"Jadi gimana?" tanya Langit saat keduanya tiba di pelataran parkir di samping pintu masuk gang ke rumah Langit. Ia mendengar keputusan Biru yang ia rasa terlalu berat untuk Biru jalani.
"Aku masih punya uang dari kakek," jawab Biru enteng.
"Kalau begitu, sama saja gak mandiri," timpal Langit.
Biru menggaruk tengkuknya. "Jadi uang juga harus cari sendiri?" tanyanya memasang tampang takut. Langit mengangguk. Mendengar itu, Biru jadi ngeri sendiri. Mana bisa ia bayangkan hidupnya tanpa kartu kredit.
"Nah, itu! Aku juga sudah bilang kalau keputusan dia itu konyol. Kalau mau keluar dari rumah, nunggu lulus kuliah dan kerja. Baru masuk akal," Rolan ikut-ikutan.
"Terus aku gimana? Sudah terlanjur bilang mau keluar dari rumah, kartu kredit juga sudah dikasih semua," ucap Biru lirih.
Rolan dan Langit menggeleng. Meski begitu, tetap saja dia tak bisa kembali ke rumah. Mana mungkin ia tiba-tiba pulang dan bilang jika tadi cuman prank. Sama sekali tak lucu dan Biru yakin Angga tak akan bersorak tertawa karena itu.
"Sudahlah, aku akan luruskan niat. Sekarang Langit pulang dulu. Kalau lihat laki-laki tadi, tendang saja kemaluannya. Itu kelemahan semua pria," nasehat Biru.
Rolan geleng-geleng kepala. "Apaan sih, Ru. Nasehat kamu itu sesat sekali tahu! Mana disebut depan cewek!"
Langit terkekeh. Ia usap rambut Biru. "Tuan Muda juga hati-hati. Kalau memang gak bisa mandiri juga pulang ke rumah, pulang saja ke rumah kakeknya," saran Langit. Biru mengangguk.
Di sana keduanya berpisah. Langit masuk ke dalam gang sementara Biru dan Rolan naik mobil meninggalkan parkiran.
"Laki-lakinya gak kamu apa-apain?" tanya Rolan. Biru mengangguk. "Kalau aku jadi kamu, sudah aku tabok seribu kali."
"Aku sedang belajar menyehatkan akal pikiran. Lagipula Langit nolak juga," jelasnya sambil nyengir melihat ke kaca depan.
Rolan menggelengkan kepala. "Kali ini dia nolak. Lama-lama perempuan butuh kepastian. Apalagi pria itu berani melamar. Kamu bisa kena tikung. Dia masa depannya jelas. Kamu?" ucap Rolan hingga membuat Biru tertohok.
Barulah Biru merasa khawatir. "Jadi aku harus gimana? Ngancam dia bakalan dikubur hidup-hidup apa gimana?" tanya Biru meminta nasehat.
Rolan mengangguk-angguk. "Kamu juga jangan kalah. Kasih dia kepastian. Lamar, jadiin istri. Kamu sama Sarah sudah resmi batal tunangan, kan?"
Tak lama Rolan menepuk jidatnya. Ia lupa jika sahabatnya itu bodoh hingga ke akar-akar. Nasehat apapun ia telan bulat-bulat. Rolan melirik Biru yang sudah tersenyum senang.
"Cara nikahin perempuan gimana?" tanya Biru dengan polosnya.
"Ru, aku tadi bercanda, loh. Maksud aku gak sekarang. Tunggu dulu lulus kuliah," saran Rolan meralat ucapan sebelumnya.
"Lama, masih sisa tiga tahun setengah lagi. Lebih baik secepatnya kita urusin. Sudah bisakan nikah sekarang?" tekad Biru.
"Nikah perlu modal, Ru. Ada mas kawinnya." Rolan berusaha membelokan niat Biru.
Sayangnya, demi cinta ia rela menerjang ruangan rahasia Angga sampai pergi dari rumah. "Masnya butuh berapa kilo?" tanya Biru tak ingin mundur.
"Mas kawin itu gak sembarangan. Harus hasil keringat kamu sendiri. Uang kamu, bukan dari orang tua. Kalau itu saja gak bisa kamu sediakan, apalagi nafkahin istri."
Biru menunduk sedih. "Gimana caranya aku cari uang sendiri. Kalau gini caranya, Langit bisa keburu dinikahin orang lain," keluhnya dengan wajah kecewa.
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomanceIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...