Keluar dari rumah Pak RT, Langit masih menelaah copyan kartu keluarga milik Angga Bamantara. Hanya ada tiga orang di sana, Angga, Surya dan Biru. Seingat Langit, Biru punya ibu tiri bernama Tantri. Langit juga sempat bertemu wanita itu saat mereka datang meminta restu.
"Kamu lihat apa?" tanya Biru sambil mereka berjalan di atas paving blok jalan gang.
"Kok ibu tiri kamu gak ada?" tanya Langit. Ia mulai membiasakan diri memanggil Biru tanpa embel-embel Tuan Muda agar tak ada yang curiga.
Tawa terdengar dari mulut Biru. "Emang dia siapa?" Biru malah balik bertanya.
Jelas Langit semakin bingung. "Diakan ibu tiri kamu. Maksudku, dia istri papah mertua sekarang."
"Cie ... yang sudah manggil papah mertua," ledek Biru.
Langit mendelik. Padahal ia ingin serius malah diajak bercanda. "Kalau dia seorang istri, pasti ada di sana. Nyatanya ia tak ada di sana," timpal Biru.
"Maksudnya? Ah, aku gak tahu persoalan hidup orang kaya. Rumit sekali. Kan banyak tuh orang yang bisa dibayar, masa ngurusin KK saja gak bisa."
"Bukan diurusin, emang gak bisa. Jangankan KK, surat nikah saja mereka gak punya. Makanya, dari sisi mana aku bisa bilang dia ibu tiriku," ungkap Biru.
Langit tertegun. "Gak punya surat nikah? Nikah siri?"
Biru tertawa. "Kamu ngerti gak sih aku bilang dia simpanan?"
Kali ini Langit menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Kumpul kebo?" tebak Langit.
Biru menggeleng. "Kebo masih lebih beradab. Buktinya jadi lambang sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Kalau ini lebih kayak penghuni pohon beringin keramat. Semua setan ada di situ semua tanpa jelas hubungannya. Makanya aku gak betah," komentar Biru.
Langit sampai cekikikan mendengarnya. Tangan Biru menuntun istrinya. Ia melihat ke atas Langit yang masih ada beberapa titik bintang malam itu.
"Papah gak akan berani nikahin wanita itu. Kamu lihat apa yang dia katakan soal kamu? Dia terus menghina latar belakang keluarga kamu. Dia sendiri gak mikir kalau dia memelihara wanita yang asal-usulnya tak jelas."
"Kalau sampai dia menikahi wanita itu, sama saja dia menjilat ludah sendiri. Gitu?"
Biru mengangguk. Terdengar suara dengungan dari kejauhan. Biru melirik ke asal suara. Akibat gelapnya gang, ia hanya melihat cahaya temaram dari jauh sana. Biru berpindah ke belakang Langit sambil menyembunyikan diri.
"Hantu apa itu, La?" tanya Biru.
Langit tertawa. "Itu bukan hantu, itu tukang putu," ungkap Langit.
"Hah? Tukang kutu?" tanya Biru.
Langit mendengus. "Lagian suami macam apa, tahu ada setan malah ngumpet di balik istrinya."
Langit meraih lengan Biru dan mengajaknya menuju pedagang keliling yang menjual kue kukus dari tepung beras berisi gula merah dan ditaburi kelapa parut itu.
Biru ber-oh begitu semakin dekat, ia akhirnya melihat tanggungan beserta pedagangnya yang hanya disinari sebatang lilin.
"Mau beli?" tanya Langit.
"Emang enak?" tanya Biru yang baru pertama kali melihat tukang jualan yang mengeluarkan bunyi seperti speaker rusak. Mendenging.
"Iya enak lah, Jang. Kalau gak enak gak akan dijual," timpal pedagangnya.
Kali ini Biru mengangguk. Ia melirik istrinya. "La, kredit lagi, ya? Nanti abis gajian jadi satpam aku ganti," pintanya.
Saking sudah biasa, Langit langsung mengeluarkan uang dari saku. Meski ia juga tak berharap banyak dari suaminya. Meski tak bisa apa-apa, ia bersyukur karena suaminya bukan pria pemalas. Biru sangat rajin mencari pekerjaan juga sudah mau kuliah. Bersakit-sakit dulu, Langit yakin Biru bisa membahagiakannya kemudian.
Penjual kue putu lekas membuat kue. Memasukan adonan tepung beras ke dalam sebilah bambu lalu disimpan di atas uap yang mengepul keluar dari lubang kecil. Begitu bambu disimpan di atas lubang, suara dengungan hilang.
"Ouh, suara hantunya keluar dari sini?" tanya Biru mengerti. "Keren-keren, aipon saja kalah canggih," komentarnya.
Tak butuh waktu lama, ia mendapat lima belas potongan kue putu di atas kertas koran yang ditaburi kelapa parut. "Ini apa? Salju?" tanya Biru melihat butiran kepala di atas kue hijaunya.
"Itu kelapa parut," jawab Langit. Biru mengangguk. Langit membayar uang lima belas ribu pada penjualnya sementara Biru lekas mengambil bungkusan koran. Ia tak sabar ingin mencoba makanan ini.
"Hati-hati tumpah," nasehat Langit. Biru berhasil membawa bungkusan itu hingga tiba di rumah dan menyimpan di atas meja.
"Baru pulang? Gimana pengantarnya? Dapat?" tanya ibu.
"Itu bahas nanti saja dulu, Bu. Ini ada kue kutu. Makan, yuk?" ajak Biru.
Ibu Langit terkekeh. Ia sering dibuat tertawa oleh tingkah menantunya yang tak tahu Langit temukan dari planet mana.
Biru membuka bungkusan. Ia biarkan ibu Langit membawa kue itu lebih dulu, baru giliran dirinya yang mengambil jatah. Wajah Biru berbinar merasakan kue hangat dan gurih masuk ke dalam mulutnya. Kemudian berbaur bersama rasa manis dari gula merah.
"Ini enak," puji Biru.
"Makan yang banyak. Jangan lupa tulisin catatan kredit yang tadi," kelakar Langit yang dibalas dengan kekehan Biru juga tawa ibunya.
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomanceIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...