40a. Satpam Idola

962 231 26
                                    

Biru tak ingin tahu lagi apa yang keluarganya inginkan. Kematiannya? "Hah, papah semakin lama semakin bodoh saja, pantas saja ketakutan sama hal mustahil. Dia gak punya Tuhan tempat berlindung," dumel Biru.

Bank semakin hari semakin sibuk. Nasabah yang datang semakin banyak. Kebanyakan mereka menabung, menarik uang lalu mengajak Biru foto selfie.

"Aa Banyu punya pais buk (FB), gak?" tanya ibu dan seorang anak perempuannya.

"Kalau istri saya punya, Bu," timpal Biru.

Ibu itu mendengus. "Lah, kenapa cepet-cepet nikah toh. Kan anak ibu masih perawan. Mau punya suami kayak kamu," keluh ibu itu.

Putrinya mesem-mesem sendiri seperti ceri baru matang. "Karena jodohku sudah di hadapan mata. Kalau jodohku masih di hadapan Allah, baru aku nunggu," jelas Biru.

Keberadaan Biru seakan menjadi maskot sendiri di bank itu. Selain shift saat Biru bekerja, shift lain kosong melompong.

"Gak niat punya istri dua?" Ibu itu tak ingin menyerah.

"Gini, saya tekankan. Saya dituliskan author dari awal sampai akhir untuk jadi pria yang setia. Titik," tegas Biru.

Ibu itu kecewa, anaknya sama saja. Ceri yang tadi ranum kini berubah jadi mangga muda, asam.

"Ru, biar bank rame ... gak usah pulang saja kamu. Tetap di sini!" saran Satpam yang juga berjaga dengan Biru.

"Lha iya, emang aku ini apaan? Tembok? Tetap di sini gak pernah bergeser," protes Biru.

Biru berjalan ke luar bank. Ketika membuka pintu, ia terpaku pada mobil mewah dengan lambang kuda jingkrak (bukan kuda ronggeng) berlabu di parkiran. Plat nomor mobil itu tak asing baginya.

Benar saja, orang yang keluar dari sana adalah pria yang sedarah sedaging dengannya. Hanya jika Biru memilih jalan lurus, Surya memilih kelokan sembilan.

"Benar kata orang-orangku, kamu ada di sini," ucapnya sambil duduk di kap mobil.

Tangan Biru melipat di depan dada. "Kenapa? Kangen? Aku tahu aku ini ngangenin. Pasti pas tidur kamu manggil namaku, kan? Sampai istrimu cemburu. Maaf, aku tak mencintaimu." Biru berdiri dengan tegas di depan kakaknya. Meski Surya memakai jas impor dari Prancis dan ia memakai baju satpam.

"Aku hanya ingin melihat betapa menyedihkannya dirimu." Surya melihat Biru dari ujung kaki sampai kepala.

Biru tertawa. "Kalau aku menyedihkan lalu kamu apa? Mamah saja tak menyayangimu, karena itu dia meninggalkanmu di rumah. Papah saja sayang padamu hanya karena kamu mau jadi bonekanya. Satu lagi, wanita simpanan itu suka padamu karena hanya kamu yang mendukungnya ada di sana. Kasihan, tak ada yang menyayangimu dengan tulus," ledek Biru.

Surya mendelik ke arah kanan, lalu ia kembali melihat adiknya. "Kita lihat saja, berapa lama kamu bertahan dengan kehidupan seperti ini."

"Kita lihat saja, berapa lama kamu gak gila akibat tuntutan papah!" Balasan Biru jauh lebih sadis.

Surya berjalan menghampiri adiknya. Ia pegang bahu Biru dengan kuat. "Jangan macam-macam denganku. Suatu hari nanti hanya aku yang bisa memutuskanmu untuk hidup atau tidak," ancam Surya sambil berbisik.

Mata Biru menyorot tajam pada kakaknya. "Kalau kamu gak jadi sinting, mungkin masih bisa terjadi. Sayang, aku gak yakin kejiwaan kamu kuat. Sekarang saja kamu sudah gila," ledek Biru.

Surya mendorong Biru. Syukur di belakang Biru adalah tembok kaca hingga ia tak terjungkal. "Aku pastikan kamu menyesal mengatakan itu!"

Tangan Biru meraih kerah Sapta. "Dengar! Aku gak tahu apa masalahmu! Sedikitpun aku tak berniat merebut posisimu. Jadi cukup tahu diri sajakau! Jangan ganggu aku!" tegas Biru.

Setelah Biru melepaskan kerah, Surya menepuk-nepuk jasnya. Ia tersenyum sinis lalu berbalik dan masuk ke dalam mobilnya.

Satpam yang berjaga dengan Biru saat itu menghampiri begitu mobil Surya meninggalkan parkiran. "Dia siapa, Ru? Galak banget!"

"Dia orang gila, gagal kaya jadi begitu," jawab Biru.

"Gagal kaya, tapi kok mobilnya bagus?"

"Orang tuanya nyewa. Kalau gak disewain dia ngamuk," jawab Biru sambil tertawa.

"Ada apa, Pak?" tanya Biru.

"Dipanggil sama Bu Gladis ke dalam. Katanya kangen." Pak Satpam mengedip-ngedipkan mata.

"Perempuan itu gak ada matinya, ya? Setiap hari manggil ke ruangan cuman buat ngegodain. Kali ini dia pakai pelet apa lagi?" keluh Biru.

Matanya menatap lurus ke arah jalan di mana mobil Surya menghilang. Ia mengembuskan napas. Sambil berjalan menuju ruangan Gladis, Biru mengingat ucapan ibunya.

"Kamu harus sayang sama kakakmu. Apapun yang terjadi, kamu harus bisa jagain kakakmu, yang hormat dengannya. Mamah hanya ingin melihat kalian berdua tumbuh saling menyayangi sampai tua nanti," pinta Mira, ibu Biru.

Mengingat ucapan itu, mata Biru basah. "Mah, maaf. Biru sudah berusaha, hanya Surya tak mau menerimaku. Aku bukan keluarga itu lagi."

Biru mengusap air mata ketika berada di depan ruang managernya. Ia ketuk pintu ruangan itu. "Siang, Bu!" salam Biru.

Gladis duduk seperti biasa di mejanya dengan kemeja yang dibuka bagian atasnya agar terlihat belahan bukit tunggul. "Maaf, Bu. Kalau masih mancing dosa saya, lebih baik Pak Firman saja yang ke sini. Saya masih takut istri saya," tegas Biru lalu kembali keluar.

🌱🌱🌱

Bantu promo, yuk!

Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang