8. pangeran 2

1.9K 435 11
                                    

"Kau bangun kesiangan lagi?" tanya Pria dengan jas abu-abu yang duduk di kursi utama ruang makan. Meski makanan sudah tersaji di atas meja, sempatnya ia membaca majalah bisnis sambil menyeruput kopi.

"Siapa yang membuatku tak bisa tidur setiap malam? Seharusnya kau malu menyindirku soal masalah kesiangan," ketus Biru menanggapi ucapan pria paruh baya yang DNA juga turun pada Biru, meski Biru sendiri menolak.

"Aku sudah bilang untuk selesaikan terapimu," timpal pria tua itu lagi. Namun, Biru malah mengeluarkan senyum sinis. "Apa aku salah?" Majalah di tangannya ia lipat lalu simpan di atas meja.

Biru mengangkat bahu. Ia ambil garpu kemudian menusuk potongan roti di atas piring yang tersedia untuknya agar ia makan. "Meski aku bilang iya, kau tetap saja tak mengakui kesalahanmu. Di rumah ini kau yang paling benar dan aku salah," sindir Biru.

Terdengar suara gelas yang disimpan kasar ke atas meja dari kursi di hadapan Biru. Di sana kakaknya - Surya menatap tajam. "Bicara yang sopan pada papah! Apa di sekolah kau tak belajar sopan santun?" tegurnya.

"Apa aku pernah sekolah? Alasan aku lulus adalah uang kalian." Telak sekali Biru membalas.

Para pelayan saling tatap meski wajah mereka menunduk. Sudah terbiasa melihat perdebatan ketiga pria ini setiap kali bertemu dan pasti, Biru menjadi lawan.

"Hari ini pergi ke kampus. Aku tak ingin lagi mendengar gunjingan orang karena kamu jarang masuk kuliah." Dibandingkan meneruskan debat topik pertama, Angga Bamantara - papah Biru lebih memilih merubah topik pembicaraan.

Biru mendengus. "Jangan sok mengatur hidupku. Bukannya selama ini kau tak peduli. Bahkan istrimu sendiri dalam bahaya, kau terlambat menolong hingga ia mati."

"Biru!" bentak Surya.

Suara tinggi kakaknya sama sekali tak membuat Biru takut. Ia menyimpan garpu di atas piring lalu bangkit. "Aku setiap hari ke kampus, bukan untukmu. Hanya ada urusan. Satu lagi, jangan perhatian padaku. Memuakkan."

Pria itu berjalan pergi meninggalkan ruang makan. Bahkan tak sepotong roti pun ia makan, air putih di gelasnya juga masih utuh.

Melihat Biru berjalan, Karjo - sopir Biru mengikuti pria itu hingga ke teras rumah. "Kali ini benar ke kampus, Tuan?" tanya Karjo. Pria tua dengan rambut yang sudah putih semua itu membukakan pintu bagian belakang mobil untuk Biru.

"Tentu, aku tak bercanda. Aku sedang gila, jadi mau kuliah," jawab Biru.

Karjo nyengir ke arah Biru. Melihat wajah sopirnya itu, Biru mendengkus. "Jangan berharap karena Angga Bamantara. Itu tak mungkin." Biru mengibaskan tangan. Setelah itu, ia langsung masuk ke dalam mobil dan Karjo menutup pintu mobil BEMW hitam dengan plat D tersebut.

Lekas Karjo mengisi kursi kemudi. "Aku ini memang tua dan kampungan. Namun, aku tahu nilai-nilai kebaikan. Meski Tuan besar seperti itu, dia sayang padamu. Semua ayah itu sama, kaku dan tak bisa mengungkapkan perasaan mereka."

Biru melihat ke arah jendela. Tatapanya kosong, ia terus saja mengingat wajah ibunya. "Kau tahu kenapa ia membuang mamah? Karena mamahku tak berguna sama sekali bagi Bamantara grouph. Begitu juga denganku. Aku tak berguna bagi perusahaan, karena itu dia membuangku," ucap Biru.

Karjo tak dapat menimpali. Ia kenal Biru sejak pria itu masih bayi. Dulu, ia selalu ceria dan cerewet. Sejak ibunya meninggal, Biru berubah pendiam dan lebih dari itu, ia mulai sering berulah. Meski tak ingin mengakui, Karjo tahu Biru hanya ingin perhatian dari papahnya. Sayang, Angga terlalu fokus pada bisnis.

"Lalu untuk apa anda ke kampus?" tanya Karjo mengalihkan pembicaraan agar suasana diantara mereka tak tegang.

"Ada Langit yang harus aku perjuangkan," jawab Biru.

Karjo mengerutkan dahi. Ia melirik ke atas di mana langit biru terlihat indah tanpa setitik pun awan. "Langit apa?" tanya Karjo heran.

Biru hanya tersenyum. "Kau butuh mundur tiga puluh tahun untuk mengerti," jawab Biru. Pak Karjo menggelengkan kepala. "Ouh iya, pokoknya nanti suruh bodyguard jangan ikuti aku lagi, ya?"

"Tapi Tuan Muda," tolak Pak Karjo.

"Aku janji enggak akan bikin masalah. Janji!" tegas Biru sambil membentuk huruf V dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Saya akan katakan pada mereka."

Biru memeluk Pak Karjo. "Aku sayang, Bapak." Pria itu lekas masuk ke dalam mobil. Pak Karjo duduk di kursi kemudi. Tak seperti biasanya, Biru masih terlihat sumringah. Pak Karjo jadi merasa khawatir. Biasanya anak itu akan merengut sepanjang jalan akibat bertengkar dengan Papanya.

"Pak, Langitnya cantik, ya?" tanya Biru melihat ke luar jendela.

"Anda biasanya tak peduli dengan Langit meski mendung atau cerah," timpal Pak Karjo.

"Sekarang lain, Pak. Langit adalah prioritasku. Segalanya buat aku," jawab Biru. Pak Karjo hanya tersenyum. "Bapak pernah jatuh cinta, enggak?" tanya Biru.

"Tentu pernah. Pada mantan, istriku juga."

"Apa ini? Pak Karjo punya mantan? Aku enggak percaya."

"Waktu muda saya ini ganteng, loh. Malah banyak wanita yang ngejar saya," timpalnya.

"Aku enggak percaya. Walau Pak Karjo dulu ganteng, pasti lebih ganteng aku," protes Biru.

🍁🍁🍁

Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang