Bandung, 04 November 2020

4.4K 730 59
                                    

Kaki itu masih berlari dengan sekuat hati. Perih, hingga darah keluar dari luka yang muncul akibat kulit yang terkena gesekan aspal. Panas, nyeri dan segala kesakitan menjalar dari telapak menuju kepala.

Rambutnya goyah, menari ke kanan dan ke kiri terbawa gerakan tubuh. Dia tak punya tujuan, tak tahu arah juga tak ada jalan pulang. Yang tersisa hanya rasa takut dan harapan hidup. Dalam malam ditemani suara kendaraan dan klakson yang silih berganti tak mau sabar, ia berjuang hingga sekuat yang ia bisa.

Sesekali ia melihat ke belakang. Sudah tak ada yang mengikuti. Mungkin mereka juga tak sadar. Mereka sibuk mengidentifikasi jasad wanita berpakaian putih yang terjun dari atas gedung.

Ia bersandar pada tiang lampu, mengusap dadanya lalu menangis sekencang mungkin. "Maafkan aku, Kak. Karena menggantikanku kau harus mendapat nasib semalang itu."

Setelah paru-paru terisi kembali, ia terus berjalan mengejar waktu. Bukan tak mungkin orang-orang itu akan sadar jika itu bukan dirinya, meski karena jatuh dari lantai lima belas tentu tubuh tak utuh lagi dan wajah tak bisa dikenali.

Sudah basah rambut dan kaos hitam yang ia pakai akibat berlari begitu jauh. Ia tak menghitung jarak, juga tak menghitung jam. Sesekali ia menabrak orang. "Tolong aku," pintanya. Namun, daripada menolong, mereka lebih suka menghindar. Mungkin takut yang meminta tolong orang yang kurang waras. Sayang, mereka salah.

Bunyi lonceng raksasa terdengar. Gadis berambut hitam itu tertegun. Iya, lonceng itu hanya berasal dari kampusnya dulu. Iya yakin, sudah sampai hingga tujuan.

Dipandu suara lonceng yang masih terganggu suara kendaraan, wanita itu mencoba meraih angannya. Toko demi toko, trotoar yang meliuk-liuk hingga beberapa pertigaan. Ia tiba pada sumber suara yang menjadi titik baliknya. "Kampus," serunya. Senyum melengkung, kemudian berganti dengan mata yang terbelalak dan dan mulut setengah terbuka.

"Ini di mana?" tanyanya bingung.

Di sisi gedung kampus dulu ada sebuah lapangan besar, sekarang berganti gedung bertingkat. Toko-toko kecil tempat ia mencari jajanan, berubah menjadi mall besar. "Sejak kapan jadi seperti ini?" tanyanya.

Sesekali ia memperhatikan orang-orang yang berjalan melewatinya. Pakaian mereka bukan style yang biasa dipakai oleh mahasiswa di kampusnya. Mereka menggeser-geser sebuah kotak persegi panjang di tangan. Sebagian menggunakan skuter dengan dua roda di sisi kanan dan kiri.

Gadis itu kebingungan. Ia menggaruk kepalanya meski tak gatal. Ada sebuah petunjuk jalan yang ia syukuri masih dari plat besi berwarna hijau. Daerahnya masih sama. Ada tulisan Dago juga Balai Kota. Namun, ini tak seperti Bandung yang ia kenal dulu.

Gadis itu berjalan menuju sebuah toko elektronik tak jauh dari mall besar di samping kampusnya. "Televisi," ia membaca papan harga di etalase. Kebingungan semakin meningkat. Televisi yang ia tahu begitu besar dan berat sekarang bisa begitu tipis dan berlayar besar.

Langkahnya mundur beberapa kali. Sempat ia menabrak seseorang. "Maaf," ucapnya. Orang itu hanya mengangguk.

"Teh," panggil gadis itu sambil mencolek bahu orang yang tadi ia tabrak. Sempat orang itu terlihat takut saat berhadapan dengannya. "Aku mahasiswa di sini. Kalau boleh tahu ini tanggal berapa?" tanya gadis itu.

Orang yang ia tabrak sempat melirik ke arah kampus di seberang sana. Hanya terpisah empat jalur mobil dari sini. "Tanggal empat November," jawabnya.

Gadis itu mengangguk lagi. "Tahun?" tanyanya lagi.

"2015," jawab orang yang ia tanya. Mendadak saat itu juga wajah gadis itu memucat. "Maaf, saya buru-buru," pamit orang yang ia ajak bicara lalu pergi.

Mata hitam gadis itu menurun. Bibirnya bergetar dan ia hanya bisa jatuh terduduk di trotoar. Bingung, bagaimana ia bisa terlempar sejauh itu. "Ini bohong, pasti hanya candaan. Bagaimana bisa begini? Lalu ibu bagaimana, kaka juga?"

Ia melihat ke sekitar. Tak satu pun orang ia kenal. Semua berubah dan hanya ia yang tidak. "Bu, di mana? Langit mau pulang," rengeknya. Meski begitu keras suaranya, tak ada orang yang peduli. Ia memeluk lutut dan kembali melihat sekitar. Tak ada orang-orang jahat yang mengejarnya seperti tadi, mereka sepertinya percaya jika ia sudah mati.

Sayangnya, ia bingung bagaimana ia ambil jalan setelah ini. "Chairman Bamantara grup, Banyu Biru Bamantara sedang bertolak menuju Davos, Swiss untuk menghadiri pertemuan bisnis," pembawa acara salah satu berita bisnis dan ekonomi membaca tagline berita mereka hari ini.

Langit berpaling pada layar televisi di toko eletronik tempat ia bernaung kini. Pria berambut hitam dengan rahang tegas dan bibir tipis itu sangat ia kenal. Pria yang dulu sangat akrab dengan style kaos dan jaketnya kini nampak berbeda mengenakan jas hitam dan kemeja putih. Pria yang menikahinya.

"Biru!" panggil Langit sambil menatap lirih layar televisi. "Biru, Langit di sini! Ini Ila!" panggilnya lagi. Namun, Biru yang ada di sana hanya cuplikan video saat kepergian pria itu menggunakan pesawat jet milik grup perusahaan keluarga.

Langit menunduk. Ia pukulkan jemari ke etalase kaca. "Jangan pergi, tolong Ila," ucapnya lirih. Langit jatuh merosot ke tanah. Ia duduk lalu memeluk lutut. "Biru! Tolong aku. Biru!" panggilnya lirih.

Langit masih di sana, di antara kegelapan dan kedinginan. Ia melirik ke kanan dan kiri. Tak ada satupun orang yang ia kenali.

Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang