Bandung, 2015
Aku tak ingin cintaku dan kamu hanya sebatas mitos dan ramalan
🌱🌱🌱
Sepatu kets Langit menuju tempat yang sama seperti mahasiswa lainnya. Sebuah cafe tak jauh dari kampus tempat mahasiswa salah satu universitas swasta di Bandung biasa nongkrong selepas menyelesaikan jam kuliah mereka. Ada berbagai makanan ala Jepang yang dijual. Jika sudah waktunya, tempat itu akan ramai.
Bagian paling berbeda dari Langit, ia di sana bukan untuk nongkrong dan makan. Ada banyak pelanggan yang harus ia layani dengan mencatat menu dan mengantar makanan. Iya, selain jadi mahasiswa, Langit juga pelayan di sana.
"Langit! Jangan lupa meja no lima bereskan!" titah Restu, salah satu seniornya di restoran itu. Jika tak ada pemilik, Langit sering menjadi bulan-bulanan. Ia dititah sementara senior lainnya malas-malasan.
"Senyum, La!" Kali ini bahkan Restu tega memotret Langit yang sedang mengelap lantai menggunakan tangan dan mengirimnya ke Friendster. Saat itu masyarakat Bandung sudah mulai hijrah dari friendster ke facebo*k. Beberapa masih suka bermain friendster lantaran wallpapernya bisa diganti.
Meta tertawa. "Memang wajah babu dia!" komentarnya ketika melihat foto Langit di ponsel nok*a milik Restu. Ponsel itu sudah terhitung maju karena bisa membuka browser.
Lima jam paling menyiksa bagi Langit akhirnya selesai ia lalui. Lekas Langit berlari ke ruang loker dan mengganti baju.
"Kak Restu dan Kak Meta, Langit duluan!" pamitnya meski tak diindahkan kedua seniornya itu.
Langit berlari dengan kencang di atas trotoar jalan Dago. Ia ingin lekas pulang ke rumah. Ibunya pasti belum makan dan Langit berniat membeli lauk di warteg. Tak jauh dari sini, dekat salah satu hotel di jalan itu ada warteg tersembunyi yang biasa jadi langganannya.
"Mau pesan apa, La?" tanya ibu pemilik warteg. Saking seringnya Langit ke sana, sampai dihafal nama gadis itu. Dua semester kuliah dari beasiswa di Universitas Manjapada, selama itu Langit bekerja paruh waktu sepulang sekolah di cafe makanan Jepang. Selama itu pula, ia membeli lauk di warteg ini.
"Hari ini ayamnya dua, Bu. Kakakku pulang, jadi harus sedia makanan enak," jelas Langit. Ibu pemilik warteg mengangguk. Ia dengan cekatan membungkus nasi yang dipesan Langit.
Syukur, meski ibunya sudah lama lumpuh tak bisa berjalan, ayahnya meninggalkan rumah untuk mereka bernaung. Langit tak perlu membayar kos. Hanya biaya listrik juga makan yang menjadi bebannya. Kakak perempuan satu-satunya tak bisa diandalkan. Meski bekerja di Karawang, gajinya tak pernah tahu sampai ke mana.
Langit kembali berjalan dengan keresek di tangan. Meski jauh, ia telusuri jalan Dago menuju Sekeloa dengan berjalan kaki, melewati jalan Dipati Ukur.
Perempatan jalan yang kini ia seberangi selalu macet di waktu tertentu. Langit mencoba menyeberang ketika lampu merah menyala. "Ya, ampun!" teriaknya kaget ketika keresek di tangannya direbut seorang pengendara motor. Langit terdiam melihat lauk yang ia beli diambil begitu saja.
"Itu punya ibu," keluhnya sedih. Namun, Langit tiada daya. Tak mungkin ia bisa mengejar manusia jahat itu. Langit terus berjalan dengan rasa kecewa. Di tangannya hanya sisa uang lima ribu rupiah, tak cukup untuk membeli lauk tiga orang dengan perut lapar.
Sepatu Langit masih menapak di atas trotoar. Ia terhenti melihat gerobak gorengan. Ada nasi di rumah, dengan gorengan tempe rasanya akan enak. Meski ia tahu kakaknya pasti mengomel.
Hendak mendekati gerobak gorengan, Langit tertegun dengan pemandangan seorang Nenek sedang menggelar terpal di sisi jalan untuk berjualan toge. Sudah pukul delapan malam dan dagangannya masih banyak. "Kasihan dia," ucap Langit.
Gadis itu merubah tujuannya. Ia hampiri nenek penjual toge dan duduk berjongkok di depan nenek itu. "Nek, aku cuman ada uang lima ribu. Aku beli togenya sebanyak uang ini saja. Mau aku tumis di rumah," ucap Langit.
Nenek dengan kain yang diikat di kepala itu tersenyum. Tangannya yang sudah berkerut dan berbintik hitam mengambil keresek dan meraup toge ke dalamnya.
"Ini, Neng." Nenek itu menyerahkan satu keresek toge pada Langit. Senyum melengkung di wajah Langit dan lekas ia berikan uang lima ribu seperti yang ia janjikan.
Begitu uang berpindah tangan, Langit memeluk lutut. "Nek, sudah malam. Kenapa gak pulang? Kalau mau beres-beres biar aku bantu," tawar Langit.
Nenek itu menggeleng. "Nasibmu sangat baik, Nak. Kau akan jadi Ratu. Seorang Raja akan mencintaimu dengan sepenuh hatinya," ucap Nenek itu. Matanya yang sudah mulai menurun menatap Langit.
Mendengar itu Langit hanya tersenyum. "Raja mana yang akan aku nikahi? Di Bandung mana ada raja," tandas Langit.
Nenek itu meraih tangan Langit dan melihat guratan di tangannya. "Kau akan bertemu dan terlibat dalam hidupnya. Kalian akan saling mencintai. Dan ingat, kau akan jadi seorang Ratu setelah melewati kematianmu sendiri," tambah Nenek itu.
Tak tahu apa yang dimaksud nenek itu, mendadak tubuh Langit bergetar hebat. Angin menerpa dan dedaunan terbang ke arahnya.
"Neng!" panggil suara seorang pria. Langit menengok dan mendongak. Ada seorang bapak yang Langit ingat berjualan gorengan. "Ngapain jongkok di sini?" tanya bapak itu.
"Lagi beli ...," kalimat Langit terpotong melihat di depannya kosong tak ada apa pun kecuali lubang galian kabel. Langit tertegun. Nenek penjual toge itu tak ada. Namun, di tangannya benar ada satu keresek toge yang nenek itu tadi berikan.
"Mendingan pulang, Neng. Terus wudu sama salat. Jangan-jangan diikutin sama makhluk ghaib," sarab pria itu.
Langit mengusap lengannya. "Iya, Pak. Permisi," ucap gadis itu kemudian berlari menuju rumahnya. Gadis itu sempat berbalik melihat ke tempat tadi. "Menjadi seorang Ratu dan menikah seorang Raja?" tanya Langit bingung.
Bulu kuduknya berdiri. "Ah, kayaknya memang lebih baik aku cepat pulang." Langit meneruskan perjalanan.
Menelusuri gang, akhirnya dia tiba di depan rumah. Tampak sepi malam itu. Tubuh Langit terasa pegal. Dia ketuka pintu setelah menarik napas panjang. "Ibu! Langit pulang! Lihat Langit bawa apa?" seru Langit menutupi rasa takutnya dengan senyuman. Dia tidak pernah mau Ibunya terlihat sedih.
"Kamu baru pulang kerja, Nak?" tanya Fitri, ibu Langit.
"Iya, Bu. Aku mau masak tumis toge dulu, ya? Ibu pasti lapar," tawar Langit. Disimpam tasnya di atas meja kemudian dia melangkah masuk ke dapur. Dimasukkan toge itu dalam wadah untuk dicuci. Langit terdiam beberapa saat. Dia tertawa geli.
"Apa yang aku pikirkan, sih? Gadis sepertiku mana mungkin dicintai pria kaya. Mereka juga pasti mikir-mikir. Apalagi aku enggak cantik kayak artis di televisi. Pasti aku tadi kecapean saja sampai ngebayangin yang enggak-enggak," batin Langit. Matanya kembali menatap toge dalam wadah. "Tapi, kalau bayangan, kenapa togenya masih ada?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomantizmIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...