15b. Cacing dan Larva

1.3K 344 9
                                    

"Apa ini?" tanya Angga ketika staff kepercayaannya memperlihatkan beberapa lembar foto. Ruangan besar yang berada di lantai paling atas Silver Tower itu adalah ruangan Chairman dari Bamantara Grouph, salah satu grup perusahaan yang memiliki banyak perusahaan di bawahnya.

"Sepertinya Tuan Muda Biru dekat dengan seorang wanita. Mahasiswa penerima beasiswa di Universitas Manjapada," jelas staff itu.

Angga hanya menyandarkan punggung di kursi kebesarannya. "Sudah kubilang, apapun soal anak nakal itu bukan urusanku. Selama dia tidak membuat masalah yang membuatku malu, biarakan saja," tandas Angga. Pria yang kini sudah berusia lima puluhan itu mengambil foto tersebut lalu membuangnya ke tempat sampah.

"Membiarkan Tuan Muda berhubungan dengan wanita dari golongan bawah bukannya membuat nama keluarga Bamantara tercemar?" tanya staff itu kebingungan.

Angga menggeleng. "Selain bertengkar atau melakukan tindakan melanggar aturan sosial, biarkan saja dia. Pacaran tidak akan membuatku dipanggil polisi atau pihak kampusnya," tegas Angga.

Ia berdiri dan memperbaiki jasnya. Ia berniat kembali ke rumah karena mendengar istrinya sudah kembali dari luar negeri. "Apa Surya menjemput Tantri dengan selamat?" tanya Angga memastikan keadaan wanita yang berbeda usia lima tahun dengannya itu.

Staff itu mengangguk. Tak lama Angga melihat pintu kantornya dibuka. Burhan, sekretaris pribadinya muncul dari sana. Pria itu mendelik pada pria muda berjas hitam yang tengah berdiri di depan Angga, ia memasang kehati-hatian karena merasa posisinya akan digantikan.

"Keluarlah! Aku harus bicara dengan Burhan!" tegas Angga pada staff rahasianya. Pria muda berjas hitam itu menunduk lalu berjalan keluar.

Angga duduk di sofa tamu dan Burhan duduk berhadapan dengannya. "Ada apa?" tanya Angga, kaku seperti biasanya.

"Saya sudah mengamankan aset yang anda titipkan. Beberapa saham sudah saya alih namakan kepada beberapa CEO di perusahaan anak di luar negeri," jelas Burhan.

Mendengar itu Angga merasa tenang. "Pastikan mereka mengembalikannya setelah ayahku mengumumkan surat wasiat. Kita harus pastikan Surya adalah penerusku selanjutnya. Keluarga pamanku cukup berbahaya. Mereka akan selalu mencari investasi pada perusahaan besar di luar Bamantara Grouph demi merebut posisiku."

Burhan mengangguk. "Saya dengar Tuan Biru sedang menjalin hubungan? Bagaimana jika Tuan Fandi tahu?" Wajah Burhan terlihat khawatir.

Angga tertawa. "Pertunangan itu dilakukan hanya untuk mengalihkan isu saham Bamantara Komunika yang anjlok dan saran dari ayahku. Fandi bahkan sudah memintaku membatalkan pertunangan itu. Anak nakal itu, siapa yang ingin menjadikannya menantu. Dia hanya menyusahkan. Lain dengan kakaknya. Kakeknya saja terlalu bod*h hingga membuat putri Fandi yang cerdas dijodohkam dengan anak itu."

"Namun sepertinya Tuan Muda Biru sangat disayangi Tuan Besar. Hari ini Tuan Muda dipanggil ke rumah besar lagi," timpal Burhan.

Angga meremas tangannya. Ia tak punya waktu untuk mengurus kenakalan Biru. "Anak itu terlalu mirip dengan ibunya. Harusnya aku singkirkan dia juga. Namun, keberadaan papa membuatku kesulitan. Tak tahu apa rencana ayahku hingga selalu melindunginya," keluh Angga.

Ia berdiri. "Apa aku datang menemui Tuan Besar dulu?" tanya Angga meminta saran.

"Sebaiknya tidak. Jika anda datang ke sana sekarang, Tuan Besar akan tahu selama ini Tuan sering melihat pergerakannya. Lebih baik kita mendengar pembicaraan mereka dari mata-mata yang kita kirim ke sana," saran Burhan.

Angga mengangguk. Ia kembali duduk di sofa meski rasanya sangat penasaran. Seorang mata-mata yang ia kirim selalu bilang Biru ke sana hanya untuk bermain catur. Namun, ia yakin ayahnya punya maksud lain pada Biru. Maksud yang membuat mendiang istrinya membawa kabur Biru dulu.

Sementara itu, Biru tengah sibuk membuka oleh-oleh dari ibu tirinya. Pria itu menahan rasa ingin muntah melihat dalam bungkus oleh-oleh itu berisi sebuah sweater.

"Mau jadi ibuku? Mimpi saja kau!" umpat Biru. Pria itu lekas mengambil pancingan dari ruangan khusus alat-alat mainnya di kamar. Sweater itu ia kaitkan pada mata pancing lalu ia bawa turun ke bawah.

"Tuan Muda, kalau sampai Tuan Angga tahu anda akan kena marah lagi," saran Pak Karjo. Pria berambut putih itu sampai kewalahan mengikuti langkah Biru.

Biru tertawa. "Lihat! Gambarnya saja cacing! Pas banget dipakai mancing!" serunya sambil berjalan di lorong rumah, menuruni tangga lalu berjalan ke belakang rumah tempat ada kolam besar berisi ikan-ikan juga air mancur.

"Tuan! Nyonya Besar membelinya dari Roma," keluh Karjo merasa sayang dengan sweater mahal itu.

"Hah! Aku tak peduli dia beli di mana, yang jelas dia meledekku. Apa-apaan dia suruh aku pakai sweater gambar cacing? Ingin mengajak perang!" omel Biru tanpa berusaha berhenti melancarkan niatnya.

Karjo memberi kode pada Aini, ketua pelayan di sana agar bisa menasehati Biru. "Tuan Muda coba lihat baik-baik, itu bukan cacing ... itu larva," jelasnya.

Mendengar itu Biru semakin kesal. "Cacing dan larva apa bedanya? Tetap saja pelakor itu memandangku rendah! Si Alan!" maki Biru.

Tiba di depan kolam, ia mengulur tali pancingnya. Dengan sekali hentakan, sweater mahal yang harganya puluhan juta itu tercebur ke dalam kolam. "Hai ikan-ikan! Makan itu cacing, eh larva!" serunya.

Karjo dan Aini hanya bisa menunduk karena tahu nanti pasti akan ada perang lagi antara Biru dan papanya.

"Tuan! Tuan Biru!" panggil seorang pelayan wanita dengan seragam kemeja putih dan rok hitam. "Anda diminta menghadap Tuan Besar Bamantara," ucap pelayan itu.

Biru melepas pancingannya. "Kakek?" tanyanya dengan wajah berbinar. Setidaknya ia masih punya seseorang yang melindungi dan itu cukup kuat.

🌱🌱🌱

Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang