Biru menggilir toples dari Langit ke kanan dan kiri. Ia memijiti kepalanya yang terasa sakit. Keripik pisang itu hanya bisa ia pandang di balik transparan plastik toples yang membungkusnya.
Dia hanya sendiri tanpa supir juga pelayan yang biasa melayaninya meski di kampus. Masih terngiang ucapan Sarah tentang dirinya yang tidak bisa mandiri. Tentu, Biru tak bisa diam saja. Semua demi Langit, karena itu ia mulai berani ke kampus sendiri. Hanya saja ia pikir masalahnya tak akan serumit ini.
Sakit kepala merasuk hingga tengkuk. Jemari Biru mengetuk meja di kelasnya. Seberapa keras ia berpikir, masalahnya tak juga terselesaikan. Ini bahkan lebih sulit dibanding mencari ATM isi lima ribu rupiah.
"Bro! Kenapa?" tanya Randy. Pria itu baru tiba ke kelas sebelum bel tanda kelas dimulai. Biru merasa mendapat angin surga.
"Ran, bisa bukain toplist?" tanya Biru berharap banyak sahabatnya itu jauh lebih pintar darinya.
Randy menggaruk kepala akibat kebingungan. Ia tahu banyak top list dari lagu, game favorit sampai salon kecantikan mamahnya. Masalah di sini adalah top list apa yang dimaksud Biru dan kenapa harus dibuka. "Memang kenapa? Gak bisa diakses? Dihide?" tebaknya.
"Ditutup, makanya harus dibuka. Kalau sudah dibuka ngapain dibuka lagi?" jawab Biru seperti biasanya mengesalkan. Randy mengusap dada. "Tolong jangan bodoh, buka toplist saja masa gak bisa!" protes Biru.
"Memang kamu bisa?" Randy malah bertanya balik.
"Kalau bisa gak akan minta kamu bukain," protes Biru yang keberatan pertanyaannya malah dibalikan.
"Berarti kamu bodoh, donk!" ledek Randy sambil tertawa dan menunjuk wajah Biru. Sungguh kata-kata itu terasa amat sangat menyakitkan untuk Biru.
Karena kesal toyoran Biru melayang ke kepala Randy. "Emang kapan aku ngaku pinter? Kalau aku pinter sekarang sudah punya pabrik pesawat, ngapain mikirin top list!" keluhnya.
Randy tertawa puas sampai perutnya terasa mulas. Biru itu memang lain, seperti tak hidup di dimensi yang sama dengan manusia pada umumnya. Kadang apa yang ia katakan hampir tak bisa dimengerti.
Jika melihat Biru, tagline jika anak tuan muda itu dingin, sengak, kaku, semua luruh luntur. Selain tukang mengerjai orang, sisa dalam hidup Biru adalah komedi dan keanehan.
Biru sudah malas membahas masalahnya dengan Randy. Lebih baik ia berpikir sendiri, meski itu berat. Sesekali Biru menarik napas lalu mengeluarkannya dengan berat hingga terdengar jelas suara napasnya.
"Kamu mikirin apa, sih?" Lama-lama juga Randy merasa terusik. Bahkan Biru duduk tak mau diam dan terlihat resah.
"Aku sudah bilang lagi mikirin cara buka top list!" tekannya.
"Top list apa?" tanya Randy berusaha membantu andai saja kalimatnya bisa Biru cerna dengan baik.
Biru menggeser toples di hadapannya ke dekat Randy. "Top list ini, loh!" tunjuknya.
Randy mematung sejenak lalu tertawa terbahak-bahak hingga membuat semua orang di sana mengalihkan padangan padanya. Randy sampai memegang perutnya karena ngilu. Ia sudah berusaha berhenti, justru begitu melihat wajah Biru yang polos tak mengerti membuat ia tertawa semakin keras.
"Apa, sih!" protes Biru. Pria itu berdiri lalu meninju lengan Randy. Karena pria itu tak mau berhenti, Biru injak punggung kaki Randy dengan kuat. Sayang, pria itu masih tak hentinya tertawa.
Mata Randy sampai basah gara-gara kelakuan sahabatnya itu. "Ru, jujur, ya? Waktu kamu lahir, orang tua kamu adain pengajian gak. Takutnya ada jin nempel seribu ke otak kamu itu," ledek Randy.
Rolan yang baru datang agak bingung melihat Randy begitu keras tertawa. Ia bertanya tentang yang terjadi lalu Randy bantu jelaskan kronologinya. Rolan juga tak mampu menahan tawa hingga memukuli alas meja saking tak kuatnya menahan ngilu di otot perut.
"Otak Biru bukan kerasukan jin, tapi kekubur bareng plasenta," komentar Rolan jauh lebih sadis.
Biru melipat tangan di dada. Wajahnya memerah akibat kesal. "Salahku apa?" Biru mencoba menelaah kesalahannya. Ia tahu begitu payah sampai tak bisa melakukan hal sepele. Hanya saja itu ada alasannya.
Sejak kecil yang diajari pada Biru hanya pakai garpu sendok sama pisau makan. Semua makanan selalu disediakan di atas meja oleh pelayan dengan keadaan siap makan. Camilannya saja dibuat oleh chef pribadi.
"Ini toples, Markonah!" tegas Randy sambil menunjuk benda yang dimaksud Biru.
"Untung gak salfok ke top less. Duh, komedi banget hidup sahabatmu, Ran!" ledek Rolan.
Randy jelas tak terima. "Dia sahabat kamu juga! Jangan menampikkau!"
"Jangan banyak bacot. Cepat bukain," titah Biru seperti biasa.
Randy meraih toples itu. Ia putar tutupnya lalu ia buka. "Segampang itu, Karjo! Apa yang susah sampai ngerut-ngerut dahi kayak lagi mecahin kalkulus!"
Biru menggaruk kening. Ia manyun lima senti meter. "Siapa suruh harus diputer segala! Mereka niat bikin wadah apa sepeda gunung!" protes Biru.
Randy dan Rolan tak berkomentar apa-apa. Percuma, dijelaskan juga tak akan sampai ke otak Biru yang kini tak tahu sedang jalan-jalan di mana. Mungkin tersesat sampai dunia ghaib.
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomanceIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...