"Mah!" Biru berkeriau ketika bangun dari tidurnya. Kaos putih dengan brand huruf C dan K basah karena keringat menganak sungai keluar dari tubuh. Napasnya bergerak cepat seperti mesin kereta ekspres.
Ketika tangan Biru menyentuh dada, degupan jantungnya bergerak semakin kencang. "Mamah," panggilnya lagi pada wanita yang sudah selama dua belas tahun tiada.
Mata Biru melebar. Bergerak lehernya ke arah kanan. Sebuah bingkai foto keemasan melindungi cetakan gambar seorang wanita muda mengenakan gaun putih. Setengah bagian rambutnya diikat ke belakang dan bunga kaca piring terselip di telinga. Kulitnya putih bersih laksana melati dan bibirnya merona merah.
Mata almond hitamnya kini tercetak pula pada Biru. Betapa wajah itu Biru rindukan. Perempuan yang menjadi cinta pertama seluruh anak laki-laki di dunia ini, ibu.
"Mamah baik, kan?" tanya Biru. Cahaya rembulan menyelusup dari jendela besar yang tidak ditutup gordennya.
Kamar dengan nuansa putih itu memiliki arsitektur modern. Dindingnya dilapisi wallpaper putih dengan motif daun abu-abu. Tempat tidur putih di mana Biru tidur menghadap langsung ke pintu menuju balkon dengan pemandangan kolam renang juga indahnya pegunungan.
Biru mengusap wajahnya. Ia sibak selimut kemudian turun menapak pada lantai bermotif kayu coklat tua. Meski ada sandal, Biru bertelanjang kaki ke kamar mandi. Pada wastafel yang dilapisi keramik putih itu, Biru membasuh muka. Napasnya masih terengah-engah. Kini tangannya bertopang pada wastafel, Biru menunduk sambil menutup mata. Masih terekam jelas wajah dan suara ibunya, terumata kejadian malam dua belas tahun lalu.
Saat tangan Biru belum selebar ini dan tinggi tubuhnya masih 116 cm, Biru dibawa pergi ibunya meninggalkan rumah. Selama dua minggu, mereka bersembunyi di rumah panggung, tak tahu milik siapa. Ingatan Biru telah hilang sebagian tentang masa kecilnya. Bagian paling ia ingat, saat ibunya memaksa ia bangun.
Awalnya Biru berada digendongan ibu yang melahirkannya. Kemudian seorang pria merebut Biru. Tangis anak itu pecah karena ketakutan. Biru berusaha melepaskan diri dari cengkeraman mereka sekuat ibunya berusaha mendapatkan Biru kembali dari orang-orang itu. Tak lama Biru mematung, mendengar suara tembakan begitu keras.
Cairan merah yang kental keluar dari perut ibunya. Mata wanita itu terbuka lebar menantap Biru sambil mengulurkan tangan. Beberapa detik kemudian, ia tumbang dan tergeletak di lantai. Darah mengucur semakin deras membasahi lantai papan dan mengeluarkan aroma amis. Malam berubah begitu mencekam.
"Mah!" panggil Biru lagi dengan suara lantang. Ia mengulurkan tangan untuk meraih wanita itu. Namun pria-pria berpakaian hitam terus menggendongnya menjauh. "Tidak! Mamah! Biru mau mamah!" teriak Biru disela tangisannya yang kuat.
Kejadian itu masih jelas terekam dan membuat Biru terbangun setiap tengah malam. Seberapa keras ia lupakan, tetap terbayang hari terakhir ia melihat ibunya sebelum peti berisi tubuh tak bernyawa wanita itu terkubur ke dalam tanah. Anak mana yang tak merasakan sakitnya kehilangan wanita yang melahirkannya. Apalagi sehari setelah kematian ibunya, papah Biru datang membawa wanita lain dan ia kenalkan sebagai ibu barunya.
Biru mengurung diri seharian di kamar, menahan perih sendiri. Dalam keadaan serapuh itu, tak satu pun peduli padanya selain pelayan di rumah. Bahkan hingga sekarang, ketika usianya sudah delapan belas tahun, masih tak satu pun anggota keluarga yang peduli.
Biru menatap bayangan wajahnya di kaca. Dalam angan ia melihat wajah seorang gadis yang ia temui siang tadi di kampus. Gadis manis itu memiliki senyum manis dan rona wajah persis seperti ibunya. Biru tersenyum. "Aku mungkin tak bisa menjaga mamah, tapi aku akan mencoba menjaganya dengan seluruh hidupku," tekad Biru.
Ia pergi ke luar kamar mandi. Biru duduk di pinggir tempat tidur. Ditutup kedua mata dengan telapak tangan. Terasa tangannya bergetar. Ia melirik ke sisi jendela. "Aku salah apa, sih?" batinnya. Tiba-tiba terdengar suara ponsel. Ia lekas mengambil benda itu.
"Ru, kamu enggak apa-apa?" tanya Miki.
"Aku kenapa emang?" tanya Biru.
"Ya elah, kita semua tahu gara-gara kamu berantem di cafe, Papamu jadi harus ganti rugi. Dia enggak ngapa-ngapain kamu, 'kan?"
"Heh, kapan dia peduli padaku. Setelah aku buat masalah dan selesai ya sudah, dia enggak akan ngapa-ngapain lagi. Memang dia mau apa?" tanya Biru.
"Kali saja dia mau hukum kamu."
"Dia enggak ada waktu buat ngehukum aku. Selama nama baiknya masih baik-baik saja, dia enggak akan ngapa-ngapain!" timpal Biru.
"Ya bagus, sih."
"Di mana kalian?" tanya Biru.
"Kenapa? Mau ke sini? Kita lagi nongkrong, enggak bisa tidur," jawab Miki.
"Iya, aku ke sana. Mimpi buruk terus. Jadi males gini mau tidur lagi. Tunggu di sana!" Biru lekas mematikan ponsel dan berdiri. Dia pergi ke walking closet dan mengganti pakaian. Diambil kunci mobil dari nakas di sampinh tempat tidur. Biru mengendap-endap ke luar rumah. Para pelayan tak ada di lorong sehingga dia lebih leluasa untuk kabur dari sana. Tiba di carport, Biru menyalakan mesin mobil. Ia lekas mengendarai benda itu menuju tempat teman-temannya berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomanceIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...