Karena semalam sempat terbangun akibat mimpi, Langit hampir saja ketiduran sampai siang. Syukur ia mendengar suara krasak-krusuk di kamar.
Ketika ia membuka mata, ia tertegun melihat pemandangan otot-otot Biru yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk. Bagian atas pria itu polos tanpa benang sehelai pun. Sementara bagian bawahnya dibalut dengan handuk Biru muda.
Mata Langit yang malas terbuka mendadak begitu lebar memperoleh cahaya agar objek yang tertangkap semakin jelas. Padahal sudah tiga bulan mereka menikah dan Langit masih tertegun dengan kotak-kotak di perut Biru. "Emak-emak pasti ngiri, nih! Suamiku gantengnya sudah lebih dari Anjasmara," pikir Langit sambil nyengir.
"Istighfar, La. Cepat bangun terus sholat subuh. Sudah jam lima," celetuk Biru membuat Langit kaget dan lekas bangun. Karena malu, Langit menarik handuk dan berlari ke kamar mandi.
Biru cekikikan melihat perilaku istrinya. Setelah yakin rambutnya kering, Biru lekas mengambil seragam satpam. Hari ini ia libur kuliah jadi mendapat shift kerja pagi.
Ia sekarang bisa pakai baju sendiri. Syukurlah, karena jika Langit yang memasang kemeja dan sabuk, pasti akan lama akibat dibarengi melamun menikmati pemandangan tubuh Biru yang terasa seperti ironman.
Selesai berpakaian, Biru keluar dari kamar. Mertuanya duduk di teras menunggu saat-saat matahari terbit. Biru bersyukur karena Fitri semakin lancar berjalan.
"Bu, mau sarapan, gak? Biru beliin bubur, mau?" tawar Biru.
Fitri menggeleng. "Kamu saja dulu, kan mau kerja. Ibu ada Langit di rumah. Tadi Pak Darno ke sini nitip uang. Katanya bayar ongkos servis." Fitri mengeluarkan uang tiga ratus ribu dari kantongnya.
"Buat ibu seratus ribu. Ini Biru kasih ke Langit buat masak." Biru hanya mengambil dua lembar uang itu.
Tak lama ia mulai terganggu akan sesuatu. Langit terlalu lama di kamar mandi. Lekas Biru berlari ke dalam. Fitri juga kaget melihat Biru tiba-tiba pergi meninggalkannya di sana.
Pria itu masuk ke pintu dapur. Dapur dan kamar mandi memang menyatu, hanya disekat dinding triplek dan pintu plastik. Pintu itu terbuka dan Langit terlihat berdiri di depan lubang pembuangan air sambil memegang perutnya.
"Ila kenapa?" tanya Biru khawatir.
"Mual. Sudah beberapa hari," jawab Langit dengan suara lemas. Baru bicara begitu, ia kembali muntah. Dengan pelan, Biru usap punggung Langit. Setelah yakin mualnya berhenti, Langit berjalan keluar kamar mandi dipegangi Biru.
"Aa, bawain Ila minum, ya? Haus," pinta Langit. Biru menggendong istrinya ke kamar. Setelah Langit berbaring di tempat tidur, Biru kembali ke dapur membuatkan Langit teh manis hangat.
"Minum biar seger lagi," saran Biru. Ia pegang kening Langit dan tak terasa panas. "Apa kamu kena mag? Makanya Biru bilang kalau makan itu harus teratur, jangan dinanti-nanti," omel Biru.
Langit meminum teh hangat pemberian Biru. Lumayan menambah energinya. "Padahal Langit makan teratur, loh," kilah Langit.
"Apa karena semalam kamu trauma jadi larinya kayak gini?" tanya Biru.
Lagi Langit menggeleng. "Ada kali seminggu Langit gini. Kemarin-kemarin masih belum terasa, sekarang makin lemas, A. Setiap pagi pasti harus muntah," jelas Langit.
Biru mengecup kening istrinya. "Aku takut kamu sakit." Terlihat sekali raut khawatir di wajah Biru. "Kita ke dokter saja, ya? Biar aku izin gak kerja dulu. Atasan centilku itu pasti izinin," saran Biru. Ia juga tak tega membiarkan istrinya yang sakit dan mertuanya berdua di rumah.
Biru meninggalkan Langit di kamar lalu berjalan ke teras. "Bu, Biru mau antar Langit ke dokter, ya? Biar nitip ibu ke Bu Ani dulu," izin Biru.
Fitri terlihat khawatir. "Langit kenapa, Ru?"
"Muntah-muntah katanya sudah seminggu kalau pagi pasti begitu. Sekarang malah badannya mendadak lemas."
Fitri tertawa. "Kalau gitu bawa ke bidan saja. Jam segini Bidan Tati pasti sudah buka."
Biru menggaruk pipinya. "Bu, Langit itu sakit bukannya mau melahirkan. Kenapa harus ke bidan."
"Istri kamu itu sakit karena kamu. Buktinya sudah dua kali ia mengeluh bulannya gak datang," timpal Fitri.
Semakin keras Biru berpikir dan lagi tak masuk dalam otaknya. "Bulan itu siapanya Langit?" tanya Biru polos.
Fitri sampai istighfar mendengarnya. "Kamu sering berhubungan badan dengan istrimu, kan? Masa gak tahu kalau ada minggu libur dia gak bisa."
Biru mengangguk-angguk. "Ouh, bulan datang itu lagi m*ns, ya? Tahu kalau itu, pasti Biru yang beliin dia roti jepang kemasan hitam biar gak tembus katanya."
Biru tertegun. "Bulan ini Langit gak minta Biru beli roti Jepang lagi."
Fitri akhirnya bertemu dengan Biru versi cerdasnya. "Nah, itu karena bulan kemarin dan sekarang dia gak datang bulan. Katanya bulan kemarin hanya muncul setetes. Kemungkinan jadi itu," jelas Fitri.
"Jadi apa?" Biru masih mencoba mengerti sebisanya.
"Jadi bayi, Ru. Masa jadi odading," timpal Fitri. Untung darahnya tak naik saat bicara dengan Biru.
"Bayi? Langit hamil? Biru mau punya bayi gitu?"
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomansaIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...