44b. Tak Sepasang

761 203 24
                                    

"Benar, kah?" tanya Bagas mendengar kabar bahagia dari Biru yang menelpon sore itu.

"Iya, tadi pagi Biru bawa Langit ke bidan. Eh, bidan pertama tutup karena habis melahirkan semua. Jadi ke bidan kedua. Di USG juga sudah kelihatan. Jenis kelaminnya belum tahu. Pokoknya yang penting ada dan sehat," ungkap Biru.

Bagas merasa lega dengan ucapan Biru. Ia selalu khawatir dengan kutukan dalam keluarganya, hanya menurut seseorang yang ia percayai, lugu hati Biru dan Langit akan menepis semua itu.

"Harusnya jangan kamu tolak waktu kakek mau belikan rumah. Istrimu harus mendapat lingkungan yang nyaman," saran Bagas.

Biru tetap menolak. "Lingkungan ini lebih nyaman melebihi apapun. Banyak tetangga yang saling jaga dan saling peduli. Tahu Langit hamil saja, mereka datang membawa makanan. Malah bantu merencanakan pesta empat bulanan. Bapak-bapak di sini juga memberi Biru nasehat seperti ayah Biru sendiri. Apanya yang tidak nyaman?"

Hati Bagas akan semakin tegar setiap mendengar ucapan cucunya yang satu ini. Sejak kecil meski keluarga Bamantara lain menyebut Biru lahir dengan kutukan, justru ia yang paling membuat Bagas merasa tenang. Setiap kali tangan kecilnya menyentuh Bagas dan mengasongkan permen.

"Kakek, makan ini. Manis. Pasti gak nangis lagi. Liat, kena cahaya kelap-kelip!" Biru bahkan sengaja menyorot permen berlian itu dengan senter. (Bukan berlian beneran, cuman kilaunya saja yang sama. Berlian dimakan bukannya bagus, malah bikin usus bocor)

"Kalau kakek nangis terus, nanti matanya kayak ikan koki," omel Biru sambil berkacak pinggang.

Kini balita kecil yang senang main catur itu sudah beranjak dewasa. "Kamu kan pintar. Sekarang sudah mau punya anak. Harusnya cepat lulus kuliahnya. Biar fokus kerja di kantor," saran Bagas.

Mendengar itu, Biru berpikir keras. Bukannya tidak mau. "Kalau Biru kerja di kantoran pun, Biru gak akan ke perusahaan milik Bamantara. Lebih baik Biru punya usaha sendiri. Rencananya Biru mau buka tempat servis hape. Lumayan, Kek. Biru dapat ratusan ribu bulan ini."

Itulah semanja apapun cucunya, Biru memiliki tekad yang kuat seperti yang dimiliki Angga. Hanya, hati Biru begitu putih. "Kenapa?" tanya Bagas memancing agar Biru mengungkap isi pikirannya.

"Biru tahu apa takhayul yang kalian yakini. Aku juga mengerti apa maksud raja yang kakek sering sebut. Hanya Biru tak ingin jadi raja, apalagi kalau harus merebut dari kakak Biru sendiri."

Bagas mengangguk. "Sesuai yang kakek pikir, kamu memang cerdas. Bamantar grup butuh orang seperti kamu."

Biru menggeleng. "Kakek salah. Perusahaan yang dibangun atas ambisi hanya butuh orang yang penuh ambisi pula. Biru bukan orang seperti itu."

"Tak ada yang bisa menghentikan kamu. Itu pilihan kamu. Hanya kakek tetap berpesan agar kamu lulus kuliah. Bukan untuk kakek, tapi untuk keluarga kecilmu," tegas Bagas.

Bagian itu kakek memang tak salah. "Siap! Hanya jangan bikin Biru harus berebut dengan Surya. Biru sudah dewasa. Surya masih anak-anak. Kami sudah beda level. Surya iqra satu saja belum pernah lulus. Biru sudah mau iqra lima sekarang," ucap Biru bangga.

Bagas sampai tertawa dibuat Biru. "Mau hadiah apa dari kakek?" tanya Bagas.

"Beneran mau kasih Biru hadiah?"

Bagas langsung mengiyakan. "Kakek sudah sepuh, mulai belajar sholat. Roni pasti bisa ajarkan. Harta kita tak akan bisa di bawa mati. Kakek tahu itu," nasehat Biru.

Bgas terdiam. Ia juga lupa kapan tetakhir kali ia sholat. Bahkan keluarganya tak pernah mengingatkan.

"Biru merasa beruntung tinggal di sini. Meski merasakan makan daging tak setiap hari, tapi perut selalu kenyang. Sementara di sana, seenak apapun makanan tetap aku tidur dalam kelaparan. Tak ada makanan yang membuatku berselera," jawab Biru.

Hampir jatuh air mata Bagas mendengar itu. Banyak orang yang sering menasehatinya tentang makna hidup, tapi mendengar itu dari cucunya sendiri begitu menyentuh ke dalam sanubari.

Malam itu Biru merasa lega. Sebelum ia menutup telpon dan mengucapkan salam, kakeknya menjawab. "Kenapa? Lagi senang, ya?"

Biru mengangguk-angguk. Ia naik ke tempat tidur lalu mengusap perut istrinya. "Aku baru bicara dengan kakek. Aku kangen dia. Nanti main ke sana, sekalian ngasih kakek iqra," jawab Biru.

Tak lama Biru mencium perut Langit. "Anakku mau kamu cantik atau ganteng, itu hak kamu. Jangan lupa, ya? Kalau mau bobok baca doa dulu," nasehatnya.

Langit tertawa. "Gak sekalian minta dedek bayi baca iqra juga?" tanya Langit.

Biru tertawa puas. "Gimana cara masukinnya? Masa kamu telen bulet-bulet," timpal Biru.

"Ila, kalau dia lahir mau dipanggil apa?"

"Bunda saja. Biar kayak lagu Melly Goeslow."

"Aku mau dipanggil papah saja."

"Pasangan bunda itu kan ayah, kenapa jadi papah?"

"Gak sepasang juga gak apa-apa. Kita bukan sandal jepit, La!" protes Biru.

🌱🌱🌱

Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang