"Kenapa gak bales SMS aku, Bu? Padahal aku kirim pesan loh dari subuh." Langit hari ini hendak menitipkan ibunya pada tetangga. Namun, sejak pagi tetangganya tak datang juga. Padahal ia sudah kirim pesan.
"Hapeku rusak, La. Mau dibawa ke konter juga takut mahal. Belum ada uang," cerita Bu Ani.
Biru keluar dari kamar dengan pakaian yang rapi. Ia hendak berangkat kuliah. "La, gak bisa kancingin ini," pinta Biru sambil mengasongkan bagian lengan kemejanya yang belum dikancing.
"Ikat pinggangnya bisa?" Langit memeriksa celana suaminya. Ada peningkatan, ikat pinggangnya sudah benar. Kemarin-kemarin meliuk-liuk bagaikan ular.
"Dari kampus langsung kerja, Ru?" tanya Fitri, ibu Langit.
"Iya, Bu. Hari ini di suruh jaga ATM," jawab Biru.
Setelah kemejanya dikancing Langit, Biru berjalan ke dapur. Ia melihat piring yang sudah berisi nasi dan telor ceplok. Matanya mencari-cari keberadaan kecap manis. Hanya ada satu sachet yang sudah dibuka sisinya dengan gunting. Biru menuangkan kecap itu di atas telurnya.
"Makan Bu Ani," ajak Biru sambil duduk di karpet ruang tengah.
"Makan telor ceplok lagi, Ru? Gak bosen?" tanya Bu Ani sambil cekikikan.
"Gak lah, orang kesukaannya. Tadi ditawari sama dendeng saja tetap minta telur ceplok," timpal Langit. Ia membawakan Biru segelas air teh hangat.
"Biar tambah enak, pakai kerupuk blek, Ru. Nikmat sudah. Sate usus saja kalah," saran Bu Ani.
Biru menatap Langit sambil berkedip-kedip. "La, mau itu," pintanya.
Langit mengangguk. Ia lekas pergi keluar. Biasanya pagi begini, tukang kerupuk blek sudah keliling di kampung. Biru menyimpan piringnya di atas meja tamu lalu mengikuti Langit hingga keluar.
Langit berhenti di lapangan voli yang tidak ditembok. Kaki Biru berjalan mendekati istrinya. Matanya melirik pemandangan aneh di dekat istrinya.
"Padahal makan saja. Kenapa malah ikut?" tanya Langit.
"Ini kamu beli toren air?" tanyanya.
"Toren apa?" tanya Langit bingung.
Biru menunjuk tanggungan tukang kerupuk yang memang sekilas mirip dengan toren air dan bentuknya memang besar. Hanya saja terbuat dari seng ringan dan dicat hijau. Tukang kerupuk di Jawa Barat saat itu mengenakan tanggungan begitu untuk menjual kerupuk.
"Ini tempat kerupuknya," jelas Langit. Penjual kerupuk membuka tutup tanggungannya, ia mengeluarkan kerupuk dari dalam sana dan memasukan dalam keresek.
Biru masih berpikir keras. Tukang jualannya apa titisan Ade Rai, ya? Kuat amat bawa toren segede ini. Tak lama ia juga mendapati sesuatu yang aneh. "Kok kerupuknya putih?" protesnya.
"Ouh, emang ada yang oren. Emang kamu mau yang oren?" tawar Langit.
Biru menggeleng. "Mau yang hitam," jawabnya.
"Gak ada, kerupuknya cuman ada yang putih sama oren."
"Yang hitam abis?"
"Dari dulu juga gak ada yang hitam, jang," timpal tukang kerupuk.
"Kata Bu Ani yang enak itu kerupuk black. Bukan yang putih apalagi oren," tegas Biru.
Tukang kerupuk cekikikan. Langit syok. Bagaimana ia bisa menjelaskan pada suaminya. "Iya ini, ini namanya kerupuk blek," jelas Langit.
"Kok gak hitam? Kan Black itu artinya hitam," protes Biru.
"Jang, maksudnya blek itu ini loh," tukang kerupuk menunjuk benda seperti toren air yang berisi kerupuk. "Maksudnya kerupuk blek itu kerupuk dalam blek ini. Bukan black artinya hitam," tegas tukang kerupuk.
Biru ber-oh. "Ini blek," lekas ia masukan dalam memorinya.
Selesai memberi kerupuk, mereka pulang ke rumah. Biru diajari cara makan nasi, kecap, telor dan kerupuk oleh Bu Ani. Wajahnya berbinar. Ia memang selalu terlihat nikmat kalau makan.
"Benar enak, Bu. Biru suka," pujinya sambil bertepuk tangan.
"Sholeh banget ya suami aku ini. Kapan lagi ada suami makan nasi sama telor ceplok tiap hari gak ada bosennya. Istrinya jadi gak perlu masak yang aneh-aneh," kelakar Langit.
"Bu Ani, biar Langit yang benerin hape ibu, ya? Gak apa-apa Langit ada tabungan, kok," tawar Langit.
"Hape Bu Ani kenapa?" tanya Biru penasaran.
"Ini, gak nyala. Sempat keluar layar putih sih, tapi gak lama mati lagi," jelas Bu Ani.
Biru mengangguk-angguk. "Biar Biru yang benerin. Santai saja." Dia mengambil ponsel milik Bu Ani lalu memasukan dalam tasnya.
"Emang bisa?" tanya Langit khawatir. Bagaimana ia bisa mempercayakan hape Bu Ani pada suaminya yang jelas buka tutup tupperw*re saja gak bisa.
"Bisalah!" begitu enteng dia menyanggupi. Ini bukan berlebihan atau cuman mimpi. "Mobilku pernah mogok di tengah jalan. Aku benerin sendiri," ungkapnya sombong.
Ia masih berusaha memotong telor ceplok di atas piring dengan sendok. Lama kelamaan, Biru kesal juga. "Kenapa gak dikasih pisau, sih. Motong telurnya susah," keluh dia.
Bu Ani mengusap dada. Ia mendadak merasa takut sendiri. Apa hapenya akan baik-baik saja?
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomanceIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...