"Di sini?" tanya Biru sambil menepikan mobilnya. Langit mengangguk. Mereka berhenti di gang kecil dekat tukang jahit yang lumayan terkenal di kalangan menengah ke bawah di wilayah itu.
"Iya. Aku turun di sini saja. Makasih Tuan Muda," ucap Langit. Ia membuka safety belt lalu turun dari mobil. Sebelum menginjakkan kaki keluar mobil, Biru sudah menahannya. Langit terdiam sejenak lalu menoleh ke arah Biru.
"Semenit saja liat lagi. Biar pas mimpi nanti malam aku bisa dapatkan gambaran utuh dirimu," ucapnya. Langit tersipu malu.
Biru memandangi wajah langit dengan seksama. Sudah satu menit, ia melepas lengan Langit. "Tidur nyenyak. Kunci pintu, jangan lupa. Aku takut karena kangen nerobos ke sana," ucapnya. Tangan Biru begitu lembut membelai rambut Langit.
Bukan karena ucapannya yang gombal, tapi perhatian dan belaian tangan Biru persis sama dengan ayah Langit. Sosok yang Langit selalu rindukan dan selamanya tak akan kembali lagi ke dunia.
Langit meneguk ludah. Ia mencoba menyadarkan diri. "Terima kasih banyak," ucapnya sambil turun dari mobil. Langit tak ingin lama di sana. Ia tak mau banyak berharap. Gadis itu tahu diri sejauh apa perbedaannya dengan tuan muda kedua Bamantara.
Langkah Langit begitu hati-hati berjalan di atas jalanan gang yang becek. Ia senang karena di tangannya ada sekantong burger untuk ibu dan kakaknya.
Gang itu sedikit gelap karena hanya dicahayai oleh lampu dari teras rumah yang mengapitnya. Kecuali di gang yang hanya diapit tembok rumah, ada lampu bohlam sepuluh watt yang menyinari. Tahun itu, belum ada lampu LED. Kalaupun ada harganya mahal. Bahkan televisi pun masih belum sepenuhnya merajai karena masih harus berbagi waktu dengan radio.
Peterpan belum berganti menjadi Noah dan paling pasti, alun-alun Bandung belum dipasangi karpet hijau dari rumput sintetis.
"Langit!" panggil seorang pria yang sudah menunggu Langit pulang di depan teras rumahnya yang tak begitu jauh dengan rumah Langit. Hanya rumah sederhana dengan satu pintu keluar, satu kamar mandi juga satu dapur. Banyak anak muda di kampung ini yang berkerja sebagai karyawan di toko atau mall. Hanya bisa dihitung jari yang memutuskan kuliah.
Langit menoleh pada sumber suara. Pria itu berdiri sambil menyandarkan punggung ke tembok fasad rumahnya. "Baru pulang, La?" tanyanya.
"Iya. Sapta lagi ngapain di situ?" tanya Langit pada pria yang ia sudah kenal sejak kecil. Langit berjalan sedikit ke arah Sapta.
"Tadi mau ke warung. Malah gak sengaja lihat kamu lewat," dustanya. Padahal ia memang sengaja menunggui Langit.
Sejak remaja, Langit memang sudah terkenal sebagai kembang kampung. Banyak yang bilang Sapta pria yang beruntung karena tak semua bisa dekat dengan Langit.
Bagaimana dengan Langit? Ada ibu yang lebih penting untuk dijaga bagi Langit daripada memikirkan masalah cinta monyet. Ia juga baru kuliah dan usianya masih belasan tahun.
"Kamu bawa itu, La?" tanya Sapta yang fokus pada bungkusan kertas di tangan Langit.
"Ouh, ini dikasih teman satu kampus. Katanya boleh dibagi sama orang. Sapta mau? Kebetulan ada lebihnya," jawab Langit.
Sapta menggeleng. "Gak usah, La. Biar buat ibu saja. Kamu mau pulang? Biar Sapta antar sekalian ke warung," tawar Sapta.
Langit terkekeh. "Rumah kita dekat, ngapain diantar segala. Ke warung saja sana. Langit pulang sendiri," tolak Langit sambil berjalan menuju rumah. Sapta mengikuti dari belakang.
Di teras rumah, Langit berniat mengetuk pintu. Namun, suara ibunya membuat gadis itu kaget. Lekas Langit menerobos masuk.
Gadis itu tersentak melihat ibunya terduduk lemas di lantai. Langit meraih ibunya. Sapta yang mengikuti Langit turut membantu membawa ibu Langit ke kursi rotan tua. Tak ada sofa di rumah tua kecil itu.
"Ibu kenapa di sini?" tanya Langit. Ia memeriksa takut ada tubuh ibunya yang terluka.
Ibu Langit hanya menggeleng. Hanya pikiran Langit sudah tertuju pada seseorang. Gadis itu berjalan membuka pintu setiap ruangan di rumahnya. Kakaknya tak ada di sana.
"Teteh kemana, Bu?" tanya Langit bingung. Padahal kakaknya sedang libur dan jelas Langit menitipkan ibunya, tapi malah ditinggal.
"Ibu kalau ada apa-apa telpon Langit. Kan Langit sudah belikan ibu hape," nasehat Langit.
Ia membeli dua hape nok*a dengan layar monochrome agar bisa berinteraksi dengan ibunya. Syukur salah satu provider memberikan paket telpon gratis dengan harha murah sehingga Langit bisa selalu menghubungi ibunya.
"Ibu cuman haus, La," jawab ibunya. Langit mengangguk. Ia hendak membawa minum, tapi di larang oleh Sapta. Langit membiarkan Sapta membawakan air putih untuk ibunya.
"Sapta makasih," ucap ibu Langit setelah meneguk air yang dibawakan Sapta.
Pria itu tersenyum senang. "Ibu jangan khawatir. Kalau perlu apa bisa hubungi Sapta saja biar Langit gak perlu pulang dulu. Kampus dan tempat kerjanya lebih jauh dari rumah."
Ibu Langit mengangguk. Ia menatap Sapta lalu menatap Langit. "Sapta, kalau ibu sudah tak ada, tolong jaga Langit," pinta wanita yang sudah renta itu.
Sapta mengangguk pasti dengan bahagia. Sementara Langit hanya tersenyum kecil. Dalam pikirannya tercipta wajah Biru. Tak lama Langit menggeleng. "Tidak, aku tak pantas untuknya," batin Langit.
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomanceIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...