42a. Khawatir

775 204 21
                                    

"Sudah! Kamu gak perlu kerja lagi. Aku masih bisa cari uang. Meski siang malam harus benerin handphone rusak atau kerja jadi satpam, aku akan menghidupimu!" tegas Biru.

Langit mengangguk. Suami polosnya kini sedang berubah wujud jadi suami tegas. Meski matanya sembab dan isakan tangis masih tersisa, Langit sedikit tenang karena ada Biru memeluknya. Ia bahkan sampai pulang ke rumah dengan topi yang menutupi wajah takut ibunya melihat ia menangis.

"Aku beneran takut," keluh Langit dengan tangan gemetaran memegang piyama Biru.

Hanya ada mereka di kamar yang sempit. Lantai kosong hanya cukup untuk mereka sholat berdua. Ranjang berukuran nomor tiga berhadapan dengan lemari kayu dan meja belajar. Lampu bohlam lima watt masih bercahaya kuning.

Bisa Biru rasakan debaran jantung Langit yang masih belum normal. Wajah istrinya juga pucat pasi. Melihat itu Biru rasanya semakin emosi jika saja ia tak sadar jika memukuli pria itu akan membuatnya ikut terjerat kasus.

"Maaf, ya? Harusnya sejak kamu mengeluh tentang mereka, aku sudah suruh kamu berhenti kerja. Malah aku ajarin kamu melawan mereka. Sumpah, aku gak tahu mereka sampai sejahat itu." Biru sampai meneteskan matanya saat mengatakan itu.

"Maafkan aku ya sayang, lain kali aku janji gak akan ninggalin kamu. Sampai harus mati sekalipun, aku pasti bakalan lindungin kamu," janji Biru.

Langit mengangguk-angguk sambil memeluk erat Biru. "Tahu gak, A. Sebelum Aa ada, gak pernah ada yang belain Langit. Bahkan di sekolah, Langit disakiti saja harus Langit yang melawan sendiri. Ayah sudah gak ada dari Langit kecil. Bahkan Langit dikeluarkan dari SMP hanya karena membela diri akibat dipaksa dicium. Langit selalu takut karena tak ada yang belain Langit," curhatnya.

Biru mengangguk. Ia beruntung menemukan Langit. Dua orang yang memiliki masa lalu yang menyedihkan itu kini berjuang mencari kebahagiaan bersama.

"Aku akan perjuangkan kamu, La. Kamu segalanya untuk aku. Seperti kataku, siapapun tak akan berani nyakitin kamu. Sedikit saja kamu luka, aku pastikan mereka menderita hingga lebih memilih mati!" tegas Biru.

Ketika mengatakan itu, Biru sampai menyimpan telapak tangannya di atas kepala istrinya. "Camkan janjiku, La. Tak akan pernah ada yang bisa gantiin kamu di sampingku. Kamu segalanya apapun demi kamu, aku rela menukar seluruh harta yang aku punya."

Langit tertegun. Berhenti air matanya mengalir. Ia pegang lengan Biru. Telapak tangan Biru turun mengusap pipi Langit. "Aku sayang kamu. Bilang saja berapa kalipun kamu minta aku ucapkan itu, aku akan selalu ucapkan. Setiap detik pun rasa sayangku tak akan pernah hilang. Mau kamu ada di hadapanku ataupun tidak."

Malam itu Langit tidur dalam pelukan Biru. Ia merasa tenang seakan seluruh rasa takutnya semua hilang. Tepukan pelan Biru di punggung Lamgit mengusir sedikit demi sedikit rasa takutnya. Kenangan buruk itu lenyap berganti mimpi indah melihat seorang anak perempuan kecil melompat lucu dari tangga.

"Bunda!" panggil anak itu. Rambutnya lurus berwarna hitam dan panjang sesikut. Pipinya chubby, kulitnya putih bersih seperti Biru. Matanya, alisnya semua seperti Biru, tapi lengkungan bibirnya mirip dengan Langit.

Biru menyusul turun menggendong anak perempuan itu sambil tertawa. "Mana Bunda?" tanya Biru. Anak itu menunjuk Langit.

Apa yang dilihat matanya memang seperti mimpi. Sebuah rumah besar dengan perabotan mahal dan dinding yang tinggi. Biru tak lagi memakai seragam satpam. Jas dan kemeja mahal melapisi tubuhnya yang jenjang.

"Dia mirip kamu, ya?" tanya Langit saat mendekati suami dan anak perempuan itu sambil menyentuh alis gadis kecil lucu di gendongan Biru.

"Iya, donk. Dia anak kita berdua. Kalau gak mirip aku, mau mirip siapa lagi." Tangan Biru masih terasa hangat saat menyentuh pipi.

"Bunda cantik," puji gadis kecil itu. Langit terkekeh. "Kamu juga cantik. Nama kamu siapa?" tanya Langit.

"Siti Ling Sriwijaya," jawab Biru dan scene berubah saat Langit berada di rumah Pak RT bersama Biru untuk membuat KK.

Langit manyun. "Apaan sih Aa ini! Masa anak kita dinamain kayak nama pesawat!" keluh Langit. Ia sampai memukuli Biru.

"Aw!" pekik Biru kesakitan. Langit mencelat sampai terduduk dan membuka matanya sementara Biru mengusap dadanya yang kesakitan.

"Kamu masih ketakutan karena kejadian semalam atau apa, sih? Kenapa aku dipukul begini?" keluh Biru.

Langit menggaruk kepalanya bingung. Ia masih di kamarnya, masih ada Biru di sana. "Aa, kalau kita punya anak perempuan nanti, jangan kasih nama Siti Ling Sriwijaya, ya? Apalagi kalau dinamai Budiman Primajasa atau Arimbi Damriana," protesnya.

"Mana ada, La. Anak kita itu anak bapaknya satpam, bukan sopir bus," timpal Biru.

🌱🌱🌱

Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang