46a. Lebih baik ....

708 199 10
                                    

"Kamu yakin kuat?" tanya Biru sambil menuntun istrinya. Langit mengangguk. Keduanya berjalan sepanjang gang rumah.

"Mau ke mana, La?" tanya tetangga yang melihat keduanya.

"Kuliah, Bu," jawab Langit dengan lengkungan di bibirnya.

"Hati-hati, kamu masih hamil muda jangan terlalu capek," saran tetangganya yang sedang menyiangi tanaman di depan rumah.

"Iya, Bu. Ini sudah berhenti kerja. Cuman kuliah saja mudah-mudahan kuat bayinya," jawab Langit.

"Siapa tahu pas lahir langsung sarjana, ya?" kelakar tetangga lainnya yang rumahnya berdekatan dengan tetangga tadi.

Wajah Langit merona malu. "Kalau gitu, Langit pamit ibu-ibu. Takut terlambat," izin pamit.

Ibu-ibu itu mengangguk. "Hati-hati juga Aa Biru, nanti pulang jangan ketinggalan gantengnya, ya?" goda ibu-ibu itu.

Biru tertawa. "Tahu saja ini ibu yang ganteng," timpal Biru.

Kembali berjalan berdua pagi itu terasa begitu hangat di kulit. Langit berwarna biru cerah dan mentari sudah mulai menyinari gang di mana rumah-rumahnya kebanyakan masih berlantai satu.

"Di sini enak, ya? Bisa kenal banyak orang. Sampai satu RW aku kenal. Di rumah dulu boro-boro. Pemilik rumah di kanan dan kiri saja gak tahu siapa."

"Kalau misal ada apa-apa tetangga gak tahu, donk?" tanya Langit.

Biru mengangguk. "Waktu aku masih SD sering jalan-jalan pakia sepeda keliling komplek sama Bu Aini. Ada police line di sebuah rumah gak jauh dari rumah, sih. Di sana lima orang anggota keluarga meninggal sudah tingga belulang. Gak ada yang tahu," cerita Biru.

Langit bergidik. "Mungkin karena halaman rumah luas. Jarak satu rumah ke rumah lain jauh. Makanya malas keluar rumah cuman buat bergosip," pikir Langit.

Biru mengangguk. "Jangankan buat bergosip. Mau makan di meja makan saja malas, karena jauh. Harus jalan di lorong, turun tangga dua kali lalu jalan ke ruang makan melewati ruang tengah," jawab Biru.

Langit pertama kali dan terakhir kali ke rumah Biru saat meminta restu dan memang itu besar sekali. Persis seperti istana. Fasadnya saja begitu agung terlihat di luar layaknya gedung-gedung peninggalan Belanda.

"Kadang aku sering aneh sama orang kaya. Beli sepatu saja sampai puluhan juta. Sekali makan saja jutaan. Itu penghasilannya berapa?" tanya Langit.

Biru berpikir. "Aku tak tahu berapa persisnya. Hanya setahuku gaji papa sebagai chairman itu sebulan seratus lima pulih milyar. Itu belum keuntungan dari saham. Keuntungan saham ini yang besar," ungkap Biru.

Langit tercengan sampai mematung. Ia ingat Biru pernah membuang sepatu harga sejutanya. Katanya itu hanya sekali pakai saat mereka pacaran dulu. Uang sejuta buat Biru seperti sepuluh ribu.

"Itu uang?" tanya Langit lagi.

"Iyalah, masa butiran debu. Cuman, apa papah bahagia? Nggak, kok. Setiap hari kerjaannya hanya marah-marah. Lihat papah senyum sekali saja itu langka. Lain dengan kakek yang selalu bercanda dan baik pada bawahannya. Kakek sendiri juga tak sepenuhnya bahagi. Tahu kenapa?"

Langit menggeleng. "Karena mereka lupa tujuan utama lahir ke dunia. Kata Pak Syarif, manusia diciptakan ke dunia hanya untuk beribadah. Bukan numpuk celengan."

Kalimat suaminya itu membuat Langit ingin tertawa. Mungkin karena begitu polos, Biru selalu menelan ungkapan guru agamanya itu. Langit juga salut setiap Sabtu maghrib Biru mau belajar iqra di madrasah meski sekelas dengan anak SD.

"Aa harus banyak belajar sebelum anak kita lahir dan besar. Biar gak malu-maluin," nasehat Langit.

Biru mengangguk. "Untung mulainya sekarang. Kalau dinanti-nanti, aku bisa sekelas sama anakku di madrasah," celetuk Biru.

Kembali keduanya tertawa. "Semester depan Aa berangkat kuliah sendiri. Langit gak bisa lanjut," ungkap Langit.

Biru terdiam. "Kenapa?" tanyanya bingung.

"Semester depan perut Langit semakin besar. Pernikahan kita juga harus ditutupi dari mahasiswa lain juga dosen. Langit masih takut dengan ucapan papah. Lebih baik Langit berhenti kuliah. Kalau cuti, beasiswa pasti gak akan turun," jawab Langit.

Biru mengacak rambutnya. Ia senang telah memiliki keturunan. Hanya tahu akan begini, ia merasa bersalah pada Langit. "Aku akan bicara dengan kakek. Paling tidak aku bisa pinjam biaya kuliah kamu," saran Biru.

"Demi Langit, aku harus gunakan uang tabungan dari mamah," pikir Biru.

"Jangan, malu sama kakek. Beliau baik sekali."

Biru menggeleng. "Sekalian aku juga ingin meminta perlindungan. Dulu mungkin aku sok kuat. Hanya kini lain, ada bayi kita yang masih sangat rentan. Tentu hanya kakek yang bisa membantu."

🌱🌱🌱

Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang