Pasangan baru itu berjalan keluar gedung kampus masih saling berpegangan tangan. Benar kata orang, sekuat apapun kalau dalam urusan cinta mendadak nyali jadi setengah-setengah. Biru bahkan hampir membisu karena bingung ingin membahas apa.
"Kamu kerja lagi?" tanya Biru penasaran. Ia ingin membuat Langit berhenti kerja dan mengganti uang gajinya agar waktu mereka bersama tak terpotong. Sayangnya, Randy memberi nasehat jika perbuatan itu akan membuat Langit merasa tak dihargai dan ujungnya bisa minta putus.
Langit mengangguk. Ia masih sibuk memperbaiki tatanan rambutnya akibat tertiup angin. Biru mendadak punya ide. Ia melihat gelang karet di tangannya. Gelang bermotif LV itu langsung ia lepaskan.
"Langit, berhenti dulu," pinta Biru. Ia lepaskan Langit lalu berjalan ke belakang gadis itu. Tangan Biru meraih rambut Langit dan ia kumpulkan di tangan kirinya. Ia memang tak bisa melakukan banyak hal, tapi ia bisa mengikat rambut ibunya dulu.
Gelang karet itu ia gunakan untuk mengikat rambut Langit mengucir rambut Langit. Sementara gadis yang rambutnya Biru ikat, diam mematung saking kagetnya.
"Tuh, sekarang cantiknya nggak kehalangin," komentar Biru sambil tersenyum.
Halaman luas yang menjadi pemisah gerbang dengan gedung kampus itu memiliki tatanan taman simetris dengan deretan pohon cemara dan kamboja. Beberapa kursi taman disediakan untuk mahasiswa dilindungi payung besar berwarna biru.
Beberapa orang yang lewat melirik ke arah mereka lalu menjadikan Biru dan Langit bahan perbincangan mereka. Langit mengusap bagian atas depan kepalanya. Ia bisa merasakan suhu tubuhnya memanas akibat tergoda sikap manis Biru.
"Aku antar sampai ke restoran sambil jalan kaki gak apa-apa? Biar lama di jalan," saran Biru. Langit mengangguk.
Jangan salah, Biru bisa kuat jalan kaki jauh karena sering jogging. Setiap pagi ia rajin olahraga agar tubuhnya kekar. Meski cuek, ia jaga penampilan agar terlihat bangga jika media sedang iseng mengambil fotonya. Biar beritanya jelek yang penting fotonya ganteng. Orang lebih fokus ke wajah ganteng Biru tentu.
Jalanan yang mereka lalui cukup sepi ketika keluar gedung kampus. Itu jalan kota, tapi memang biasa sepi karena bukan jalur jalan besar dan sekitar jalan lebih banyak perumahan daripada perkantoran.
"Tuan muda sudah makan siang?" tanya Langit.
Biru mengangguk. "Aku makan keripik yang kamu kasih," jawab Biru. Langit tergegun. "Tapi kok bisa pisang lembek jadi keras begitu? Pakai formalin?" tanyanya.
Langit terkekeh kemudian langsung diam dan menutup mulutnya. Ia takut Biru marah karena Langit menertawakannya. Namun, mata Biru malah terlihat berbinar. "Kamu kalau ketawa makin cantik, ya?"
"Gak kok. Malu, gak bisa dandan malah," kilah Langit.
"Gak dandan saja ku suka, kalau dandan bisa-bisa kamu gak aku izinin ke mana-mana, loh!" kelakar Biru.
Langit tersenyum malu. Ia menggigit bibir bagian bawahnya. Sambil menunduk, dari pandangan langit terlihat jelas langkah kaki Biru dan dia yang berjalan bersamaan. Sepatu kest merk NB miliknya bersanding dengan sepatu Air Jord*n milik Biru. Seingat Langit tadi ketika mereka bertemu, bukan itu sepatu yang Biru kenakan.
"Tuan muda ganti sepatu?" tanya Langit penasaran karena seingat ia sepatu Biru tadi ada ceklisnya.
Biru melihat kakinya. "Iya, tadi main basket jadi ganti. Habis itu bukan sepatu khusus basket," jelas Biru. Ia memang hanya sekali saja memakai sepatu. Kalau sudah dipakai, ia buang.
Langit mengangguk. Ia mengembuskan napas lalu melirik ke arah taman kota yang ditengahnya ada gor besar terkenal. Jika itu ia, ganti sepatu hanya dilakukan jika sepatu rusak.
"Ouh iya, kita pacaran mau ngapain aja?" tanya Biru berusaha menyusun rencana paling tidak seminggu ke depan agar mereka tidak hanya pegangan tangan jalan antar jemput Langit ke tempat kerja.
"Langit gak tahu, kan gak pernah pacaran," jawab gadis itu polos.
Biru tertawa. "Sama saja. Apa kita baca di blog saja? Kask*s?" sarannya.
"Gimana Tuan muda saja, aku ikut. Yang penting pacarannya gak itu loh." Langit ingin menyampaikan maksud, tapi bingung cara mengutarakannya.
"Gak sampai ngamar?" tanya Biru nyablak seperti biasanya. Dia yang bicara dan dia sendiri yang malu. Jadilah Langit dan Biru berjalan tanpa saling memandang lagi.
Ada jeda diantara mereka. Suara orang-orang tengah bermain tenis di lapangan seberang terdengar bersautan dengan suara kendaraan yang lewat. Motor dan mobil begitu kencang melaju karena jalanan kosong.
"Sudah sampai, Tuan Muda!" tunjuk Langit ke restoran tempat ia kerja yang berada di barisan ruko-ruko. Biru mengangguk. Ia meneruskan perjalanan hingga di depan restoran itu.
"Langit kerja dulu," pamit Langit. Baru selangkah berjalan, Biru sudah menariknya kembali.
"Aku mau manggil kamu dengan cara lain. Biar gak sama dengan orang lain. Biar spesial, cuman aku saja," pinta Biru.
Langit mengangguk. "Memang Tuan muda mau manggil apa?" tanya Langit.
Biru berpikir sejenak. "Kamu juga, jangan panggil Tuan muda terus. Memang aku majikan kamu apa? Panggil yang manis gitu ... kayak sayang atau apa."
"Malu, ah. Belum biasa," keluh Langit dengan wajah merona.
"Sudah, nanti aku pikirin dulu. Sekarang kerja yang rajin dan jangan terlalu capek," pesan Biru. Langit mengangguk. Gadis itu mengulurkan tangan.
"Apa?" tanya Biru bingung. Langit tersenyum kecil. Ia raih tangan Biru lalu mencium punggung tangan pria itu.
"Langit pamit, Tuan. Sampai jumpa!" ucapnya sambil berjalan masuk ke dalam restoran.
Biru terkekeh sambil mengusap wajah. "Dia manis banget! Gimana kalau sampai aku kena diabetes?" batin Biru sambil senyum-senyum sendiri.
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomanceIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...