33b. Pura-pura Bodoh

987 230 15
                                    

"Kakak kamu sering begitu?" tanya Biru malam itu. Ia mengeringkan rambut dengan handuk.

Langit mengangguk sambil melipat pakaian suaminya yang baru kering dijemur tadi siang. "Memang begitu. Kalau gak dikasih uang, dia marah nanti dan acak-acak rumah. Ibu bisa syok dan tambah sakit nanti."

Biru duduk di atas tempat tidur. Ia merasa kasihan dengan istrinya. Tak bisa ia bayangkan selama ini Langit harus berhadapan dengan keadaan keluarga yang begini.

Selesai melipat pakaian, Langit menyimpan pakaian itu dalam keranjang khusus pakaian siap setrika. Kemudian ia berjalan ke meja belajar. Langit melihat-lihat tumpukan buku, kemudian beralih ke tasnya. Awalnya biasa dan tak lama, Langit panik.

"Ru, catatan aku hilang," rengeknya.

Biru yang sudah berbaring lekas bangun terperanjat. "Catatan yang mana?" tanya pria itu mencoba mengingat-ingat.

Langit menggaruk rambutnya. "Ituloh, yang aku tulis di taman waktu kita kehujanan," cerita Langit.

Biru ingat kejadian itu. "Buku yang covernya warna merah?" tanya Biru. Langit mengangguk dengan yakin. Kini giliran Biru memeriksa tasnya. Tak ada juga buku Langit di sana.

"Apa ketinggalan di taman, ya?" tanya Langit panik.

"Mungkin. Kamu terakhir lihat di mana?"

Seberapa keras Langit berpikir, jawabnnya tetap sama. Ia benar-benar hanya ingat sebelum hujan ia melihat buku itu. Setelahnya ia lupa. "Bagaimanq ini, mana sebentar lagi aku kuis. Kalau gak ada catatan gimana bisa belajar," rengek Langit.

Ia tak mampu membeli buku paket sehingga ia lebih memilih merangkum materi yang sama dari sumber buku lain lalu merangkumnya. Sialnya buku Langit hilang tak tahu ke mana rimbanya.

"Kamu ada buku kosong, gak?" tanya Biru. Langit mengangguk. "Keluarin sekarang dan siapin alat tulis, aku malas nulis," keluh Biru.

Langit mengangguk. Ia siapkan apa yang Biru minta. "Sudah, terus apa?" tanya Langit.

Biru menunduk lalu ia memijiti pelan keningnya. "Teori struktural mengatakan bahwa sastra adalah suatu objek kajian. Sistem sastra menjadi kajian itu sendiri."

Biru mendiktekan Langit semua yang ia ingat karena sempat membaca buku itu. Langit sendiri tertegun. Suaminya bisa mengingat point penting dari catatan Langit.

"Sudah sampai situ yang aku ingat." Biru kembali berbaring sementara Langit menatap bukunya dengan tatapan heran. Ada lima lembar catatan dan Biru ingat semuanya.

Setelah itu, Langit kembali menatap suaminya. "Kamu ingat ini?" tanya Langit memastikan.

"Aku 'kan bilang. Aku malas nulis saja," timpal pria itu.

Biru menepuk sisi tempat tidurnya. "Kalau sudah selesai, cepat ke sini. Suamimu ingin memberi nafkah batin. Siapa tahu beneran langsung lahir Garuda kita," kelakar Biru.

Langit menarik napas. Ia melirik catatannya sebentar lalu berjalan ke arah suaminya. Ia jujur, masih sangat bingung. Gimana caranya Tuan Muda menghafal sebanyak itu?

Biru menarik tangan istrinya lalu membaringkan Langit di sampingnya. Jantung Langit berdebar lagi meski ini bukan pertama kali. Biru mengusap rambutnya.

"Sabar istriku. Aku janji nanti bakalan belikan kamu rumah." Biru mengecup kening Langit dan wanita itu langsung menunduk malu.

Biru mulai bangkit dan menindih istrinya. Ia menahan dengan tangan agar Langit tak merasakan berat tubuh Biru.

Dengan lembut, Biru mengecup bibir. Tak lama mulai turun hingga leher, bahu. Biru mulai membuka satu per satu kaitan bulat di piyama Langit. Ia menggeser dan membiarkan dua balon jel Langit mengintip diantara penutup yang dulu Biru pikir dibukanya dengan cara digunting.

Biru mengecup bagian atas balon jel itu. Jelas istrinya menggelinjang. Langit menahan bibirnya agar terkatup, ia takut mengeluarkan suara desau.

Napas Langit semakin cepat sementara Biru sudah berhasil menyingkap tenda milik Langit hingga seluruh isinya terlihat semua. Suhu tubuh Biru memanas dan ia mulai mendapat SOS.

Ia tarik Langit dalam pangkuan. Sengaja ia tempatkan Langit dengan posisi kaki yang terbuka agar Ujang dan Eneng bisa bertemu. Beberapa kali sentuhan meski tak menyelam sampai dalam membuat Langit meremas gemas rambut Biru.

Pria itu sadar, Langit mulai terundang dalam permainan jalangkungnya. Lekas Biru tancapkan pasak ke tanah garapannya. Beberapa kali ia menggali lubang dan menyimpan benih di sana.

"Duh," keluh Langit yang mulai nyaman dengan posisi duduk di atas pangkuan Biru. Namun, suaminya mulai bosan dan ingin pindah posisi.

Biru baringkan Langit di tempat tidur lalu ia balikan tubuh istrinya. Biru menindih dari belakang. Ia angkat perut Langit kemudian kembali menancapkan pasak.

Maju dan mundur tubuh Langit dibuatnya. Langit menutup mulut. Ia takut ibunya atau tetangganya mendengar, hanya ia tak ingin berhenti dengan semua ini.

Malam berlalu dan tempat tidur Langit berantakan akibat mabar semalaman. Biru memeluknya dengan tubuh sama-sama polos. Meski lelah, Langit sempat menatap wajah suaminya. Ia kagum dengan hidup Biru yang setajam tanjakan Emen.

"Istriku, jangan bosen-bosen terima nafkah dariku, ya?" tanya Biru.

Langit menggeleng. "Harusnya kamu. Aku malah takut kamu bosan kasih aku nafkah."

Biru mengecup kening Langit. "Mana bosan? Orang lebih manis dari kue kutu."

"Putu!"

🌱🌱🌱

Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang