"Ru! Langit mau melahirkan!" Fitri menelpon Biru yang saat itu tengah ada di bank. Biru lekas berlari ke bagian kepegawaian untuk meminta izin.
"Bu, istri saya mau melahirkan. Jadi saya izin nggak masuk kerja hari ini. Saya sudah titip pada satpam yang lain," izin Biru.
Jelas sekali atasan perempuannya itu mendelik kesal. "Yang mau melahirkan itu istri kamu, kenapa kamu yang izin nggak kerja?" sindirnya yang tak terima akibat sering Biru tolak.
"Makanya ibu cepat melahirkan biar tahu kalau melahirkan itu butuh suami di sampingnya, bukan butuh penjaga SPBU," Biru balas menyindir.
"Lagian belum tentu juga kalau itu anak kamu, kan. Kamu sendiri pulang malam dari sini, tahu dari mana kalau anak kamu bukan anak tetangga."
Jujur Biru memang kesal mendengarnya. Hanya tidak etis jika harus menampar nulut wanita meski mulutnya pedas kayak salon pas cap cabe. "Apa ibu juga yakin kalau ibu bukan anak tetangga?" timpal Biru menampar mulut atasannya dengan cara yang elegan.
"Pokoknya saya izin. Nggak peduli ibu mau pecat saya apa gimana. Saya punya hak cuti karena istri melahirkan. Saya bisa tuntut itu dan buat ibu yang dipecat dari sini. Jangan lupa, meski saya satpam ... saya juga mahasiswa," ancam Biru.
Tanpa mendapat surat izin, Biru berlari keluar dari bank dan naik motor matic yang ia cicil bulanan enam ratus ribu selama tiga tahun (tahun itu masih terbilang harganya segitu, ya!).
Sudah lama mengendarai motor, tiba-tiba Biru berhenti di pinggir jalan. "Kenapa juga aku nggak nanya Langit melahirkan di mana." Ia menepuk jidat.
"Bu, Langit di bawa ke rumah sakit mana?" tanya Biru melalui telpon.
"Ini masih di rumah, Ru. Nungguin kamu. Cuman kerasa mulas-mulas saja katanya, sekarang sudah mendingan. Lebih baik tetap di bawa ke rumah sakit saja," jelas Fitri.
Biru yang tadinya mengambil arah ke rumah sakit ibu dan anak terdekat langsung memutar arah menuju rumah. Melewati jalanan gang, Biru akhirnya sampai di depan teras rumahnya.
Lekas pria itu berlari masuk. "Langit!" panggil Biru melihat istrinya sudah berbaring di tempat tidur.
"Aa, itu perlengkapan melahirkan yang di tas bawa ke motor, ya? Antar ke bidan Tati saja. Nggak usah ke rumah sakit, jauh," saran Langit.
Biru mengangguk. Ia ambil tas hitam besar berisi perlengkapan yang sudah Langit siapkan jauh-jauh hari lalu ia simpan ke atas motor. Setelah itu Biru kembali ke kamar, ia gendong Langit dan didudukan di sofa ruang tamu. Kemudian kembali ke kamar.
"Aa kenapa balik lagi ke kamar? Bukannya langsung ke bidan Tati." Antara rasa mulas dan sakit di tubuhnya, Langit masih saja harus bingung dengan sikap suaminya.
"Mau kemasin kasur, La. Buat kamu nanti tidur di sana," jawab Biru sambil berteriak dari kamar.
Langit menepuk jidat. Ia usap perutnya. "Astaghfirulla, Aa Biru ... Langit mau melahirkan bukannya pindah rumah!" omel Langit.
"Ru, cepat bawa tas ke bidan Tati saja terus minta bawakan ambulan," saran Fitri. Biru keluar kamar. Ia langsung mengangguk dan lekas berlari ke depan rumah dan membawa tas dengan motornya.
Sampai di bidan, Biru membawa tas masuk lalu pergi ke bagian administrasi. "Mbak, istri saya mau melahirkan, tapi masih ada di rumah. Boleh minta dijemput ke rumah dengan ambulan?" pinta Biru.
Petugas administrasi itu mengangguk. Ia langsung menelpon ke bagian tindakan. Tak lama Biru langsung dipanggil ke dalam ambulan untuk menunjukan jalan.
Sejauh ini Biru sudah cukup siaga dan Langit berhasil dibawa ke bidan. Setelah diperiksa, Langit masih harus menunggu hingga pembukaan terakhir. Ia memegang tangan Biru dengan erat.
"Bidannya gimana, sih! Kamu sudah sakit gini malah di suruh nunggu!" protes Biru.
"Karena memang belum pembukaan sepuluh, A! Kalau melahirkan normal harus begitu," jelas Langit.
"Emang ruang bersalinnya harus punya sepuluh pintu?" tanya Biru heran.
"Aa, daripada Langit darah tinggi dan gagal lahir normal, lebih baik Aa nurut saja kata bidan!"
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomanceIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...