"Assalamu'alaikum. Mas, maaf Biru merepotkan, nih. Boleh pinjam motor, gak?" izin Biru.
Mas Parmin yang sedang mencetak bakso untuk berjualan sore dan malam nanti berpaling ke arah pintu di mana Biru berdiri.
"Waalaikumsalam. Kenapa, Ru?" tanya Mas Parmin.
Biru agak senyum sedikit lalu pura-pura melihat ke rangka pintu. "Rangka pintunya bagus, Mas. Dibuat dari bambu apa?" Ia merubah tema obrolan karena malu.
Mas Parmin lagi dibuat tertawa oleh Biru. "Kamu itu gak ada bakat tukang bangunan, Ru. Itu rangka dari kayu, bukan bambu," ralat Mas Parmin.
Biru terkejut. "Beda, ya?"
Mas Parmin mengangguk. "Beda. Bambu dari pohon bambu. Kalau kayu dari pohon-pohonan lain seperti jati dan mahoni."
Biru hanya mengangguk. "Kan bambu juga sama-sama pohon. Tadi Mas bilang pohon bambu, kenapa gak masuk anggota kayu? Gak adil banget dibedain," protes Biru.
"Kamu tanyain sama tukang pintu sana. Mas Parmin cuman tukang jualan bakso. Mereka yang kasih nama," timpal Mas Parmin.
Biru mengetuk-ngetuk rangka pintu itu yang memang terdengar sangat kuat. "Mas, ituloh ... aku mau ngerepotin. Sebenarnya, aku mau antar Langit ke bidan, tapi jalannya jauh dan gak ada angkot ke sana," jelas Biru.
Mas Parmin memotong ucapan Biru, "Mau minjem motor?" terka Mas Parmin.
Biru terkejut. "Mas, kok bisa tahu? Mas Parmin punya indra ke enam?"
"Gak juga. Cuman nebak dari omongan kamu saja tadi," ungkap Mas Parmin. Ia menunjuk bagian atas televisinya. "Itu, ambil saja. Ada di atas televisi, Ru."
"Assalamu'alaikum," ucap Biru sambil melangkahkan kaki kanan lalu masuk ke dalam rumah.
"Telat banget kamu, Ru. Bukannya sudah salam pas tadi." Mas Parmin masih sibuk dengan tangan dan sendok untuk mencetak bakso.
"Kemarin-kemarin pas aku ke sini lupa, jadi aku cicil, Mas." Biru membawa kunci di atas televisi. Saat lewat, ia baru memperhatikan Mas Parmin mencetak bakso.
"Jadi nyetak bakso itu pakai tangan? Kupikir pakai bola," tanya Biru takjub.
Mas Parmin lagi tertawa. "Mau pakai apapun, yang penting pakai celana, Ru."
Biru mengangguk saja. Ia pamitan dan mengucap salam sampai dua kali dengan alasan mencicil salam yang kemarin-kemarin. Biru menaiki motor matic milik Mas Parmin. "Mas! Ini giginya mana?" tanya Biru.
Biru yang hanya memiliki motor sport tentu tak tahu bagaimana menggunakan motor itu. Dari dalam rumah, Mas Parmin berteriak, "Atur gas saja, Ru. Motor begitu gak ada giginya."
Biru mengangguk. Daripada istrinya jadi celaka, ia coba dulu motor itu. Ternyata begitu menyala, ia gas pelan-pelan maju juga. Biru mulai mengatur irama tekanan gasnya lalu pulang ke rumah.
Fitri masih duduk di depan rumah. "Bu, aku mau ajak Ila ke bidan dulu. Bu Ani lagi jalan di sini," ucap Biru sambil menepikan motor di depan rumah. Lantas Biru berjalan masuk ke dalam untuk membawa Langit.
"La, ayok ke bidan dulu," ajak Biru. Ia gendong Langit ke luar.
"Uangnya kamu punya, A?" tanya Langit. Biru mengangguk. Di kantor gajinya naik setiap bulan. Bulan ini saja naik jadi dua juta akibat ia rajin kerja.
"Kata atasan, asal aku jarang absen gajinya bisa naik perlahan sampai UMR. cuman bingung atur jam kerja sama jam kuliah," jawab Biru.
Ia menaikan Langit ke atas motor. "Langit kenapa, Ru?" tanya Bu Ani yang baru datang.
Fitri tertawa. "Kebanyakan main sama suaminya, jadi begitu."
"Ini mau ke bidan, Bu. Mau periksa soalnya sudah telat dua bulan. Bulan ini harusnya minggu lalu, tapi gak dapat juga," jawab Langit.
"Hati-hati kamu, La. Umur segitu masih rawan, jangan strees jangan capek," nasehat Bu Ani. Langit mengangguk.
Biru ikut naik di bagian depan jok. Ia mulai menyalakan motornya. "Naik motor?" tanya Langit. Biru mengangguk.
"Emang Aa punya SIM C? Kalau ketahuan polisi gimana? Bisa ditilang, lho," protes Langit.
Biru menggeleng. "Gak ada, La. Lagian cuman ke komple depan gak lewat jalan utama. Gak apa, mungkin," alasannya.
Langit hanya mendengkus. Memang banyak orang naik motor tanpa SIM yang alasan hanya ke jalan depan gak lewat jalan utama. Padahal tetap saja salah.
"Hati-hati, Aa. Jangan ngebut kamu, kasihan bayi kita," nasehat Langit sambil menepuk bahu Biru.
"Pasti pelan, lah. Mana ini pertama kali naik motor beginian. Takut jatuh atau oleng," jawab Biru membuat Langit syok.
"Ya Allah, turunin aku aja, A. Aku masih mau hidup tahu. Turunin." Langit memukul bahu Biru beberapa kali, tapi pria itu terus menjalankan motornya sambil tertawa senang meski suara Langit lantang berteriak.
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomanceIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...