baru satu tahun?
Memang pernikahan seumur jagung bukanlah hal yang luar biasa di kalangan artis, tapi tentunya aku selalu berharap dapat selalu bersama dalam ikatan pernikahan hingga maut memisahkan. Apalagi saat ini aku sedang mengandung anak pertama kami.
Entah sudah berapa kali aku menyeka air mata ini. Kuelus perlahan perutku, berusaha menenangkan bayiku yang bergerak-gerak gelisah, seolah memahami emosi ibunya yang sedang bergejolak hebat. "Ssh ... tenang ya sayang, ibu gapapa kok," lirihku masih sambil sesekali terisak. Aku pun berusaha kuat, demi anakku.
Sesaat kemudian, teleponku berdering. Tampaknya Mae Jung masih berusaha berbicara denganku melalui telepon. Tanpa menghiraukannya, aku memilih melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka, berharap setidaknya dapat membuatku lebih segar. Kupandangi wajahku yang tampak kusut. Dengan mata sembab dan bibir tertekuk ke bawah, jangan bayangkan aku secantik Im Yoona yang sering terlihat di layar kaca.
Dering telepon masih terdengar hingga aku usai mencuci muka. Aku memilih untuk mematikannya. Jiwa yang rapuh ini belum siap untuk mendengar penjelasan dari seorang pengkhianat. Ya, bagiku kini Mae Jung adalah seorang pengkhianat. Ia telah mengkhianati janji suci pernikahan kami. Apa pun alasannya. Aku pun memilih memejamkan mata dan terlelap karena lelah tak lama kemudian. 

***
Sinar sang surya menyapa wajahku pagi itu. Kuusap mataku dengan malas, lalu kuregangkan tubuhku sambil menguap. Meski saat itu kepalaku terasa sedikit pusing, aku tetap bangkit dari kasur untuk ke kamar kecil. Dari sudut mata, aku menangkap secarik kertas terselip di bawah celah pintu.
Usai menyelesaikan urusan kamar mandi, aku pun melangkah ke dekat pintu untuk melihat kertas yang terselip itu dengan lebih jelas.
"Maafkan aku Yoona, aku sama sekali tidak berniat selingkuh darimu. Kau adalah satu-satunya bagiku. anugerah terindah yang pernah aku dapatkan seumur hidupku .... Tapi aku terpaksa. Aku telah dijebak ...." Aku mengernyitkan dahi membaca kalimat pertama yang tertulis di kertas itu.
"Suatu malam, usai syuting di kota Daegu, aku hang out bersama Song Jee. Saat itu, ketika aku dalam kondisi yang terlalu mabuk, Song Jee membawaku ke dalam sebuah hotel yang ternyata sudah ia siapkan untuk menjebakku. Seorang wanita muda berpakaian minim menyambutku di sana. Dalam kondisi mabuk, aku tak sanggup berpikir jernih, sehingga terjadilah hal yang sama sekali tak pantas."
"Keesokan harinya, Song Jee menunjukkan rekaman video kejadian malam itu dan mengancamku untuk menyebarluaskannya jika aku tidak mengikuti kemauannya. Ternyata, dia juga adalah seorang mucikari artis yang pelanggannya tidak hanya para pria berhidung belang, tetapi juga kaum perempuan kaya yang haus akan belaian kasih sayang. Song Jee memaksaku untuk bergabung dalam lingkaran prostitusinya dengan bayaran yang tinggi. Ia menjamin kerahasiaan identitasku dan berjanji bahwa semua ini akan berakhir setelah kau melahirkan anak pertama kita." Membaca penjelasan itu, aku pun tertegun. Pikiran dan hatiku bergolak saling bertentangan. Sementara pikiranku mengatakan jika alasannya bisa diterima, tapi hati ini terlalu sakit untuk menerima kenyataan bahwa suamiku, yang sangat aku sayangi, telah dijamah oleh beberapa wanita lain. Ah, bagaimana aku harus bersikap.
"Berkali-kali kuutarakan niatku untuk menolak pelanggan, Song Jee selalu menggunakan video itu untuk mengancamku. Aku benar-benar tak berdaya, Yoona." Kalimat itu menutup rangakaian penjelasan suamiku. Membaca itu, air mataku pun menitik. Ternyata seorang Song Jee yang memiliki reputasi sebagai sutradara ternama, memiliki sisi kelam yang tersimpan begitu rapat. Ah, memang dunia ini penuh dengan sandiwara, batinku.
Tiba-tiba, bunyi ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. "Yoona, apakah kau sudah memaafkanku? Bolehkah aku masuk?" Suara Mae Jung terdengar dari balik pintu.
Aku segera mengusap mataku yang sempat basah, lalu kuulurkan tangan untuk membukakan pintu. Bagaimanapun juga aku tak mungkin mengurung diri di kamar sepanjang hari. Apalagi sang janin sudah mulai meronta meminta asupan gizi.
Aku melihat kantung mata tercetak begitu jelas di bawah mata Mae Jung. "Kau tidak tidur?" tanyaku lugas.
"Bagaimana mungkin aku bisa tidur setelah melihatmu begitu terluka seperti kemarin? Aku mencoba meneleponmu dan mengirimkan pesan berkali-kali, tapi kau bahkan tak membukanya. Aku-aku ..."
Tanpa menunggu kalimatnya usai, aku pun menghambur memeluknya. Aku bisa merasakan ia terisak di balik pundakku yang kini terasa basah. "Maaf ...," lirihnya di sela tangis.
Aku mengangguk pelan sebagai tanda bahwa aku sudah menerima dan memahami penjelasannya. "Kurasa sebaiknya kita makan," ujarku beberapa saat kemudian. "Adik bayi udah lapar nih."
Mae Jung pun melepaskan pelukannya, menatapku dengan matanya yang merah, lalu memaksakan selengkung senyum menghiasi bibirnya yang kering.
"Cuci mukamu. Aku akan menunggu di ruang makan," ujarku kemudian.
Mae Jung pun beranjak masuk ke kamar, sementara aku melangkah menuruni tangga. Pikiranku terus melayang-layang memikirkan cara untuk membantu suamiku lolos dari jerat bisnis kotor Song Jee. Apakah melapor ke pihak berwenang bisa menjadi solusi? Tanyaku dalam hati. Namun, sebentar kemudian aku menggeleng. Mengingat reputasi suamiku sebagai seorang entertainer ternama, membuat laporan ke polisi rasanya justru akan mengundang para pemburu berita untuk mengusik kehidupan pribadi kami, tetapi membiarkannya terus berkubang dalam bisnis kotor itu akan membuat hatiku semakin tak karuan.
Tak menemukan solusi yang cukup jitu, aku hanya bisa duduk terdiam di kursi makan. Berbagai hidangan yang telah disiapkan oleh koki pribadi kami sama sekali tak mampu membangkitkan selera makan. Aku terdiam larut dalam berbagai pemikiran yang terasa bak menenggelamkanku.
Beberapa saat kemudian, Mae Jung pun menyusul. Wajahnya sudah tak terlalu kusut, meski kantong mata itu masih setia bergelayut di sana. "Yuk makan, aku sudah hampir terlambat," ujarnya seraya menyunggingkan senyum tipis.
Kami pun mulai makan bersama. Kupandangi lagi wajah suamiku yang tampak begitu lelah. Seketika itu, rasa bersalah terbersit dari lubuk hatiku. Jika saja aku sanggup menerima penjelasannya kemarin, mungkin suamiku bisa beristirahat dengan lebih baik. Yah, tapi semua sudah terjadi, aku mendesah lirih.
Sebuah pesan instan masuk ke ponsel Mae Jung ketika kami baru saja selesai makan. "Dari Song Jee," ujarnya gusar seraya menunjukkan ponselnya padaku.
"Ada klien sore ini. Temui aku di hotel jam setengah enam." Begitu bunyi pesan instan itu, membuat wajahku seketika memucat.
"Apa yang harus kulakukan?" Mae Jung menatapku bingung.
"Aku pun tak tahu. Abaikan saja dulu. Aku akan memikirkan cara untuk menyelesaikan ini," sahutku lirih.
Setelah itu, seperti hari-hari kemarin, Mae Jung mengecup keningku sebelum berangkat kerja. Kuantarkan dia sampai mobilnya menghilang di tikungan jalan.
Ku empaskan tubuh di sofa sambil menghela napas panjang. Pikiranku pun kembali berkecamuk. Ah, mungkin Suzy bisa membantu, pikirku sesaat kemudian. Aku pun menekan tombol panggilan di telepon genggamku untuk menghubungi sahabatku itu.
"Hallo ..." Suara Suzy terdengar dari ujung sana.
"Halo, lagi sibuk ga? Aku pengen cerita nii ...," sahutku tanpa basa basi.
"Ngga kok. Cerita apa? Soal Mae Jung ya?" tebaknya jitu.
"Iyaa ...." Setelah itu, aku pun menceritakan segalanya mengenai suamiku yang ternyata dijebak oleh Song Jee. Suzy pun sama terkejutnya denganku. Ia sama sekali tak menyangka, seorang Song Jee ternyata memiliki sisi lain yang begitu kelam.
"Ini sulit, Yoona. Kurasa untuk sementara ini sebaiknya kau bertahan dulu saja. Toh, semuanya akan berakhir setelah anakmu lahir bukan?"
"Ta-tapi ... bagaimana aku bisa kuat menghadapi semua ini? Tetap diam meski tahu bahwa suamiku sedang bermesraan dengan wanita lain?! Aku sangat terluka, Suzy." Tanpa terasa, air mataku kembali menetes.
"Berdoalah ..." sahut Suzy kemudian.
"Maksudmu?" tanyaku bingung. Selama sepuluh tahun aku mengenal Suzy, ia bukanlah seseorang yang religius atau semacamnya.
“Ya, baru-baru ini aku mulai belajar agama, dan kurasa itu cukup membantu. Ketika masalahmu seperti tak ada jalan keluar, berdoa bisa memberimu ketenangan. Berpasrahlah pada kekuatan lain di atas kita, manusia yang serba terbatas.”
Mendengar penuturan Suzy, aku pun terdiam. “Uhh … baiklah akan kucoba.” Setelah menutup teleponnya aku mulai merenung. Berdoa? Kepada siapa aku harus berdoa? Karena tak tahu bagaimana harus berdoa, aku pun hanya berucap dalam hati, Ya Tuhan, jika memang Engkau ada dan bisa mendengarku saat ini, tolong tunjukkan jalan keluar dari masalah kami yang pelik ini.
Setelah itu, aku terdiam beberapa saat menanti jawaban. Berharap ada pencerahan atau jawaban gaib seperti di film-film. Namun nihil, tak ada yang terjadi. Sedikit kecewa, aku pun memilih menyalakan TV untuk setidaknya mengalihkan pikiranku.
Seorang reporter melaporkan bahwa telah terjadi kebakaran di rumah seorang sutradara terkenal bernama Song Jee. Pemilik rumah tidak berhasil selamat dan menjadi satu-satunya korban akibat kebakaran yang diduga disebabkan karena gas bocor.
Aku mengusap wajahku tak percaya. Bulu romaku pun terasa merinding. Oh, God, Is that You? Is this really Your Work? batinku terpana. Dengan tangan gemetar, aku menelepon suamiku, “Halo, kau sudah dengar beritanya?”
“Ya, dia mati terbakar,” sahut Mae Jung pelan.
“Aku baru saja berdoa meminta jalan keluar atas masalah kita dan inilah yang terjadi. Kurasa Tuhan memang ada. Setelah ini, kita harus mulai belajar lebih dalam,” tutupku.
Sejak saat itu, aku dan Mae Jung mulai mempelajari agama dan menemukan kebenaran di sana. Sungguh, aku merasa beruntung boleh mengenal Tuhan sebelum embusan napasku yang terakhir.      

Event; KumcerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang