75b. Kangen Bunda

1.4K 199 7
                                    

"Minara!" bentak Nila dengan suara tinggi. Ara terkejut mendengarnya. Lekas Nila masuk ke dalam kamar lalu memegang tangan anak itu dengan kasar dan menariknya keluar kamar. Baru sampai pintu, ia baru sadar ada suara anak ayam di dalamnya. Kamarnya berantakan dan anak-anak ayam itu buanh air di dalamnya.

"Dasar anak iblis! Keluarkan mereka sekarang!" umpat Nila dengan suara keras dan kencang. Napasnya naik turun tak karuan. Terlihat urat-urat di wajahnya menegang.

Ara hanya diam saat dikatai begitu dengan bentakan dan kerasnya suara Nila. Namun, suara itu bisa terdengar oleh Biru yang baru keluar dari lift. Cepat ia berlari ke sumber suara dan menemukan Minara mulai menangis. Air mata gadis kecil itu turun perlahan. Bibirnya mengatup seakan tak bisa mengeluarkan kata-kata walau hanya sekadar meminta tolong.

"Diam kamu!" Tangan Nila hampir menoyor Ara jika saja Biru tak menepisnya.

Biru tahan tangan Nila lalu ia lepaskan sambil sedikit mendorong tubuh Nila. "Kamu yang diam!" balas Biru. Tatapan matanya begitu tajam menatap Nila. Bahkan kini wajahnya Biru memerah menahan amarah. "Ini sudah keterlaluan! Aku nggak akan biarkan anakku dekat denganmu lagi!" bentak Biru.

"Aku nggak peduli! Aku juga nggak akan biarkan anak kamu yang kurang ajar ini mendekati milikku!" lawan Nila balas membentak. Wanita itu berkacak pinggang. Matanya tak bisa lepas menatap tajam ke arah Biru. Posisi mereka kini sama-sama ingin menegaskan siapa yang paling kuat.

"Nila!" Biru menunjuk wajah perempuan itu. "Aku nggak terima anakku dihina seperti ini. Jangan lupa! Aku ini siapa! Aku pemilik rumah ini dan putriku pewarisnya. Kalau aku mau, aku bisa usir kamu dari sini!" Biru membahas posisinya.

"Jangan lupa tanpa bantuan aku, kamu nggak jadi pimpinan di BG. Kalau kamu macam-macam dan kita bercerai, aku akan minta kolegaku mundur dan kamu nggak akan dapat dukungan!" Nila tak mau kalah.

Para pelayan datang dan mereka tak ada satu pun yang berani masuk ke sana. Mendengar suara keras Nila dan Biru, mereka ciut.

"Bagaimana ini?" tanya salah satu pelayan.

"Apa sebaiknya panggilkan Tuan Surya," timpal yang lainnya.

"Kayaknya enggak akan berhasil. Kita nunggu saja di sini. Kalau keadaan tidak memungkinkan, baru kita masuk," jawab staf pria.

"Jangan lupa juga, jika aku tak menjadi Chairman di BG. Lawanmu yang akan naik dan kalian akan kalah satu per satu. Kita saling membutuhkan. Jadi jangan macam-macam," tegas Biru.

Napas Nila semakin kencang. Ia merasa kesal hingga ke ubun-ubun. "Lalu apa yang mau kamu lakukan?" Nila mulai melakukan serangan kembali.

"Bawa anakku menjauh darimu! Pernikahan kita hanya di atas kertas kerjasama dan selamanya akan seperti itu. Selama kamu masih menguntungkanku. Pastikan kamu masih bisa begitu. Karena kalau tidak, aku akan membuangmu dan mengganti dengan yang lain!" ancam Biru sambil menunjuk wajah Nila. Terasa tangannya gemetar akibat menahan amarah yang sangat besar.

Ia menggendong Minara dan kembali ke kamar. Nila menendang pintu dengan kesal. "Rencanaku mendekati Biru semua hancur karena monster kecil itu!" teriaknya kesal sampai menghentakkan kaki ke lantai. Tak pernah Nila sangka ia akan hancur hanya karena anak kecil nakal berusia tiga tahun. Bahkan mereka sudah sedekat ini. Harusnya ia berhasil menggoda Biru agar menjadi miliknya. Sekarang malah Biru semakin menjauh.

Di kamar, Biru membersihkan wajah Minara dengan air hangat. Ia tersenyum agar Minara lebih cepat berhenti menangis. "Siapa yang ajari kamu dandan? Kamu lihat di YT? Anak hebat," puji Biru. Tangan Biru mengusap pelan wajah Minara dengan cairan pembersih make up yang aman untuk kulit sensitif. Ia mendapatkan itu dari pelayan.

Minara diam saja. Ia hanya memeluk boneka di tangan. Masih sesegukan anak itu akibat kaget dibentak sangat kuat. Bahkan ia tak membiarkan Biru pergi jauh darinya.

Baru ia akan menjalankan aksi untuk mengerjai Nila, Minara malah sudah melakukan lebih dulu. Ia merasa bersalah pada putrinya yang harus menghadapai orang dengan gangguan kepribadian seperti Nila. Biru takut jika ke depannya Nila akan semakin nekat. Sekarang saja dia sudah berani membentak dan hampir memukul Minara. Iya, Biru yakin untuk menjauh Minara dan Nila.

Minara mengusap matanya. "Pa, Bunda mana? Ala mau Bunda. Bunda nggak malahin Ala," tanya anak itu. Ia memeluk Biru sambil menangis. Anak itu sudah tak bisa menahan rasa takutnya. Bahkan tubuhnya gemetaran.

"Bunda nggak akan ke mana-mana. Ada di hati kamu juga di hati Papa," jawab Biru sambil menepuk pelan punggung putrinya. Ia bersaha untuk menenangkan Minara.

"Kapan Bunda puang? Ala mau Bunda." Minara mulai merengek. Terasa lirih saat anak itu mengatakannya.

Kaki kecil itu naik ke tempat tidur. Ia merangkak ke nakas di mana foto Langit terpajang di sana. Ia peluk foto itu. "Bunda puang, ya? Ala mau Bunda." Tersedu-sedu sudah Ara memanggil Langit. Air matanya menetes ke kaca bingkai foto.

Biru tak bisa melakukan apa pun selain diam di sana menatap putrinya. Setinggi apa pun kekuasaan di dunia ini, tak akan bisa mengembalikan orang tercinta yang telah kembali pada Tuhannya. Andai dia bisa membawa Langit kembali untuk Minara.

"Ara, kita pindah ke rumah baru, ya? Kita tinggal di sana. Kamu boleh pelihara anak ayam, anak bebek, anak kambing lagi seperti di Amerika. Bu Aini dan Pak Karjo akan jaga kamu kalau Papa kerja," pinta Biru.

Ara mengusap air matanya. Ia masih memeluk foto Bundanya. Namun, tangisnya sedikit berhenti karena tawaran papanya. Anak itu begitu sederhana, hal kecil bisa menghapus sedihnya walau sesaat. Meski besok mungkin dia akan kembali mengingat dan memanggil Langit.

"Boleh sapi juga?" tanya Ara dengan polosnya.

"Sapi badannya besar. Kalau sama Ara main berantem-beranteman, nanti Ara ketindih," tolak Biru sambil mengusap air mata putrinya.

"Ara nggak napas. Sapi gedut," timpal anak itu. Suaranya terdengar lucu sambil sedikit merengut. Wajah yang mampu mengundang tawa Biru.

"Iya. Jadi nggak sapi, ya?" tanya Ara lagi. Meski masih tersedu-sedu ia bisa menjawab pernyataan Biru.

"Benar. Hanya binatang kecil yang Bu Aini nggak takut kalau memberi makan. Mungkin kelinci," saran Biru.

"Capung? Upu-upu?"

"Capung dan kupu-kupu enggak bisa dipelihara lama. Kupu-kupu hidupnya hanya sebentar," jelas Biru.

"Napa?"

"Karena memang seperti itu takdir dari Allah. Makanya kita harus bersyukur diberi usia yang panjang," jawab Biru.

"Bunda kayak upu-upu?" tanya Minara lagi. Kali ini pertanyaan Minara menusuk relung hati Biru.

"Iya, Bunda seperti kupu-kupu. Dia cepat sekali pergi dari hidup Papa. Dia pergi jauh sekali sampai enggak pulang lagi."

Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang