36a. Keluarga

881 237 27
                                    

Beberapa kali Langit menguap. Ia melirik sesekali ke arah suaminya. Biru masih berkutat dengan buku dan pulpen. Tak sekalipun ia menggunakan tipe x untuk menghapus jika ada bagian yang salah.

"Ilu, sudah jam sepuluh malam, loh. Kamu gak ngantuk apa?" Langit menutup buku catatannya.

Tangan Biru memijiti tengkuk. Ia menyimpan pulpen di atas meja. "Baru beres lima puluh soal. Jadi lama gara-gara harus ditulis," keluh Biru.

Kaki Langit turun dari tempat tidur. Ia hampiri suaminya dan melihat hasil pekerjaan Biru. Soal itu benar-benar dikerjakeun dengan penyelesaiannya. Bahkan saat Langit mengecek kunci jawaban, hasilnya benar semua.

Hanya tiga puluh menit dan dia mengerjakan lima puluh soal Ujian Nasional? Dia manusia apa bukan? Dengan pandangan heran, Langit bergantian memandang Biru lalu buku latihan soal.

"Pusing? Atau ada efek mual? Ruam-ruam?" tanya Langit cemas. Biru menggeleng. "Ini bukan soal yang mudah, lho!"

"Itu gampang. Kalau gak ditulis, aku bisa isi lebih cepat." Biru berdiri dari kursi belajar lalu naik ke atas tempat tidur.

"Ila, ayok bobok. Kepokin, ya?" pintanya manja.

Langit cekikikan. "Apa sih? Kayak anak balita saja!" Wanita itu menyimpan buku di atas meja lalu berbaring di tempat tidur.

Biru memeluk istrinya dengan mata yang sudah terasa berat untuk terbuka. "Kamu bohong, ya?" todong Biru.

Langit tertegun. "Bohong apa?" tanya Langit bingung apa yang dimaksud suaminya.

"Siapa tetangga yang nyuruh aku selesain buku itu?" tegur Biru.

Mata Langit memutar mencari alasan. "Ouh, Bu Dana. Anaknya UN semester ini, kan?"

Biru mendecakkan lidahnya ke langit mulut. "Anaknya Bu Dana masih SMP. Aku inget dia pulang pakai rok warna biru."

Mati kutulah Langit sudah! "Jujur, ngapain kamu nyuruh aku ngerjain soal-soal itu? Pasti sengaja mau bikin aku lupa nagih jatah main boneka, ya?" curiganya. Syukur pikiran Biru sangat sederhana.

"Kalau tahu ngapain nanya coba. Lagipula mainan boneka itu ada waktu pasnya. Harus di jadwal biar sehat," nasehat Langit.

"Itu hubungan suami-istri apa keberangkatan kereta?"

Langit menyimpan telunjuk di bibir Biru. "Itu demi kita berdua. Keadaan ekonomi kita juga belum mapan, kan? Maksudnya, kamu baru kerja dan ibu masih sakit. Kalau punya anak sekarang juga kasihan, kan?"

Dengan manja Biru menenggelamkan wajah di pelukan Langit. "Padahal aku pengen punya anak kayak Kanaya," keluhnya.

Langit mengusap rambut suaminya beberapa kali. "Makanya, Ilu mulai belajar jadi ayah yang baik. Rajin cari uang, rajin kuliah dan berhenti dulu main catur sama bapak-bapak di kampung. Ibu-ibunya protes sama Langit gara-gara kamu main sama suami mereka." Langit memberikan wedjangan bagi suaminya.

"Mereka yang maksa sih. Sudah kalah sekali masih mau nyoba lagi. Masa aku sampai dikatain main curang, jadi aku tantangin saja bapak-bapak sekampung." Wajah Biru mendongak, ia menatap mata istrinya.

Sungguh kebahagiaan sendiri bagi Biru melihat senyuman Langit terkembang. "Jadi sekarang sudah fix jadi bapak-bapak sekampung ini?"

"Mau gimana lagi. Aku sudah cinta mati sama gadis kampung ini. La, tahu gak. Apa bedanya kamu sama kerupuk?" tanya Biru.

"Apa?"

"Kalau kerupuk rasanya gurih renyah. Kalau kamu, rasanya aku mencintaimu," jawab Biru.

Wajah Langit merona. Tak tahu darimana lagi suaminya menemukan gombalan macam itu. "Gombalanmu receh sekali, Aa," ledek Langit.

"Gombalanku memang receh, tapi cintaku padamu nilainya tak terhingga," tambahnya.

Gombalan itu masih akan berlanjut jika saja ponsel Biru tak berdering. Meski ogah-ogahan, Langit masih bisa memaksa Biru mengangkat.

"Tuan muda!" panggil suara yang tak asing lagi bagi Biru.

"Pak Karjo?" tebak pria itu karena telpon berasal dari nomor asing.

"Iya, ini Pak Karjo."

"Tuan Muda, ini Bu Aini!" panggil suara lain.

"Tuan Muda!" suara semakin ramai dan Biru tahu itu berasal dari para pelayannya. Sungguh terasa haru bagi Biru. Ia rindu dengan mereka semua yang selalu membela dan memanjakannya.

"Biru sudah gede tahu! Jangan dikhawatirin terus. Bu Aini tahu gak, Biru bisa pakai kemeja sendiri, sletingin jaket sendiri. Biru juga bisa pakai sepatu sendiri," pamer Biru dengan mata berkaca-kaca.

"Iya, Tuan Muda hebat," puji Bu Aini.

"Tuan Muda sudah makan belum?" tanya Pak Karjo.

Langit di sini posisinya bingung antara ingin menangis sedih apa tertawa. Para pelayan Biru memperlakukan majikannya ini seperti orang tua pada anaknya yang sedang kemping.

"Sudah, tadi Biru makan sayur asem sama ikan asin," jawab Biru.

Bu Aini menutup mulut dengan telapak tangan karena kaget. Pak Karjo sama kagetnya. Biru yang sangat pemilih soal makanan, bisa makan makanan biasa seperti itu.

"Suka? Kalau gak enak, biar Bu Aini kirim makanan ke sana," tawar Bu Aini. Ia sangat khawatir pada anak itu.

"Gak apa. Biru suka, kok. Ternyata makanan itu enak kalau dimakan sama keluarga. Di sini Biru akhirnya punya keluarga, Bu. Jujur aku senang banget," cerita Biru sambil memandang Langit.

🌱🌱🌱

Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang