Selalu ada keadilan untuk orang good looking. Biru percaya memang itu ada. Buktinya bekerja menjadi satpam di sini, hampir seluruh staff baik padanya, terutama yang perempuan.
"Mas Biru, bisa bantuin foto copy, gak?" pinta Asanti, CS bank di mana Biru bekerja. Biru mengangguk. Seminggu bekerjar di sini, ia sudah bisa mengenakan mesin copyan kertas itu.
"Mana, Mbak?" Biru mengulurkan tangan bermaksud mengambil kertas yang hendak dibuat salinanya. Hanya Asanti malah salah paham dan main memegang tangan Biru.
"Kita barengan aja, kamu bantu aja supaya cepat," saranya sambil berdiri dengan berpegangan tangan pada Biru. Lekas pria itu menepis tangan Asanti.
"Maaf, Mbak. Bukan muhrim. Saya suami orang," tolak Biru. Lekas ia kembali ke depan pintu.
Bekerja jadi satpam sejauh ini masih terasa mudah baginya. Sekadar membuka pintu, bantu foto copy hingga mengantar tamu. Meski begitu, Biru harus siap-siap jika saja ada orang jahat datang ke bank untuk merampok.
Malam itu, Biru bersiap pulang. Meski jam tutup bank pukul empat sore, tetap saja ia harus berjaga bergantian sift. Dari pagi sampai jam dua dia kuliah, jam tiga kerja dan baru pulang pukul sembilan malam. Semua ia jalani demi hidup mandiri tanpa uang papahnya, apalagi catatan kredit pada Langit sudah mulai menghabiskan banyak halaman.
"Mas Biru, istrinya Mas Biru cantik, ya?" tanya Winda, dia teller bank yang bisa dibilang mojang geulis bank ini.
"Iyalah, kalau yang ganteng sudah pasti saya," timpal Biru berkelakar.
"Sama saya cantikan mana?" pancing Winda. Ia sengaja mengenakan pakaian ketat demi menggoda pria itu.
"Dituker sama Nia Ramadhani saja, saya masih milih istri saya," tegas Biru.
Winda cemberut mendengar jawaban itu. Ia lekas keluar dari dalam gedung bank dan berjalan dengan kesal menuju parkiran. Biru sendiri hanya menggeleng. Kerja di sini ia banyak mendapat ujian, bukan sekali dua kali ia selalu menjadi sasaran modus wanita cantik di sini.
"Assalamu'alaikum," salam Biru begitu tiba di rumah. Ia mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Tak lama pintu terbuka. Biru tertegun karena bukan istrinya yang membuka pintu.
"Kamu siapa?" tanya wanita itu.
"Harusnya aku yang tanya, kamu siapa? Ini rumah mertuaku," omel Biru.
Wanita itu mendelik ke arah dalam. "Kamu Biru, suaminya Langit?" tanya wanita itu kecewa. Ia membuka pintu lebar-lebar.
"Tuan Muda baru pulang?" tanya Langit yang berlari dari dapur. Biru mendelik ke arah wanita yang masih berdiri melipat tangan di dada sambil bersandar ke dinding.
"Jangan panggil gitu lagi, La. Kan sudah janji," protes Biru.
Sekali lagi ia melirik wanita yang tadi membukakan pintu untuknya. Wanita itu mengeluarkan rokok lalu menyulut dengan api dan menghisapnya.
"Teh, jangan ngerokok di rumah, kasihan ibu!" pinta Langit.
"Itu kakak kamu?" tanya Biru, pertama kali ia lihat kakak iparnya. Tidak ia sangka berbeda sekali sikapnya dengan Langit.
"Itu Teh Mega, kakak Langit. Emang orangnya gitu. Maklum, ya?"
Mega berjalan keluar rumah. Ia merokok di teras dengan bebasnya. "Percuma punya suami ganteng, tapi gak ada duitnya!" ledek Mega.
"Teh, nikah itu buat menyempurnakan agama, bukan buat uang," kilah Langit.
Mega mendengkus. Ia terus menghisap rokok lalu mengepulkannya ke udara. "Terserah kamu saja, aku lapar!" keluhnya. Ia masuk ke dalam. Biru sempat menahannya. "Ngapain kamu?"
"Matiin rokoknya dulu, kasihan ibu," pinta Biru.
Mega menjatuhkan rokok ke lantai lalu menginjaknya. Matanya menatap tajam ke arah Biru lalu berjalan masuk ke dapur.
"Kakak kamu waktu lahir hatinya ketinggalan apa dimakan kuyang?" tanya Biru meledek.
Tak mampu Langit untuk berkata. Ia sudah banyak dibuat malu dengan perilaku kakaknya. Tidak hanya pada tetangga, sekarang di depan suaminya.
"Heh kamu! Kalau tanggung jawab, beliin rumah buat istri kamu itu! Jadi lelaki hidup numpang!" cerocos Mega.
Langit mengusap dada. Tak lama ponsel Mega berdering. Ia mengangkat telpon yang tak tahu dari siapa itu. Hanya setelah mengangkat telpon, ia memberikan piring kosong yang belum sempat terisi makanan pada Langit.
"Gak jadi makan, aku mau pergi!" serunya. Mega masuk ke dalam kamar ibunya. Tak lama ia keluar dengan pakaian rapi. "Minta duit! Buat naik taksi," pinta Mega.
"Kamu itu gak tahu malu banget, ya. Langit sudah susah payah jagain ibu, kerja juga. Sedang kamu ngapain?" protes Biru.
Mega memelototi pria itu. "Orang baru di sini jangan ikut campur dan sok jadi pahlawan, deh!" tunjuk Mega ke wajah Biru.
Langit berlari ke kamar. Ia mengambil uang lima puluh ribu dan langsung ia berikan pada kakaknya.
"Ini cukup kan, Teh?"
Mega tak menjawab. Ia langsung pergi meninggalkan rumah. Langit mengusap dada. "Mega mau ke mana lagi?" tanya Ibu Langit yang ternyata bangun dan berdiri di pintu.
"Langit juga gak tahu. Ibu jangan banyak pikiran. Kak Mega sudah bisa begitu," saran Langit sambil mengantar ibunya ke kamar.
"Mungkin karena malam jumat, dia mau keliling dan temannya jagaian lilin," celetuk Biru.
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomansaIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...