52b. Lanjutkan

821 190 18
                                    

"Siapa yang tinggal di sini, La?" tanya Biru ketika mereka duduk sambil berselonjor kaki di saung tengah sawah itu. Hanya terdengar suara cicitan burung dan embusan angin yang semakin lama semakin kencang.

"Ini bukan rumah, Aa. Ini saung tempat petani menunggui padi agar tak dimakan burung. Kelihatannya petani sudah mulai pulang karena sudah sore."

Dari kejauhan ia melihat layangan terbang bersamaan. "Musim kemarau begini memang banyak yang main layangan, ya?"

"Aa tahu layangan?"

Biru tertawa. "Jangan gitu, La. Gak semua hal aku gak tahu. Layangan, kelereng sampai beklen aku tahu. Sering main sama Pak Karjo dan Bu Aini. Apapun mereka mainkan denganku supaya nggak sedih setelah mamah meninggal," cerita Biru.

Ia menatap Langit. "Kalau sekarang aku sukanya mainin kamu, tapi nggak kalau sama mainin hati wanita lain," celetuk Biru.

Ia pegang tangan Langit. "Kamu tahu nggak, seberapa gilanya aku dibuat kamu. Aku rela meninggalkan apapun buat kamu. Meski cewek-cewek di bank sering pamer kaki jenjang sampai paha dan belahan lembah yang curam, aku lebih tertarik sama punya Ila," tegas Biru.

"Omongan kamu itu romantis, tapi kok nyebelin ya didengarnya. Apalagi yang bagian paha dan lembah," protes Langit dan lagi memancing tawa Biru.

"Memang begitu kerjaan mereka. Setiap hari pamer gaji. Katanya asal mah jadi simpanan mereka, aku gak perlu kerja. Memang mereka pikir aku cowok apaan."

Langit mendengus. Ia berpaling dari Biru dan melihat pohon kelapa yang bergerak tertiup angin. "Banyak perempuan yang tergoda dengan ketampanan kamu, ya? Bahkan di kampus juga. Mereka sampai rela nyogok kampus supaya satu kelas sama kamu. Padahal, Aa Biru saja gak pernah masuk kuliah. Berasa zonx," ledek Langit.

Ia jadi ingat pengalaman pertama ia masuk kuliah. Banyak wanita yang sering menyebut nama Banyu Biru Bamantara dan membicarakan betapa tampannya pria itu. Langit juga tak punya tempat bertanya. Ia tak punya teman di sana.

Satu kampus Majapada diisi putra dan putri pejabat juga pengusaha terkenal. Langit kuliah di sana karena lulus seleksi mahasiswa akibat aturan pemerintah agar kampus memberikan 10 % kursi untuk mahasiwa berprestasi yang kurang mampu.

Peraih beasiswa itu tentu bukan hanya Langit. Namun, mereka mudah bergaul dengan anak-anak orang kaya itu. Sedang Langit, ia lebih suka menyendiri dan konsentrasi pada kuliahnya.

"Pertama kali aku lihat Aa waktu di kantin jalan bareng Miki, Roland, sama Randy. Waktu itu Aa jahil banget sampai numpahin bubur di kepala orang. Belum lagi pamor tukang bully. Kan Langit jadi takut," cerita Langit.

"Kalau sekarang?" pancing Biru.

Mata Langit kembali menatap suaminya. "Sekarang takutnya kalau berdua sama Aa di kamar, pasti main terkam sampai jadi bayi begini," kelakar Langit.

Biru membela rambut panjang Langit. "Jadi nggak takut lagi?" Kembali Biru melayangkan pertanyaan.

Langit menggeleng. "Justru sekarang kalau Langit takut, inginnya meluk Aa. Boleh meluk nggak sekarang?"

Biru mengangguk. "Peluk saja, tapi aku nggak balas meluk. Takutnya nggak mau lepas," ucap Biru.

Kembali Langit tersenyum dan langsung memeluk suaminya. Biru benar tak balas memeluk. Ia hanya sesekali mengecup kepala Langit dan membelainya. Besar sekali rasa cinta Biru pada Langit, cinta pertama, selamanya dan terakhir kalinya.

"Nanti anak kita akan lahir. Cinta kita bakalan terbagi dengannya. Pernikahan kita akan semakin sempurna dan lebih dari itu ujiannya akan semakin berat. Apapun itu, jangan pernah kita berpisah, ya?"

Langit mengangguk untuk menimpali ucapan suaminya. Biru menatap ke atas langit. Matahari semakin condong ke barat. Tak terasa sudah dua jam mereka di sini dan langit mulai bertabur nuansa jingga.

"Allah, jaga istriku dengan baik. Berikan kami keturunan yang baik pula." Tangan Biru kembali mengusap kepala Langit.

"Kita pulang, sayang. Sudah semakin sore," ajak Biru.

Saat ia melirik wajah Langit, Biru tersenyum. Langit tertidur karena nyaman merasakan angin semilir dan hangatnya tubuh Biru. Tak ingin membangunkan Langit, Biru menggendongnya pulang.

"Tidur dulu saja, nanti aku bangunkan ketika adzan maghrib, ya?" bisik Biru sambil kembali mengecup pipi istrinya.

🌱🌱🌱

Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang