63a. Sedih

596 152 0
                                    

Langit berdiri. Ia tatap dalam suaminya yang melangkah masuk melalui pintu kamar tamu tempat mereka menginap malam itu. Langit menghampirinya dan di sisi lain Biru juga berjalan menghampiri Langit. Air matanya menetes lagi.

"Aa, jangan lama menangis. Ingat, ikhlas dengan kepergian kakek akan membuat jalan kakek lebih lapang," nasehat Langit.

Biru mengangguk. Ia usap air matanya. Seketika Biru memburu pelukan Langit. Ingin menahan rasa sedih, akhirnya ia meneteskan air mata lagi. Rasa sakitnya tiada terusir pergi. Kenangan masa kecil dengan kakeknya menghampiri.

"Kakek nggak akan kembali lagi kan, La?" tanya Biru. Langit mengangguk. Ia tepuk pelan punggung Biru. Pria itu semakin erat memeluk Langit. "Kenapa kakek lebih nemilih ninggalin aku, La? Apa aku nakal lagi?"

"Nggak, kok. Aa cucu yang baik. Hanya Allah lebih tahu jalan terbaik untuk kakek. Di sana mungkin kakek lebih tenang. Tak ada lagi urusan dunia yang pelik menghampirinya."

Biru mengangguk. Ia lepas pelukan Langit dan mengusap air matanya. Tak lama ia berpaling pada Minara yang tertidur di sisi ranjang. Biru menghampiri putri kecilnya. Ia duduk di sisi tempat tidur. Tangannya mengusap kening Minara. Ia gendong Ara dalam pelukan.

"Ayok kita pulang ke rumah. Ini bukan tempat kita," ajak Biru.

Langit mengangguk. Ia juga ketakutan lama berada di sini seperti yang dikatakan oleh ayah mertuanya. Pasangan itu meninggalkan kamar. Minara masih tidur dalam gendongan Biru. Mereka melewati lorong di lantai dua lalu turun melalui tangga besar berwarna gading.

Para pelayan sempat menatap mereka. "Tuan hendak ke mana?" tanya salah satu pelayan.

"Saya mau pulang. Lebih baik kami tak berada lama di sini," jawab Biru.

Pelayan itu menunduk. Biru terus berjalan keluar rumah. Di carport rumah, ia berikan Minara pada Langit. Dengan kain samping, Ara langsung Langit gendong. Tak lupa ia juga memakaikan Minara dengan topi dari kain lembut.

Biru naik ke atas motor dan menaikan standarnya. Dari kejauhan, Roni berlari menyusul mereka. Ia menunduk saat berada di depan Biru.

"Sebaiknya Tuan Muda bermalam di sini saja," saran Roni.

Biru menggeleng. "Aku mau pulang, di sini jangankan bisa tidur. Dadaku sesak mengingat kakek. Aku pulang," pamit Biru.

"Biar saya antar dengan mobil saja," saran Roni lagi.

Kembali Biru menggeleng. "Tak perlu. Kalian juga harus istirahat. Aku hanya ingin dengan keluargaku," tolak Biru lagi.

Biru menyalakan motornya dan Langit ikut naik di jok belakang. Ia tutupi wajah Ara dengan helaian sisa kain samping yang sudah diselempangkan.

Biru memundurkan motor lalu membelokannya ke kanan. "Aku pulang, Bang Ron!" pamit Biru.

Motor itu langsung meninggalkan halaman rumah Bagas. Kaca helm Biru masih terbuka. Ia menghirup udara lalu mengembuskannya pelan. "Aku seorang ayah sekarang, aku harus kuat. Jangan cengeng, ini untuk Minara juga Langit," batin Biru.

Motor itu berjalan pelan di jalanan Kota Bandung. Pepohonan di jalan Siliwangi menaungi mereka. Jalan masih sangat sepi. Terasa Minara bergerak. Langit memeluk bayinya semakin erat.

Matanya menatap punggung Biru. Sampai di persimpangan Dago, motor Biru berhenti. Lampu merah di sana memang lumayan lama. Tangan Langit mengusap punggung suaminya.

"Yang kuat Aa, pasti bisa," ucap Langit memberikan semangat. Biru meraih tangan Langit di bahunya dengan tangan kiri. Begitu lampu kembali hijau, ia kembalikan tangan ke kemudi lalu membelah persimpangan.

Jalan Dipati Ukur ada di sana, kini mereka lalui dengan motor yang mereka tumpangi. Toko-toko, restoran di sepanjang jalan masih buka. Hanya kampus-kampus di sana yang sepi dan terlihat ramai hanya karena lampunya yang menyala.

Biru memutar kemudinya ke kiri. Ia lewati gang-gang kecil dan masuk ke dalam kampung. Pria itu memasukan motor ke dalam lapangan parkir.

Langit turun lebih dulu. Biru menurunkam standar motor dan mencabut kunci. "Pulang?" ajak Langit sambil mengulurkan tangan.

Biru membalas uluran tangan Langit. Mereka jalan berdua sambil berpegangan tangan. Pak Hansip yang berjaga di depan pintu parkir melirik ke arah pasangan itu.

"Makin mesra saja ini pasangan muda," pujinya.

"Harus donk, Pak. Ibadah paling nikmat di dunia itu mesra sama istri, bukan sama tetangga," celetuk Biru kembali gilanya datang.

Langit tersenyum. Ia senang melihat Biru mulai belajar bangkit.

"Mesra sama tetangga, itu mah dosa, Ru!"

Biru menggeleng. "Nggak dosa, Pak. Kalau tetangganya dinikahin mah. Sayang saja tetangganya emaknya Sapta," kelakar Biru.

🌱🌱🌱

Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang